Cerpen Bahrun Ulum
Pohon nangka Pak Samin berbuah tanpa mengenal musim. Musim hujan musim kemarau bergulir dengan rentetan buah berduri itu. Paling tidak ada satu sampai tiga buah pasti ada yang bergelantung di dahan yang pohonnya kokoh mengakar di pinggir sungai irigasi.
Akhir-akhir ini Pak Samin tidak bisa sepenuhnya menikmatinya. Kalau ada lima buah nangka yang tua, Pak Samin hanya bisa memetik dua. Kalau ada sepuluh buah, Pak Samin hanya dikasih sisa empat saja. Hal ini terjadi tidak sekali dua sekali. Ini terjadi berkali-kali. Hidup ini kadang kita yang memiliki, tapi orang lainnya yang menikmati.
Siapa yang sering mengambil buah nangka milik Pak Samin tanpa seizin si empunya? Untuk kali pertama Pak Samin memergoki orang yang sering mengambil nangkanya. Pak Samin mengintainya dari kejauhan. Dia membiarkan pencuri mengambil nangkanya. Cepat sekali cara orang itu memetiknya. Ternyata bukan cuma milik Pak Samin yang dicuri si pelaku. Kepunyaan orang lain pun dilibas habis. Pencuri menggondol apa saja buah pohon yang ada di tepi jalan untuk dijual ke pasar.
Si Pelaku pergi. Pak Samin penasaran, ingin mencari tahu pada si empunya pohon pisang. Barangkali ternyata dia sudah izin atau membayar uang kepada pemiliknya. Menurut penuturan si pemilik tidak ada orang izin memetik pisang dan tidak ada orang yang membayar sepeser pun. Wah, betul. Berarti yang memetik itu pencuri.
Kali kedua dan ketiganya Pak samin melihat orang yang sama sedang mengambil buah pisang dengan celuritnya. Di hari yang sama, nangka miliknya juga tidak ada. Pak Samin berprasangka orang ini pula yang mesti mengambilnya.
Dua buah nangkanya hilang. Padahal nangka ini sudah dipesan tetangganya untuk acara hajatan anak pertamanya. Separuh harga sudah dibayar.
"Saya sudah bilang, bayarnya nanti saja kalau buah sudah dipetik dan diantar. Si Pemesan malah merajuk mendorong-dorongkan uangnya. Kini nangka ada yang mengambil," gumam Pak Samin.
Esok hari Pak Samin menuju pasar. Dia melihat-lihat warung yang menampung jualan buah dan sayuran. Terlihat ada nangka miliknya. Ia yakin itu nangka miliknya. Persis ini nangka yang di kebunnya. Nangka ini sudah menjadi milik pedagang. Pedagang sudah membayar pada orang yang menjualnya.
Pak Samin membeli dua nangka itu dari penjual pasar. Sebab nangka ini sudah dipesan oleh tetangga untuk hajatan. Supaya tetangganya tidak kecewa. Hitung-hitung membantu agar tidak dia tidak mencari-cari lagi.
"Pak Samin, kalau dia jual nangka kok pasti setelahnya sampeyan membelinya," kata si Penjual.
"Ini sudah kali ketiganya, saya jadi curiga sama dia. Jangan-jangan," lanjut si Penjual.
"Jangan-jangan bagaimana maksudnya? Jangan buruk sangka begitu," sahut Pak Samin.
"Saat dia datang menjual ini, gelagatnya beda loh, Pak. Dia bilang dapat dari kebun, lah kebun siapa wong dia tidak punya kebun. Tapi ya sudah, lah wong saya hanya tengkulak sayuran."
"Memangnya siapa, Yu?" tanya Pak Samin penasaran.
"Itu loh yang rumahnya di ujung selatan. Rumahnya cat kuning, yang jualan bensin eceran."
Terbesit dalam pikiran Pak Samin. Dia sudah mengira. Bisa dilihat dari perawakannya. Walaupun Pak Samin tidak melihat secara tatap muka saat dia sedang menggait nangka.
Suatu ketika, pria itu, Bisman pergi kulakan bensin. Dua jerigen besar nangkring di kiri-kanan sepeda motornya. Satu jerigen kecil nangkring di depan jok motornya. Di depan warung makan dia bertemu kawan lamanya. Belum sampai ke pom bensin, ia berhenti sejenak untuk sekedar menyapa temannya yang sedang tongkrongan di kursi dipan warung pengkolan.
