Cerpen

Teman Baikku

Ahad, 2 Juli 2017 | 00:13 WIB

Oleh: Dewi Marwanty


Yus,

kamu lihat perempuan berkepala jam yang duduk di kursi panjang di depan emperan toko dini hari? Dia menunggumu, Yus. Berwaktu-waktu. Sepanjang wulan Sura, Sapar, Mulud, yang kamu lewati bersama istri dan anakmu, rupanya belum sekalipun kamu menemuinya. Berkali-kali lipat dia telah mengganti batreinya yang aus. Dia membawa pengharapan besar. Barangkali benar kamu akan datang membawa palu, untuk memecah jam yang membungkus kepalanya.

 

Susi, Teman baikku....

Pulanglah, Sus. Lupakan anganmu untuk menari di atas awan bersama Yusril. Benar memang cinta adalah musafir yang safar dari harapan ke harapan. Dan aku juga sepakat bahwa begitu diri sudah cinta terhadap sesuatu, maka ia akan sepenuhnya merelakan diri untuk dikendalikan oleh yang dicintai. Contohnya kamu yang tetap menunggu Yusril di depan emperan toko dini hari. Tapi kamu juga harus mengerti, bahwa saat kamu memiliki cinta, maka saat itu pula kamu terancam dengan adanya sebuah kondisi yang disebut dengan keterpisahan. Kamu tak bisa selamanya memiliki Yusril. Dan rupanya kamu juga melupakan bahwa karena cinta, Habil dan Qabil berdarah. Karena cinta pula, Zulaikha mendurhakai suaminya lantas menggoda Yusuf. Sebaiknya kamu akhiri saja, Sus. Karena Yusril punya istri dan anak. Aku bilang, tolong pertimbangkan karena kamupun berdosa meski belum bersuami dan beranak. Kamu punya orang tua, kamu juga berkhianat, kalian impas. Jangan lagi, mengulang kisah cinta dan pengkhianatan yang sama.

 

Yus/Yusril, pemuda 25 Tahun. Temanku semasa kuliah. Suka mendawuhi kami dengan khutbah-khutbah singkatnya, satu diantara yang paling nyanthol dalam ingatan, “Sesekali waktu berjalanlah di tepi gedung tinggi, dan setiap langkahnya, ingatlah rambut yang dibelah tujuh.”.


Walah yus, yus! Kamu yang suka mendawuhi teman-temanmu, lhakok malah kamu sendiri sekarang yang keblinger sama kenikmatan duniawi. Saru, Yus! Bagiku, tak seharusnya kamu jadi laki-laki yang memaklumi setiap kunci hotel dan menziarahi setiap kafe-kafe. Kamu tak mengamini kesakralan perkawinanmu dengan wanita yang terpaksa kamu nikahi dua tahun lalu lantaran perutnya yang sudah keburu mblendung oleh ulahmu. Belum cukup itu kamu malah menggaet Susi, teman baikku. Menelanjangi mimpinya dengan ilusimu, menghapus hasratnya dengan hasratmu, melucuti wanginya dengan keinginanmu. Dan lantas kamu biarkan dia begitu saja. Hingga sepertinya tak akan menyesal kamu meninggalkan. Padahal dia datang dengan pengharapan, seharusnya tak pulang dengan kesia-siaan. Jika dulu kamu pernah mendawuhiku, “Sesekali waktu berjalanlah di tepi gedung tinggi, dan setiap langkahnya, ingatlah rambut yang dibelah tujuh. Maka sekarang kutantang kau, sesekali taruhlah beling di dalam sepatumu, lalu sambil berjalan ingatlah Shiroth itu.

 

Sudahlah Sus,

Apa itu air asin yang merembes di pipimu? Akankah kamu biarkan dirimu terluka terlalu dalam? Sekalipun tiada engkau sadari, derita yang menyayat luka batinmu adalah buah perbuatanmu, gelap pandangmu tersebab oleh cahaya penuntun-Nya yang terus engkau padamkan. Sepi perasaanmu tak lain karena kamu sendiri yang menjauhi risalah-Nya. Kesendirianmu kini bukan takdirmu tapi buah dari pilihanmu dulu. Seandainya kamu tak bermain-main dengan lelaki beristri. Ah, kukira penyesalan memang selalu datang membawa kata seandainya, jika saja, dan andai kata.


Kembalilah. Kembalilah, Sus. Sudahi penantianmu duduk di kursi panjang depan emperan toko menunggu seseorang yang tak layak kamu tunggu. Sudahi melankolimu. Pecahkan sendiri jam yang membungkus kepalamu itu. Bungkuslah kepalamu itu dengan kain syar’i dan kembalilah ke jalan yang di ridhoi Gusti penguasa alam, yang selalu bersamamu menempati antara tulang dan nadimu. Ayo, Sus. Bersegeralah! Jangan ditunggu lagi kapan. Sebelum kau dan aku benar-benar pulang. Karena umur hanyalah cerita singkat yang akan dipertanggungjawabkan dengan panjang.

 

Mojokerto, 23 Juni 2017.