Cerpen

Senyum

Ahad, 27 Oktober 2024 | 13:00 WIB

Sudah beberapa warung langganannya ia ampiri alias singgahi, akan tetapi satu pun belum ada yang membeli dagangannya. Sementara matahari rasanya kian cepat berlayar ke barat menjadikan kesempatan mendapat uang baginya hari ini sepertinya kian sedikit tersisa. Padahal, ia telah berjanji pada pemilik toko tempat kulakannya, bahwa sisa bon belanjaannya beberapa hari lalu dan tadi pagi bakal ia lunasi atau setidaknya ia cicil sore nanti; padahal ia telah berjanji mengajak istrinya mbakso alias makan bakso dan membelikan mobil-mobilan truk anaknya di pasar malam di lapangan kampungnya malam nanti.

 

Lelah mengendarai motor ditambah keroncongan perutnya tanpa ada seperak pun uang di sak alias kantung untuk membeli makanan menjadikan semangatnya mulai ambrol dan hampir-hampir punah harapannya untuk melanjutkan usahanya. Sekonyong-konyong keinginan untuk cepat-cepat pulang ke rumah demi melahap masakan istrinya melintasi benaknya. Perihal janji tersebut, biarlah untuk sementara waktu ia tunda.

 

Pada saat yang bersamaan, beberapa jarak darinya di arah yang sedang ia tuju, seorang bocah tampak gamang hendak mencrub alias menceburkan kakinya ke sier—saluran irigasi—pinggir sawah sepanjang sisi jalan itu. Sebelumnya, saat berjalan bareng seorang teman pulang dari sekolah dan ia memberitahu temannya itu bahwa ia akan rogoh—menangkap ikan langsung menggunakan tangan—di sier, temannya malah menakut-nakutinya dengan menyatakan bahwa boleh jadi bukan ikan yang ia tangkap, melainkan ular. Teringat itu ia jadi rada takut dan hendak mengurungkan niatnya, padahal beberapa hari lalu ia telah berjanji memberikan seekor ikan pada adiknya. Karenanya, demikian benaknya, esok ia kudu merelakan sebagian uang jajannya untuk membeli ikan pada penjual yang kadang berjualan di sekolahnya. Akan tetapi kemudian, begitu ia teringat bahwa sebagian uang jajannya tengah ia kumpulkan untuk membeli sepeda, kaki kanannya yang tadi sempat ia tarik, kembali ia posisikan bersiap-siap hendak diceburkan—kendati pun manda-mundu alias ragu masih terpampang di wajahnya. 

 

Kemudian, seiring mendapati setangkai senyum mengembang dengan begitu lepas di wajah seseorang yang melaju dengan motor pelan melewatinya, sekonyong-konyong ia terbayang senyum adiknya merekahkan selaksa kebahagiaan saat ia berbagi sesuatu dengannya. Ia jadi teringat, beberapa waktu lalu, sebelum berangkat ke tempat ini ia menemui temannya yang suka rogoh dan bertanya perihal ular tersebut. Jawaban temannya—yang menyatakan bahwa amat sedikit kemungkinan menangkap ular di sier dan jikapun ada biasanya paling ula banyu alias ular air yang tidak berbisa alias tidak berbahaya—mendorongnya menceburkan kakinya untuk kemudian merogohkan kedua tangannya ke semak-semak yang tumbuh di tepian sier itu.

 

Sementara pedagang itu yang baru saja melewati si bocah beberapa saat tadi juga mendapati setangkai senyum yang mengembang dengan begitu lepas di wajah seorang pengendara motor yang berpapasan dengannya. Senyum yang sepertinya sekonyong-konyong menguraikan keruwetan pikirannya. Entah bagaimana cara kerjanya, demikian benaknya mencoba menganalisa, barangkali sebagaimana melihat orang makan jadi ingin makan, demikian pula saat melihat orang tersenyum—menghidangkan kegembiraan—pun jadi turut gembira.

 

Keruwetan yang bermula dari belum lakunya dagangan ditambah lapar serta janjinya pada beberapa orang kemudian berkembang menjadi semacam putus asa untuk melanjutkan usahanya menawarkan dagangannya ke beberapa warung lagi rute hari ini yang belum ia singgahi. Alhamdulillah—segala puji hanya milik Gusti Allah Ta’ala—, demikian benaknya, seiring melihat senyum tadi ia teringat satu peristiwa dengan pelanggannya.