"Bisman sekarang tidak ada apa-apanya, kalau main kalahan, sudah miskin, tidak seperti dulu," celetuk Joni kawan lamanya. Hatinya tersentak mendengar ocehan lelaki paruh baya itu. Jiwa judinya tersulut dan membara. Bisman memarkirkan motor.
"Ngece ya. Ayo kita main, sampai berapa pun saya ladeni," ucap Bisman menanggapi tantangan Joni.
Tikar digelar di belakang warung makan pengkolan. Kartu remi dibuka dari wadahnya. Permainan judi digelar dari pagi sampai sore. Bisman kalah. Uangnya habis. Dia tidak jadi pergi ke pasar untuk kulakan bensin. Dia akan pulang dengan tangan kosong. Bensin tidak didapatkan. Barang belanja pesanan istri urung dibawanya. Hatinya kesal. Langkah pulang menjadi gamang. Dia takut dimarahi istri. Namun Bisman tetap nekat pulang.
Sampai di rumah, dia masuk kamar kemudian tiduran di kasur. Sehelai sarung dipakainya untuk menutupi seluruh badan dari ujung jari hingga ujung rambutnya, ngeringkel. Istrinya marah lama sekali menunggunya kembali.
"Biasanya pulang belanja Dzuhur. Ini sudah Asyar belum nongol. Dari mana saja kau? Terus barang belanjaannya mana?" istrinya mendesak-desak.
Bisman diam tanpa suara masih bersembunyi dalam helai sarung. Istri menyentuh kakinya. Tidak ada tanda-tanda bahwa suaminya sedang sakit. Ini membuat istri lebih leluasa ingin menyingkap hal apa yang telah menimpa diri suaminya. Istri menarik tangannya dan mendudukkan suaminya.
"Pak, bensinnya mana? Belanjaannya mana?" kali ini istrinya bertanya pelan.
"Habis," Bisman menjawab singkat sembari menundukkan kepala. Wajahnya masih murung.
"Habis untuk apa?" tanya istrinya keheranan dan kesal.
"Remi."
"Innalillahi, duit segitu-gitunya buat main. Baru saja tadi bakda Dzuhur dapat bantuan dari LAZIS buat biaya sekolah anak kita, eeeeh, uang saya buat belanja malah kolap," kata istrinya, kaget.
"Heh Mas, satu lagi. Sampeyan ini tidak tahu diri, maling barang orang yang sering ngasih bantuan kepada kita," kata istrinya lagi.
Bisman terkejut mendengarnya.
"Maling? Maling apa?" tanya Bisman setengah tidak percaya kenapa istri tahu.
"Maling nangka milik Pak Samin, tahu tidak Pak Samin itu siapa, dia itu Ketua LAZIS yang sering memberi bantuan uang ke kita."
"Kata siapa saya maling?"
"Bapak jangan coba berkilah yah. Tuh bisik-bisik tetangga," kata istrinya sambil melotot dan menudingkan tangan kirinya ke samping. Bisman baru tahu kalau itu pohon nangka Pak Samin. Dia merasa sangat malu.
Suami-istri itu lalu mendatangi rumah Pak Samin untuk meminta maaf. Suami-istri ini berterima kasih atas bantuannya. Bisman mengatakan sangat malu kepada Pak Samin. Dia merasa tidak tahu diuntung. Sering dapat bantuan dari LAZIS, tapi malah sering mencuri nangka milik Ketua LAZIS.
"Tidak ada jalan lain kecuali taubat. Ingin ibadahnya diterima, ingin punya anak shalih usaha yang dijalani juga harus shalih, tidak mungkin tidak. Masalah bantuan LAZIS, LAZIS itu bukan milik saya pribadi, saya hanya sedang diberi amanat untuk menjalankannya. LAZIS itu milik umat," kata Pak Samin.
Dihadapan Pak Samin, Bisman bertobat kepada Allah SWT. Laki-laki itu berjanji tidak akan mencuri dan berjudi lagi.
***
Bahrun Ulum, lahir di Dukuh Payung, Songgom, Brebes, Jawa Tengah pada April 1988. Lulus Pascasarjana UIN Yogyakarta. Puisinya ada dalam buku Sastra Pinggiran 1, Sastra Pinggiran 2, Ruang Sunyi, dan Antologi Puisi Penulis 9 Negara: Corona Pergi oleh Puisi. Penulis melahirkan novellet Kisah Kasih Kian, Satria Publisher, 2020. Dapat dihubungi melalui Bahrunulum543@gmail.com.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua