Daerah

Dalam Kasus Perselingkuhan, Bukan Cuma Pelakor yang Bersalah

Selasa, 24 Januari 2023 | 10:00 WIB

Dalam Kasus Perselingkuhan, Bukan Cuma Pelakor yang Bersalah

Ilustrasi pernikahan (Freepik)

Sumenep, NU Online
Dalam kasus perselingkungan, kerap kali perempuan menjadi satu-satunya pihak yang disalahkan. Karena itu kemudian muncul istilah perebut laki orang atau pelakor. Seharusnya, kesalahan tidak hanya ditodongkan pada perempuan. Pihak laki-laki mendapatkan sanksi itu, karena ada peran besar dari seorang laki-laki di dalamnya. 


Dekan Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Guluk-Guluk, Sumenep, Fathurrosyid mengatakan hal itu saat mengisi saat mengisi acara Indonesia Bisa dengan tajuk Isu-isu Pelakor dalam Sosiologi Tafsir. Kegiatan diinisiasi oleh Pengurus Cabang (PC) Lembaga Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) Sumenep, Sabtu (21/1/2023).


Dalam pandangnya, jika dilihat dari sosial budaya, masyarakat melihat adanya perkelahian antara dua perempuan, yakni istri dan selingkuhan. Hanya saja kasus ini dipublikasikan media sehingga masyarakat mengartikan pelakor seorang penggoda atau perusak rumah tangga orang lain. 


"Yang ditonjolkan adalah perempuan. Ini cermin buruk menggunakan istilah pelakor. Karena di dalam ada 2 tersangkanya. Yang lebih miris lagi, akronim pelakor tambah populer saat ditulis, bahkan dijadikan film," ujarnya dalam acara yang disiarkan juga lewat Radio Republik Indonesia (RRI) Sumenep.


Lebih lanjut, latar belakang kasus ini bermula dari cara padang masyarakat terhadap sikap patriarki, sehingga masyarakat cenderung menggunakan kekuatan laki-laki daripada perempuan.


"Bisa jadi karena interpretasi seseorang terhadap teks-teks keagamaan. Karena dalam sosiologi tafsir, perempuan bisa dilihat dari 2 aspek. Yakni, sebagai pemberi keindahan dan keresahan sosial. Berhubung yang paling dominan adalah laki-laki dan diperkuat dengan tradisi patriarki, maka perempuan selalu disalahkan," paparnya.


Dijelaskan oleh Pak Ocid sapaannya, penyebab kerusakan dalam rumah tangga, yang paling dominan adalah laki-laki. Hanya saja sekarang bergeser pada perempuan. 


Pria asal Pragaan ini mengutarakan, ada sebuah tafsir yang menyebutkan bahwa perempuan makhluk yang inferior, kemudian laki-laki sosok yang superior. Misalnya dalam Surat Yusuf ayat 28 yang ditafsirkan, ketika suami Zulaiha melihat pakaian Nabi Yusuf sobek di bagian depan, ini menandakan tipu daya perempuan. 


Dilanjutkan, Surat An-Nisa' ayat 76 yang ditafsirkan adanya tipu daya setan yang lemah. Sehingga para mufassir memberikan pengertian bahwa tipu daya perempuan sangat besar daripada setan. Juga dalam Tafsir As-Samarqandi menyatakan, tipu daya setan bersifat imajinatif. Sedangkan perempuan konkrit di depan mata.


Tak hanya itu, Ibnu Katsir juga menyatakan, kemampuan rasio laki-laki dalam berpikir akan jernih jika berada di samping perempuan. Baginya, jika tafsir ini terus dikonsumsi oleh masyarakat, maka sosok perempuan menunjukkan keresahan.

 

"Klaim yang ditodongkan pada selingkuhan, seakan-akan tidak menunjukkan kehebatan dalam mengabdi pada suami. Sementara selingkuhan dianggap sosok yang tak bermoral," ungkapnya.


Fathorrosyid menegaskan, terminologi Pelakor dimunculkan oleh seorang perempuan yang menunjukkan kepengecutan. Ditambah lagi warga mengkonsumsi literatur dan mendengarkan ceramah agama.


Menurutnya, istilah pelakor dicetuskan untuk memberi efek jera atau hukum sosial. Namun, penggunaan istilah ini semakin rawan.


"Semestinya kaum laki-laki juga mendapatkan sanksi juga. Atau istilah ini diganti. Sebaliknya media masa yang terlibat dalam mempublikasikan permasalahan rumah tangga orang lain, memberikan keuntungan. Ini perlu dihentikan. Sedih jika perempuan selalu jadi korban," tandasnya.


Kontributor: Firdausi
Editor: Kendi Setiawan