 

Ceritanya, begitu ia sampai di warung langganannya tersebut, tidak seperti biasa, si pemilik warung tampak gembira sekali menyambut kedatangannya. Kemudian, sementara ia menurunkan barang pesanan yang kali ini cukup banyak, benaknya rada penasaran kenapa pelanggannya bertingkah seperti itu.


Seiring rasa senang, tanpa ditanya si pelanggan memberitahunya, bahwa pagi tadi seorang pelanggan bolak-balik ke warung karena amat membutuhkan barang-barang yang sedang diturunkan itu. Dari sini ia kepikiran, dalam berdagang selain keuntungan materi, ia juga mendapat semacam keuntungan yang tidak bersifat materi, yakni membahagiakan orang lain dengan cara memenuhi kebutuhannya lewat transaksi jual-beli. Ini boleh jadi apabila ia niati ibadah lillahi ta’ala, ia pun dapat untung berupa pahala dari Gusti Allah Ta’ala yang Maha Pemurah yang suka membalas amal hamba-Nya yang sedikit dengan pahala yang berlimpah ruah. Bukankah menyenangkan orang lain adalah ibadah?


Di samping itu, ia jadi teringat, beberapa hari lalu ia dolan ke rumah seorang teman. Seusai uluk salamnya dibalas salam untuk kemudian ia disilakan duduk dan tak lama kemudian mereka asyik dalam obrolan di sela menikmati kopi dan sepiring gorengan, ia mengutarakan apa yang dipikir-rasakan—kegelisahannya—terkait usaha dagang yang tengah ia jalani, seperti cara mengembangkan usaha, cara berhubungan dengan relasi baru atau pelanggan dan lain sebagainya.

 

Kemudian ketika ia meminta masukan, temannya yang tampak menyimak dengan saksama itu menanggapinya dengan mengatakan supaya ia asyik menikmati kegelisahannya. Tidak begitu memahami maksud tersebut, ia meminta penjelasan lebih lanjut.

 

Temannya itu menjawab dengan menceritakan bahwa beberapa hari lalu ia mendapat pengetahuan bahwa mencari nafkah yang halal untuk mencukupi kebutuhan keluarga di samping merupakan ibadah yang diberi pahala oleh Gusti Allah Ta’ala, kegelisahan dalam mencari nafkah dapat menghapus dosa.


Mengingat itu secercah semangat menthongol alias terbit kembali untuk kemudian membesar dan berpendaran dengan begitu cerah dalam benaknya untuk melanjutkan usahanya: menyinggahi beberapa warung langganannya maupun warung yang baru akan pertama kali ia datangi. Perihal hasilnya ia serahkan kepada Gusti Allah Ta’ala Pemilik dan Pembagi semua rezeki.

 

Semua ini lantaran ia mendapati setangkai senyum mengembang dengan begitu lepas di wajah seseorang yang acap tersentuh hatinya saat membaca kisah Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam yang amat sangat terpuji akhlaknya. Bahkan, sebelum Gusti Allah Ta’ala mengangkatnya sebagai Rasul akhlaknya sudah sedemikian luhur.


Di antaranya dikisahkan bahwa sekali waktu seseorang membeli sesuatu kepada beliau, kemudian karena ada kembalian di pihak beliau, beliau berjanji mengantarkannya di tempat yang mereka sepakati. Akan tetapi, hingga tiga hari kemudian orang tersebut lupa atas kesepakatan mereka. Begitu ingat buru-buru orang tersebut menuju tempat janjian mereka dan mendapati beliau masih menunggunya.


Acap, seiring hatinya tersentuh dalam momen tersebut sekonyong-konyong dengan penuh penghayatan ia menyenandungkan shalawat hingga-hingga kadang saat motoran dengan pelan ia pun menyenandungkannya sembari sesekali teringat keluhuran akhlak Kanjeng Nabi yang diutus oleh Gusti Allah Ta’ala sebagai rahmat alias kasih-sayang bagi seluruh alam. Beberapa saat tadi saat ia asyik bershalawat, tidak ia sangka sebuah mobil menyalipnya. Di kaca belakang mobil itu tertulis sebaris shalawat allahumma shalli ala sayyidina Muhammad. Inilah yang menjadikannya tersenyum menyuguhkan selaksa kebahagiaan.

 

Kesugihan, 29 Muharam 1446Â