Cerpen

Senandung Lirih Sebuah Doa

Ahad, 2 September 2012 | 01:25 WIB

Oleh: M Arif Rahman Hakim

Kiai Karim terdiam setelah mendengar cerita orang-orang yang datang ke rumahnya malam itu. Sebagai orang yang dituakan, dia selalu menjadi rujukan untuk dimintai pendapat jika ada suatu persoalan di desanya. Sebenarnya, ulama yang bernama lengkap Abdullah Karim ini, belumlah terlalu tua. Hanya saja, posisinya sebagai kiai menjadikan orang-orang menaruh hormat kepadanya.
<>
“Bagaimana, Kiai, pendapatnya?” tanya seorang tamunya menyadarkan kiai muda itu dari lamunannya. “Masalah ini harus segera diambil keputusan karena waktu pelaksanaan haul  massal tinggal beberapa hari lagi, Kiai” kata seseorang yang lain.

“Aku tahu. Tapi aku tidak bisa memutuskan sesuatu, apalagi menyangkut masalah pelik seperti ini, secara tergesa-gesa,” jawab Kiai Karim dengan tenang. “Beri aku waktu barang tiga hari untuk memutuskan masalah tersebut” lanjut Kiai Karim.

“Aku minta masalah ini jangan sampai mengganggu persiapan acara haul massal. Ingat, acara ini sudah menjadi tradisi desa kita ini. Aku tidak ingin hanya karena persoalan ini terjadi perpecahan di antara warga desa,” tegas Kiai Karim saat mengantarkan para tamunya di depan pintu rumahnya.***Desa Kemrajen, tempat Kiai Karim mengamalkan ilmu yang telah didapatkannya selama sepuluh tahun mondok  di berbagai pesantren, merupakan sebuah desa kecil yang tenang. Hampir tidak pernah terjadi konflik di desa itu bahkan saat pemilihan kepala desa sekalipun.

Setiap tahun tepatnya sehari sebelum bulan Ramadhan, warga Desa Kemrajen selalu melaksanakan tradisi turun-temurun sejak para pendiri desa membangun desa tersebut, yaitu haul massal. Tradisi mengirimkan doa untuk seluruh warga desa yang telah meninggal dunia yang dilaksanakan di kompleks pemakaman desa.

Setiap warga yang memiliki sanak-saudara yang telah meninggal dunia akan mendaftarkan nama sanak-saudaranya yang akan dikirimi doa kepada panitia yang dibentuk oleh pemerintah desa. Biasanya untuk setiap arwah yang akan dikirimi doa, warga dimintai sedekah seribu rupiah. Uang hasil sedekah itu akan digunakan untuk kegiatan keagamaan desa.

Tahun kemarin terkumpul uang lima juta rupiah. Itu pun setelah dipotong untuk keperluan pelaksanaan acara tersebut. Sebab, satu kepala keluarga bisa mengirimkan doa untuk sepuluh anggota keluarganya yang telah meninggal bahkan lebih. Padahal di Desa Kemrajen ada sekitar dua ratusan kepala keluarga.

Kiai Karim selalu menjadi pemimpin acara tersebut sehingga secara tidak langsung dia ikut bertanggung jawab atas kesuksesan acara tersebut. Oleh karena itu, begitu mendengar kabar dari panitia bahwa Parman ingin mendaftarkan kedua orangtuanya untuk didoakan pada acara haul massal tahun ini, hati kiai yang telah ditinggal mati bapaknya ketika berusia lima tahun dihadapkan pada sebuah dilema.

***
Parman adalah anak tunggal dari Kardiman dan Surati. Semua warga desa mengenal siapa Kardiman dan Surati? Oleh sebab itulah, hampir sebagian besar warga desa menolak keinginan Parman untuk mengirimkan doa kepada kedua orangtuanya itu saat acara haul massal.

Kardiman dan Surati adalah suami-istri yang bergelut dengan dunia seni semasa hidupnya. Kardiman dikenal sebagai pemain ketoprak yang wasis  memerankan lakon apa saja. Sedangkan istrinya kondang dengan suara merdunya ketika melantunkan tembang-tembang mocopat  mengiringi pementasan ketoprak Kardiman.

Suatu malam tidak lama setelah terjadinya ‘geger Lubang Buaya’ di Jakarta, Kardiman dan Surati ditangkap dan ‘dimassa’ oleh sekelompok orang berbadan tegap dibantu oleh beberapa pemuda desa di balai desa. 

Menurut kabar, grup ketoprak Kardiman dan Surati sering mementaskan lakon yang menghasut masyarakat untuk merampas tanah, tidak percaya kepada Tuhan, dan ‘berontak’ kepada pemerintah.

Parman yang waktu itu belum genap berusia lima tahun kemudian dirawat oleh seorang pamannya yang tinggal di kota lain. Sejak saat itu, dia belum pernah menengok desa tempat kelahirannya itu meskipun dalam hati kecilnya kerinduan akan kenangan masa kecilnya selalu mengundangnya untuk kembali ke desa tersebut.

