Cerpen UFI ULFIAH

Sumber Banyu

Ahad, 29 Desember 2013 | 11:00 WIB

Ini sudah masuk penghujung bulan Desember. Sudah waktunya mengumpulkan ember-ember, jerigen-jerigen, galon-galon, siapkan gerobak. Membentuk panitia  yang akan bertugas mengkoordinasi warga. Anak-anak juga sudah mulai diingatkan, untuk tidak banyak mengotori baju.
<>
“Jangan kotor-kotoran, Nduk, sebentar lagi tidak ada air. Kalau kotor nanti butuh banyu uakeh. Sebentar lagi musim kemarau,” begitu para Ibu mengingatkan anak-anak.

Soal anak selalu soal Ibu. Ibu yang harus lebih tahu, lebih merawat. Ibu yang tidak menganak biasa disebut ibu macam apa. Banyak begitu, banyak Ibu di rumah juga karena soal anak. Jika ibu bekerja pun pasti harus imbang, pekerjaan dan anak. Ibu-ibu sangat menyayangi anak-anak. Mendalam.  

Beberapa orang sudah disahkan menjadi panitia koordinasi. Begitu biasanya warga Majo menyebut. Tugas pertama adalah mendatangi rumah Suster Frederika. Kedatangan beberapa warga seperti biasanya pada Desember-Desember yang lalu. Meminta perkenan dan kerelaan hati Ibu Biarawati Frederika, demikian Warga Majo menyebut Suster Frederika atau Ibu Biarawati.

Karena waktu suster ditanya apa suster rumah sakit sama dengan Suster Frederika? Suster Frederika menjawab, kami ini biarawati. Suster Frederika mengatakan bahwa ia tidak menikah, tetap saja ada warga yang memanggil Ibu Biarawati. Dan Suster Frederika tidak pernah memprotes. Ia adalah ibu dan suster yang selalu melimpah senyumnya.

“Kami dari perwakilan desa Majo nyuwun perkenan Suster untuk menerima warga-warga mengambil air, mencuci, mandi nang Griyo suster, mugi-mugi Suster tidak merasa direpotkan, dan kami menghaturkan terima kasih atas perkenan Suster”

Segera setelah Januari tiba, Suster Frederika akan membersihkan teras samping rumahnya. Mengosongkan satu kelas sekolah dan mengeluarkan beberapa mukena, sarung, sajadah, disiapkan di teras.

“Nanti warga Majo bulan Januari akan banyak kesini, ikut mandi, mencuci, mereka juga solat di sini saja, kalau wudu disini solat di Majo keburu kentut di jalan, kita siapkan tempat solatnya”

Suster Frederika mengajak beberapa anak sekolah yang sedang mengaji  Injil di rumahnya untuk menyiapkan tempat solat warga desa Majo. Anak-anak itu riang menyiapkan keperluan solat. Mukena yang bau sedikit harus dicuci dulu, tidak lupa pakai molto. Suster bilang, orang Islam itu kalau solat katanya harus bersih lahir bersih batin. Bersih lahir itu mukenanya harus bersih. Demikian suster menjelaskan pada anak-anak.

Pada bulan Januari, sawah retak-retak, sumur kerontang, sungai kering. Waktunya warga Majo berduyun-duyun ke Desa Sumber Banyu, Desa sebelah timur Majo. Desa Sumber Banyu adalah Desa yang paling dekat dengan Majo, jaraknya tidak ada 2 kiloan meter. Di Desa Sumber Banyu air tidak pernah kurang, selalu melimpah. Untuk itulah para leluhur Sumber Banyu barangkali menamai desa mereka Sumber Banyu yang artinya sumber air. Sumur-sumur di Sumber Banyu selalu ada airnya. Sudah menjadi tradisi warga Majo, berduyun-duyun ke Sumber Banyu untuk mengambil air pada bulan Januari. Sebenarnya semua sumur di desa Sumber Banyu bisa diambil airnya, tapi berhubung yang paling dekat adalah sumur Suster Frederika, warga memilih yang terdekat dari Majo.

Suster Frederika pun sudah terbiasa dengan bulan Januari. Dia sudah mempersiapkan ruangan, teras, mukena, sajadah seminggu sebelum bulan Januari disiapkan. Warga Desa Majo mayoritas adalah Muslim. Mereka mengambil air untuk berbagai keperluan termasuk untuk wudhu dan mandi besar. Ketika awal-awal mengambil air di rumah Suster Frederika, banyak warga yang hanya mengambil air sambi mandi dan mencuci saja. Mereka akan membawa serta galon-galon, ember-ember, jerigen-jerigen dengan gerobak.

Para bapak dan anak laki-laki akan mengkoordinir galon-galon dan ember untuk dibawa pulang ke Majo. Biar tidak repot lebih baik mengumpulkan galon-galon, ember-ember itu diangkut pake gerobak lalu didorong bergantian. Semua adalah ciptaan sendiri. Warga memang lebih memilih mengurus diri sendiri daripada banyak mengharap-harap. Berpuluh tahun juga mengurus sendiri, kalau air habis bagaimana caranya, kalau panen gagal bagaimana caranya, jalan rusak bagaimana caranya, banyak cara-cara. Kalau menunggu bantuan takut ketulusan, padahal yang diharapkan belum jelas. Biasanya hanya omong-omong saja, demikian warga mengingat janji bantuan-bantuan dari pemerintah atau janji musiman, kalau pemilu sudah dekat.

