Daerah

Dedikasi Kusniati Masti, Guru yang Gigih Berantas Buta Huruf di Desa Terpencil Indramayu

Senin, 25 November 2024 | 06:30 WIB

Dedikasi Kusniati Masti, Guru yang Gigih Berantas Buta Huruf di Desa Terpencil Indramayu

Kusniati Masti saat mengajarkan anak didiknya membaca di UPTD SMPN Satu Atap 2 Cantigi. (Foto: dok. pribadi)

Indramayu, NU Online

Kusniati Masti (49) adalah seorang guru yang menghidupkan pendidikan dan gigih memberantas buta huruf di desa terpencil yang ada di Indramayu, Jawa Barat, tepatnya di Desa Cemara, Kecamatan Cantigi.


Kusniati mulai mengajar sebagai guru honorer di SMP Negeri 1 Gabuswetan sejak Februari 2000 dan baru mendapatkan Nomor Induk Pegawai (NIP) Aparatur Sipil Negara (ASN) pada April 2006.


Setelah 16 tahun mengabdi, ia mendapat surat perpindahan tugas dari Pemerintah Daerah Indramayu untuk mengajar di Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) SMP Negeri Satu Atap 2 Cantigi pada 2 Agustus 2016.


Disebut sekolah satu atap karena gedung sekolahnya bergandengan dengan SD Negeri Cemara Wetan. Lapangan untuk upacara dan olahraga pun harus berbagi dengan SD, sehingga pelaksanaan upacara hari senin dan hari-hari besar dilakukan secara bergiliran, bahkan terkadang dilaksanakan secara bersama.


Saat pertama mengajar di UPTD SMPN Satu Atap 2 Cantigi, jumlah guru kala itu hanya tiga orang yang sudah berstatus ASN dan sisanya guru honorer yang berasal dari daerah setempat. Namun saat ini, tersisa tinggal Kusniati sebagai guru ASN yang masih setia mengajar di SMP itu.


Jumlah guru di UPTD SMPN Satu Atap 2 Cantigi saat ini hanya delapan orang yang terdiri dari Kusniati dan tujuh rekannya sebagai guru honorer. Di sana, satu guru dapat merangkap dua mata pelajaran.


“Di UPTD SMPN Satu Atap 2 Cantigi itu, satu gurunya terkadang bisa merangkap dua pelajaran, misalnya guru matematika merangkap sebagai guru komputer,” kata Kusniati kepada NU Online, pada Senin (25/11/2024).

 
Tema dan Logo Hari Guru Nasional 2024. (Foto: Kemendikdasmen) 


UPTD SMPN Satu Atap 2 Cantigi hanya memiliki tiga kelas untuk mengajar, satu laboratorium, dan satu ruang guru. Perpustakaan yang berisi arsip dan buku-buku bahan baca masih bergabung dengan ruangan laboratorium.


Ruang laboratorium ini baru hadir ketika Kusniati mendapatkan amanah dan tanggung jawab sebagai Pelaksanan Tugas (Plt) Kepala Sekolah UPTD SMPN Satu Atap 2 Cantigi sejak 14 September 2024.


Ia menyadari betapa pentingnya ruang laboratorium untuk meningkatkan pemahaman dan kreativitas siswa-siswinya dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuan selama di dalam kelas.


Walau jumlah siswa di UPTD SMPN Satu Atap 2 Cantigi setiap tahun berjumlah kurang dari 100, tetapi Kusniati tak pernah menurunkan semangat dalam mengabdi kepada tanah kelahirannya itu.


“Setiap tahun memang di sekolah kami tidak pernah mencapai 100 siswa, biasanya hanya sekitar 80-an atau 90-an saja, dan siswa tersebut berasal dari daerah sekitar saja,” ujar perempuan kelahiran Indramayu, 12 Desember 1975 ini.