Menjelang Ramadhan tahun ini, Parman tiba-tiba muncul di balai desa untuk mendaftarkan nama kedua orangtuanya untuk didoakan pada acara haul massal. Kedatangannya menimbulkan kegemparan di desa yang selama ini tenteram.

***

“Man, aku memahami keinginanmu untuk mendoakan kedua orangtuamu” ucap Kiai Karim yang sengaja menemui Parman di rumah salah seorang kerabatnya di desa sebelah. Di sanalah Parman menginap selama menunggu acara haul massal digelar di desanya. “Itu sebuah keinginan yang mulia bahkan sangat dianjurkan oleh agama untuk mendoakan orangtua kita yang sudah meninggal,” lanjut Kiai Karim.

Meskipun tidak pernah bertemu Kiai Karim sejak peristiwa yang menghilangkan kedua orangtuanya malam itu, Parman langsung bisa menangkap pancaran sinar kewibawaan dari wajah Kiai Karim sehingga dia langsung menaruh hormat kepadanya.

“Terima kasih jika Pak Kiai memahami niat baik saya tersebut,” jawab Parman. “Namun saya yakin Pak Kiai juga tahu bahwa niat baik saya itu telah disalahartikan oleh masyarakat desa kita,” lanjutnya. “Mereka menganggap saya ingin mengungkit-ungkit kembali cerita gelap masa lalu desa kita”.

“Benar, Man. Aku bisa menangkap kekhawatiran dan kegemparan warga sejak mengetahui bahwa kau ingin mengirimkan doa untuk orangtuamu pada acara haul massal di desa kita” sahut Kiai Karim. “Tapi aku juga berharap kamu mau memahami kekhawatiran masyarakat desa karena bagaimanapun apa yang menimpa kedua orang tuamu itu memang adalah bagian terkelam dalam sejarah desa kita yang sudah sekian lama tidak ada yang berani mengusiknya lagi.”

Parman menghela napas panjang sambil menatap wajah teduh Kiai Karim. Ada kebimbangan terpancar dari kedua matanya. Dan, Parman yakin kebimbangan itu bermuara pada masalah dirinya.

“Baiklah, Kiai. Sekarang saya serahkan sepenuhnya keputusan apakah niat baik itu bisa terwujud atau tidak kepada Kiai,” kata Parman akhirnya. “Saya yakin Kiai bisa menentukan jalan terbaik untuk semuanya.”

“Semoga Allah memberikan petunjuk-Nya kepadaku untuk memutuskan masalah ini. Tapi aku sendiri tidak yakin apakah keputusan itu bisa memuaskan semua pihak. Kita lihat saja nanti,” ucap Kiai Karim saat bersalaman dengan Parman untuk berpamitan. Kabut kebimbangan terlihat semakin tebal di mata Kiai Karim ketika bersitatap dengan Parman.  

***

Ketika melangkah keluar dari masjid seusai mengimami shalat Isya, dua malam sebelum haul massal diselenggarakan, Kiai Karim didekati dua orang panitia haul massal yang kelihatannya sengaja menunggui Kiai Karim selesai sembahyang.

“Assalaamu ‘alaikum, Kiai.”

“Wa’alaikum salam.”

“Bagaimana Kiai sudah ada keputusan soal si Parman itu?” tanya salah seorang panitia yang bertubuh lebih besar dan tua.

“Oh soal itu. Rencananya setelah ini aku memang mau mampir ke rumah Pak Lurah untuk membicarakan hal itu,” jawab Kiai Karim.

“Kalau begitu, mari kita sama-sama ke rumah Pak Lurah saja sekarang, Kiai. Kebetulan kami juga akan melaporkan persiapan acara haul missal,” kata panitia yang lebih muda.

Kedua orang itu mengiringi langkah Kiai Karim menuju rumah Pak Lurah yang berada di depan balai desa, tidak jauh dari masjid. Mereka berdua tidak mengetahui bahwa dalam benak Kiai Karim sejatinya belum menemukan keputusan untuk masalah itu.

Belum jenak Kiai Karim duduk, Pak Lurah langsung menanyakan keputusan tentang masalah Parman kepada Kiai Karim. Kiai yang merasa baru kali ini dihadapkan pada persoalan yang membuatnya serba-dilematis itu berusaha mengurangi kebimbangan hatinya dengan menyeruput kopi panas yang disuguhkan di depannya.

Kecamuk argumentasi berperang dalam benaknya. Sebagai orang yang telah menimba ilmu keagamaan dari beberapa kiai besar di pesantren yang didiaminya, Kiai Karim ingat betul sebuah hadits  Nabi yang menyatakan bahwa salah satu amal manusia yang tidak akan terputus pahalanya meskipun telah meninggal dunia adalah doa yang dikirimkan oleh anak keturunannya yang masih hidup.

Saat ini, ada seorang anak manusia yang bernama Parman ingin menunjukkan rasa baktinya kepada orang tua yang meskipun singkat pernah mencurahkan kasih sayang mereka kepadanya. “Apakah hal itu salah?” tanyanya dalam batin.