Sebelumnya warga Majo bersuci, berwudhu, mandi besar di rumah Suster lalu solat di rumah masing-masing. Namun karena jarak rumah Suster Frederika ke Majo sekitar 2 kiloan meter, banyak warga yang mengeluh kentut dijalan sebelum sampai Majo. Akhirnya air yang seharusnya untuk minum, masak, digunakan untuk berwudhu.

Mendengar kasus kentut di tengah jalan, Suster Frederika menawarkan bagaimana kalau solatnya di rumah Suster Frederika saja. Ia akan menyiapkan teras rumah. Semua warga setuju termasuk para alim ulama. Semua warga plong. Yang solat Asar juga banyak melanjutkan ke Magrib di rumah Suster Frederika. Teras rumah Frederika menjadi tempat khusus solat.

Teras itu pada awalnya tidak ada sekat dengan ruangan tengah rumah suster. Tapi sejak warga ikut solat, Suster Frederika memberinya sekat triplek. Karena kalau tidak, ketika solat akan terlihat gambar-gambar Bunda Maria dan Salib yang dipasang di rungan tengah. Alim ulama hanya meminta kepada suster agar ketika solat hendaknya gambar-gambar dan salib itu jangan sampai terlihat. Bukan apa-apa, biar yang solat ga lirak lirik. Lalu dibuatlah sekat triplek. Biasanya pada sore hari dan malam Suster melakukan Ibadah diruang tengah, kadang berbarengan dengan solat Asar dan Isya warga Majo di teras sebelah.

Karena kebaikan hati suster memberikan air sumurnya yang tak habis-habis, meminjamkan ruangan dan selalu membersihkan sendiri teras dan kelas dibantu anak-anak penginjil. Warga Majo banyak yang menghadiahi Suster Frederika bermacam-macam, seringnya makanan, tempe, tahu, ikan, pisang, beras. Tak ada yang memberi uang. Alasannya tidak enak dengan memberi uang, Suster Frederika juga dijamin tidak akan menerima. Bagi warga Majo memberi balasan kebaikan dengan uang dirasa kurang etis, koyok menghargakan orang, yang menerima juga terkesan akan materialitik. Beda dengan memberi makanan atau hasil bumi, rasanya bangga dan rasa-rasanya koyo ada ikatan saudara. Begitu kata orang Majo. Hadiah makanan atau hasil bumi juga mampu dilakukan siapa saja. Kalau uangkan hanya orang kaya aja yang duwe duit. Warga Majo tidak punya uang tapi makanan dan hasil bumi selalu ada.

Suster Frederika juga kadang memberi warga yang sedang ngantri air atau yang tidur-tiduran di teras buah-buahan. Beberapa warga Majo memaklumi kalau Suster Frederika selalu memberi buah-buahan. Mungkin menghargai kita, kalau makanan, kue, nasi takut tidak kita makan karena kita pasti mengira-ngira ini halal atau tidak? Masaknya bagaimana? Peralatan masakannya sama tidak dengan waktu suster masak babi? Kita ini banyak tanya-tanya, isinya duga-duga, jadi Suster hanya memberi kita buah-buahan saja. Warga Majo memahami itu sebagai menghormati. Begitu saja.

Tapi dulu Mbah Im waktu bertamu dan ikut makan di rumah Suster? Nah lho, saat itu warga bingung. Waktu itu ada wakil gereja. Katanya dari Gereja Bandung, mereka sepertinya saling kenal, maksudnya Mbah Im dan wakil gereja itu. Mereka makan bersama. Beberapa orang membenarkan cerita itu.

Mbah Im adalah Mbah Imam Siddiq. Ulama sepuh Majo yang biasanya, memimpin tahlil, memimpin penguburan sampai mendamaikan warga yang bertengkar. Mbah Im yang pertama akan mensowani Suster Frederika, kulo nuwun atas nama warga Majo. Tapi ada yang tidak benar dari cerita itu, Mbah Im dan wakil Gereja Bandung saling kenal. Mereka tidak saling kenal sebelumnya.

Pertemuan di rumah Suster Frederika adalah pertama kalinya.  Pertemuan yang dilanjutkan dengan makan-makan. Mbah Im juga baru tahu kalau nama wakil gereja dari Bandung itu adalah Suhardi. Sekalian saja Mbah Im menghaturkan terima kasih pada Pak Suhardi. Khususnya terima kasih atas kebaikan Suster Frederika yang tentunya dibawah bimbingan Pak Suhardi sebagai Pastor.

Warga Majo menyangka Mbah Im dan Pastor Suhardi saling kenal karena mereka sangat akrab, terlihat tertawa-tawa, saling memuji kebaikan masing-masing, saling rangkul waktu menuju meja makan, berpelukan cium pipi kanan kiri waktu Mbah Im mengantar Pastor Suhardi Pulang.

Sewaktu ditanya warga apakah Mbah Im kenal dengan wakil Gereja dari Bandung? Mbah Im cuman bilang “Iyo saling kenal, kami sama-sama pengurus rumah ibadah, sama-sama tukang ceramah.”   

UFI ULFIAH, Aktif di Pengurus Pusat Lakpesdam NU. Cerpennya berjudul “Hajah Siti Tak Kembali Ke Saudi” di Jurnal Perempuan. Terpilih menjadi salah satu cerpen terbaik versi Yayasan Lontar dan diterbitkan ulang Yayasan Lontar dalam Bahasa Inggris dalam “I am Women”.