Tantangan mengajar di daerah terpencil

Tantangan awal yang didapatkan Kusniati yaitu jarak rumah dengan sekolah yang mencapai 37 kilometer. Bahkan pada 2016, jalanan menuju sekolah masih berlumpur dan berbatu, sehingga membutuhkan waktu perjalanan selama 1,5 hingga 2 jam untuk sampai ke lokasi.


Tak terbayang jika musim hujan turun, perjuangan Kusniati menuju sekolah sangatlah luar biasa, lubang demi lubang jalanan rusak ia tempuh demi siswa-siswinya. Walau akhirnya tahun demi tahun, jalan menuju sekolah mulai diperbaiki dan diaspal oleh Pemerintah Daerah Indramayu, tetapi tidak langsung selesai di tahun yang sama.


“Pada 2016 itu jalanan banyak yang berlumpur dan banyak kerikil (batu-batu kecil), setiap tahun ada perbaikan beberapa kilo (meter), sampai tahun ini (2024) kurang lebih satu kiloan lagi yang belum diperbaiki dan diaspal,” ujar Kusniati.


Selain melawan jalanan rusak, perjuangannya menuju ke sekolah juga beriringan dengan mobil-mobil besar seperti kontainer dan mobil bak terbuka maupun tertutup. Kusniati sangat sering mengganti ban motor karena setiap hari melintasi jalanan rusak.


Semangatnya tak pernah pudar walau menerjang jalanan rusak, panasnya terik matahari, dan derasnya hujan menemani Kusniati dalam perjalanan menuju sekolah. Sebab hidupnya memang didedikasikan untuk mencerdaskan para siswa-siswinya di daerah terpencil itu.


Memberantas buta huruf

Ketika memutuskan mengabdi di daerah terpencil di Indramayu ini, Kusniati menyadari bahwa perjuangannya ini tidak akan maksimal ketika hanya memberikan layanan pendidikan di dalam kelas aja. Saat di luar kelas, ia juga memberikan layanan khusus bagi siswa-siswinya yang belum mengenal semua huruf dan bisa membaca. Sepanjang hari, waktu Kusniati habis hanya untuk mengajar.


“Setiap kelas, kelas 7-9, memiliki beberapa siswa yang tidak bisa membaca terkadang juga ada huruf yang belum diketahui,” katanya.

 
Kusniati Masti saat sedang memberikan pelajaran kepada siswa-siswinya di UPTD SMPN Satu Atap 2 Cantigi, Indramayu, Jawa Barat. (Foto: dok. pribadi) 


Setiap hari ketika waktu pulang sekolah, Kusniati tidak langsung bergegas merapikan tasnya, tetapi ia justru meluangkan waktunya hingga menjelang waktu maghrib untuk lanjut membimbing dan mengajarkan siswa-siswinya yang belum bisa membaca. Baginya, mengajar adalah pengabdian yang akan ia jalani sampai kapan pun.


Tak pernah terbersit di pikirannya untuk mendapatkan upah tambahan selama membimbing siswa-siswinya.


“Tidak ada biaya tambahan, mengajar yang belum mengenal huruf secara lengkap dan membaca ini gratis, karena saya berharap siswa-siswa ini dapat memahami pelajaran baik di dalam kelas maupun di luar kelas,” ujarnya.


Harapan bagi pendidikan

Sebagai seorang guru yang mengajar di wilayah terpencil, Kusniati berharap besar agar pendidikan di daerah-daerah yang jauh dari pusat kota mendapatkan pemerataan akses dan kualitas dalam pembelajaran.


Sebab dengan pemerataan akses dan kualitas pembelajaran dapat membuka peluang bagi anak-anak yang tinggal di wialayh terpencil untuk mendapatkan pendidikan yang sama, sehingga dapat meraih cita-cita mereka.


“Kepada para guru yang mengabdikan dirinya di wilayah terpencil di seluruh Indonesia, tetap semangat dalam mengajarkan siswa-siswanya untuk memberantas kebodohan dalam pendidikan, karena guru dapat mengubah nasib anak-anak melalui dunia pendidikan,” ujar Kusniati.