Namun di sisi lain, Kiai Karim paham benar bahwa peristiwa 42 tahun silam itu merupakan kisah paling mengenaskan dalam sejarah panjang Desa Kemrajen. Sebuah kisah yang ditulis dengan darah tetangga mereka sendiri. Sebuah kisah yang selama puluhan tahun telah tersimpan rapat dalam jeruji ingatan warga Desa Kemrajen.

Bagi Kiai Karim yang lahir setelah peristiwa itu, penyebabnya tidaklah terlalu jelas. Ada yang mengatakan bahwa orang tua Parman dianggap terlibat dalam peristiwa penculikan para jenderal di Jakarta. Ada pula yang mengatakan bahwa sebenarnya mereka dibunuh hanya karena fitnah dan dendam seseorang yang tidak senang kepada Kardiman yang berhasil menyunting Surati yang dikenal sebagai kembang Desa Kemrajen saat itu.

Deheman Pak Lurah membuyarkan renungan Kiai Karim. “Jadi bagaimana Kiai?” tanya Pak Lurah lagi. “Kami menunggu fatwa Kiai.”

“Baiklah kalau begitu. Tapi aku tidak akan mengatakan keputusanku kepada kalian malam ini. Pada saat haul massal kalian akan mengetahui keputusanku.”“Kami percaya keputusan Kiai tidak akan bertentangan dengan keinginan sebagian besar warga desa kita,” kata Pak Lurah menutup perbincangan pada malam yang semakin larut dan bertambah dingin itu.***Hari yang ditunggu pun tiba. Semua warga berkumpul di pemakaman desa. Bahkan warga yang merantau di luar kota pun menyempatkan diri untuk pulang kampung mengikuti haul massal. 

Sehari sebelumnya, para pemuda bekerja bakti membersihkan pemakaman sehingga pada hari ini komplek makam yang sebelumnya terlihat tidak terurus menjadi lebih bersih. Tenda besar terpasang di dekat cungkup makam para pendiri desa. Di sinilah pusat acara haul massal dilangsungkan.

Parade pidato para pejabat mulai dari tingkat kabupaten, kecamatan, hingga desa menjadi acara awal sebelum acara inti dimulai. Kiai Karim sengaja tidak duduk di deretan depan bersama para pejabat karena ingin mengetahui apakah Parman datang pada pagi hari itu. Dilihatnya seluruh penjuru makam itu, namun tak tampak Parman di antara ratusan warga yang hadir.

Separuh bagian benaknya bersyukur Parman tidak datang pada acara tersebut karena kehadirannya pasti akan mengundang emosi dan kemarahan warga yang lain. Namun separuh bagian hatinya yang lain menangis karena pada hari ini seorang anak manusia tidak bisa mewujudkan niat sucinya mengirimkan doa untuk kedua orang tuanya bersama warga yang lain hanya karena prasangka masa lalu dan stigma yang dibangun untuk melanggengkan sebuah kuasa.

“Pak Kiai, acara inti akan segera dimulai,” tegur seorang pemuda yang berdiri di dekatnya.

Acara inti haul massal adalah pembacaan tahlil  bersama dan diakhiri dengan doa untuk para arwah yang dipimpin Kiai Karim. Sebelum doa dibacakan, biasanya secara bergantian panitia akan membacakan nama-nama orang yang pada hari itu akan dikirimi doa oleh keluarganya.

Di antara ratusan nama dalam daftar panjang itu, tidak tertulis nama Kardiman dan Surati!

***

Menjelang tengah malam saat semua warga desa kelelahan setelah seharian mengikuti acara haul massal, terlihat dua sosok berjalan perlahan mendekati komplek pemakaman desa.

Dua orang itu berjalan menuju ke dua buah makam yang terletak di pojok areal pemakaman itu, terpisah dengan makam-makam yang lain. Kedua makam itu terlihat sangat tidak terurus. Tumbuhan liar menutupi kedua makam tersebut. Hanya dua patok kayu keropos yang masih tersisa sebagai penanda.

“Man, di sinilah bapak dan ibumu dimakamkan. Mari kita doakan bersama!”

“Baik, Kiai!”


M. ARIF RAHMAN HAKIM, mantan Ketua PC. IPNU Kabupaten Batang, Jawa Tengah

 

Haul (Arab) : peringatan hari kematian seseorang. Biasanya diadakan untuk memperingati hari kematian seorang ulama/kiai besar. Tetapi di beberapa daerah di Jawa, tradisi haul massal dilaksanakan oleh warga masyarakat biasa. Waktu pelaksanaannya bervariasi tetapi sebagian dilaksanakan menjelang bulan Ramadhan.
Mondok (Jawa) : tinggal untuk mempelajari ilmu agama Islam di sebuah pesantren.  
Wasis (Jawa) : pantas ; cocok ; pas 
Mocopat (Jawa) : sejenis lagu-lagu daerah khas Jawa Tengah dan Yogyakarta.  
Hadits (Arab) : semua perkataan, perbuatan, dan harapan Nabi Muhammad SAW. Hadits menjadi salah satu sumber utama hukum Islam di samping Al Quran, Ijma’ dan Qiyas.   
Tahlil (Arab) : pembacaan surat-surat Al Quran untuk mendoakan orang yang sudah meninggal dunia.