Surabaya, NU Online
Umat Islam akhir-akhir ini diusik dengan pandangan salah seorang dosen kampus negeri ternama di Surabaya bahwa jadwal awal waktu subuh yang digunakan ternyata terlalu dini.
Bagaikan gunung es, ternyata pandangan ini terus bergulir dan mendapat dukungan serta pembenaran dari sejumlah kalangan. Dalam pandangan kalangan ini, jadwal yang diterbitkan Kementerian Agama dan yang dipergunakan mayoritas Muslimin perlu didiskusikan kembali.
“Menurut mereka, ijtihad perhitungan awal waktu subuh yang banyak beredar di hampir masjid Indonesia sudah tidak relevan akibat perubahan atmosfer alam dan sejenisnya,” kata Ustadz Ahmad Muntaha, Kamis (27/2).
Menurut Sekretaris Pengurus Wilayah (PW) Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Jawa Timur tersebut, banyak kelompok menyatakan bahwa awal waktu subuh di Indonesia versi jadwal waktu shalat Kementerian Agama RI adalah 24 menit lebih cepat dibanding saat munculnya fajar shadiq yang menjadi acuan awal waktu Subuh.
“Komunitas ini mendasarkan pada interpretasi sejumlah teks hadits dan ditopang hasil observasi fajar shadiq atau rukyah fajar pada beberapa tempat di Jawa Timur, Jawa Tengah, DIY dan juga daerah di luar Jawa,” jelasnya.
Disampaikan, ahli falak di Indonesia berpendapat bahwa secara astronomis awal waktu subuh dimulai saat kedudukan matahari antara 18 derajat sampai 20 derajat. Pada umumnya argumentasi yang diberikan adalah ketika posisi matahari berada sekitar 18 derajat sampai 20 derajat dan bersesuaian dengan fenomena fajar astronomi.
“Saat itu cahaya bintang mulai redup karena mulai munculnya hamburan cahaya matahari yang kemudian didefinisikan sebagai akhir malam atau awal waktu Subuh,” ungkap alumnus Pesantren Lirboyo, Kota Kediri tersebut. Dan ijtihad yang digunakan di Indonesia dalam penentuan awal waktu subuh adalah posisi matahari 20 derajat di bawah ufuk dengan landasan dalil syar’i dan astronomis yang dianggap kuat, lanjutnya.
Data terbaru tentang rukyah fajar yang dilakukan oleh Pengurus Cabang (PC) Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) Gresik terdeteksi 18.1 derajat di bawah ufuk, yaitu di Labuhan Bajo, Nusa Tenggara Timur selama dua hari.
“Angka 18.1 derajat menunjukkan bahwa pendapat terdahulu yang menyatakan bahwa kedudukan matahari antara 18 derajat sampai 20 derajat masih bisa diterima eksistensinya,” tegasnya.
Dikemukakan pula, dalam berbagai literatur fiqih dinyatakan bahwa dalam waktu subuh dikenal waktu ikhtiar yaitu sejak fajar sampai ufuk menjadi terang buram (isfar) dan waktu jawaz yaitu sejak ufuk terang buram (isfar) sampai terbit matahari. Bahkan al-Ushthukhry berpendapat saat terang buram (isfar) waktu subuh telah habis.
“Dalam hal ini ditemukan pandangan fukaha bahwa dianjurkan shalat Subuh di waktu yang sangat pagi atau taghlis yaitu waktu di mana ketika telah selesai shalat seseorang masih belum bisa mengenali kawan yang duduk di sisinya,” katanya. Batasan dan klasifikasi waktu subuh di atas, bagi ahli falak tentunya dapat dilakukan observasi fajar kemudian dihisab guna memastikan kapan awal waktu Subuh, waktu ikhtiar dan waktu jawaz, lanjutnya.
“Jadi jika kita asumsikan klaim mereka itu benar, maka awal waktu Subuh sesuai jadwal yang beredar pada tanggal 29 Feburuari 2020 untuk kota Surabaya harus ditambah 24 menit yaitu pukul 4.17 ditambah 24 sehingga menjadi pukul 4.41 atau sama dengan awal waktu Subuh wilayah ibu kota Jakarta versi jadwal yang beredar,” urai dia.
Dan masalah adalah di antara persoalan yang akan menjadi perhatian sejumlah kiai dan pengasuh pesantren di Jawa Timur dengan menggelar bahtsul masail. Acara dipusatkan di Pondok Pesantren Mathaliul Anwar, Karanggeneng, Lamongan mulai Sabtu (29/2) hingga Ahad (1/3) di bawah koordinasi PW LBMNU Jawa Timur.
Pewarta: Ibnu Nawawi
Editor: Syamsul Arifin