
Ustadz Bukhari (paling kanan) bersama para karyawan yang rata-rata ibu rumah tangga sekitarnya. (Foto: NU Online/Aryudi AR)
Aryudi A Razaq
Kontributor
Jember, NU Online
Pesantren bukan semata-mata mengajarkan ilmu tapi juga menebar berkah. Banyak alumnus pesantren yang sebenarnya biasa-biasa saja saat di pondok, namun ketika pulang kampung dan berkecimpung di tengah-tengah masyarakat, mereka sukses menjadi ‘orang’. Bahkan bidang kesuksesan itu terkadang jauh dari ‘jurusan’ ilmu yang dipelajari di pondok.
Itulah yang dirasakan oleh alumnus Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Desa Sukorejo, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo, Imam Bukhari. Pria yang tinggal di Dusun Sumbercanting, Desa Tugusari, Kecamatan Bangsalsari, Jember, Jawa Timur itu mengaku tak sengaja mendirikan pabrik kopi.
Ustadz Bukhari mengisahkan, tiga tahun yang lalu, dirinya mendapat titipan kopi luwak beberapa kilogram dari salah seorang wali muridnya, untuk dijual. Kopi luwak memang terkenal enak tapi harganya selangit sehingga peminatnya juga terbatas. Untuk menawarkan kopi luwak itu, ia memanfaatkan media sosial facebook untuk promosi.
“Alhamdulillah, promosi saya di facebook dibaca oleh Nyai Hj. Isa’iyah, putri KH As’ad Syamsul Arifin, guru saya. Dan beliau langsung mengirim messenger ke saya untuk membeli kopi luwak itu,” kenangnya saat memberi pemaparan terhadap santriwati di Sekretariat Kampung SDGs, Desa Sukorejo, Kecamatan Bangsalsari, Jember, Ahad (5/7).
Keberhasilan menjual kopi luwak tersebut menginspirasi Ustadz Bukhari untuk menekuni binis kopi bubuk. Sekian waktu kemudian, lagi seorang petani kopi menitipkan dua ton kopi untuk dijual. Karena jumlahnya banyak, agar lebih resmi dalam memasarkan kopi, maka dibuatlah nama kopi BIKLA. BIKLA merupakan akronim dari Barokah Ibrahimy Kopi Lereng Argopuro. Sebuah nama yang mengisyaratkan keterkaitan dengan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Desa Sukorejo, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo. Raden Ibrahim adalah nama asli KH Syamsul Arifin, pendiri pesantren tersebut sekaligus ayahanda KH As’ad Syamsul Arifin.
Tapi ujian datang merajam. Akhir ‘perjalanan’ kopi dua ton titipan orang yang sudah di-merk BIKLA itu cukup mengecewakan. Kopi ludes, uang juga tumpas.
“Mungkin karena manajemen pemasarannya asal-asalan,” jelas Ustadz Bukhari.
Namun kegagalan itu tak membuatnya putus asa. Ia kembali bangkit, tapi tentu kegagalan yang telah dirasakannya, menjadi rambu agar tidak terperosok ke dalam lubang yang sama dua kali. Maka Ustadz Bukhari pun ‘berjualan’ kopi lagi dengan lebih hati-hati. Segala perijinan yang terkait dengan produk juga diurus, termasuk pembentukan Koperasi Pondok Pesantren (Koppontren) Ihya’us Sunnah Al-Hasany sebagai pengelola pabrik kopi.
Pelan tapi pasti. Kopi BIKLA terus merangkak naik perekembangannya. Meski masih tergolong pabrik kecil, tapi jangkauan pemasarannya sudah cukup luas. Market yang dibangun masih lebih mengandalkan jaringan media sosial, sehingga tidak heran peminatnya banyak dari luar Jember hingga luar Jawa.
“Alhamdulillah, ada pemesan rutin. Setiap hari konsumen butuh 6 ribu pcs atau 1 ton. Tapi kami hanya bisa memenuhi 3 ribu pcs karena kapasitas normal mesin sangrai hanya 3 ribu psc perhari. Alhamdulilah, Corona tak begitu berpengaruh terhadap penjualan” jelas Ustadz Bukhari.
Walaupun demikian, kesuksesan Ustadz Bukhari bukan sesuatu yang tiba-tiba. Ia termasuk sosok yang ulet dan sabar dalam menekuni bisnis kopi bubuk. Konsumen pesan (kopi) sediktipun tetap ia layani. Prinsipnya, jangan berharap yang besar dulu, karena yang besar asalnya juga kecil.
“Sedikit tetap wajib kita layani, yang penting tidak rugi, kami pakai ekspedisi (pengirimannya),” terangnya.
Saat ini, Ustadz Bukhari sedang membangun gedung baru untuk ruang produksi dengan mendatangkan mesin sangrai yang berkapasitas lebih besar.
Ustadz Bukhari mengakui bahwa apa yang dirinya capai saat ini tak lepas dari doa/barokah guru dan Pesantren Sukorejo –sebutan lain untuk Pesantren Salafiyah Syafi’iyah-- yang disinggahi dulu. Dikatakannya, menekuni bisnis kopi merupakan implementasi dari salah satu wasiat Kiai As’ad Syamsul Arifin.
“Wasiat beliau ada tiga, salah satunya adalah santri harus berjuang untuk membantu pendidikan masyarakat. Apa yang saya lakukan ini juga untuk membantu pendidikan. Sebab, sebagian keuntungannya untuk membiayai pendidikan di lembaga saya,” pungkasnya.
Pewarta: Aryudi AR
Editor: Ibnu Nawawi
Terpopuler
1
Alasan NU Tidak Terapkan Kalender Hijriah Global Tunggal
2
Khutbah Jumat: Bersihkan Diri, Jernihkan Hati, Menyambut Bulan Suci
3
Khutbah Jumat: Sambut Ramadhan dengan Memaafkan dan Menghapus Dendam
4
Khutbah Jumat Bahasa Jawa: Amalan Persiapan kangge Mapag Wulan Ramadhan
5
Khutbah Jumat: Optimisme Adalah Kunci Kesuksesan
6
Hukum Trading Crypto dalam Islam: Apakah Crypto Menguntungkan atau Berisiko?
Terkini
Lihat Semua