Tasikmalaya, NU Online
Ketua Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Tasikmalaya Asep Muslim mengatakan, lulusan pesantren zaman Tasikmalaya pada zaman KH Ruhiat dan KH Zainal Mustofa tidak berkutat hanya di ruang-ruang pesantren, tapi bergumul langsung bersama kehidupan masyarakat sekitarnya.
Menurut Asep, para kiai lulusan pesantren itu mengajarkan kembali pemahamannya kepada para santri dan pada waktu yang sama bersatu dengan masyarakat sekitarnya.
“Mereka betul-betul orang intelektual organik. Mereka tidak di menara gading. Mereka hidup bersama masyarakat. Tumbuh dan berkembang bersama di kalangan bawah sehingga memahami keinginan masyarakat untuk merdeka waktu itu,” jelasnya di Gedung PCNU Kabupaten Tasikmalaya, Selasa (23/10).
Ia melanjutkan, ketika tanah airnya dijajah bangsa asing, para lulusan pesantren semacam KH Ruhiat dan KH Zainal Mustofa yang terdidik di dalam tauhid Islam, betul-betul percaya memerdekakan dan membela hak-hak masyarakat adalah jihad, sehingga kalaupun meninggal membela mereka akan syahid.
Tak heran kemudian, KH Ruhiat bersama KH Zainal Mustofa sering ditangkap Jepang, dipenjarakan, dilepaskan, ditangkap lagi, dipenjara lagi.
Para santri dan kiai Tasikmalaya waktu itu menolak seikerei penjajah Jepang karena dinilai sebagai kemusyrikan. Karena itulah yang membuat mereka marah dan memberontak.
“Tapi itu bukan satu-satunya sebab, Jepang juga mengambil paksa hasil bumi masyarakat Tasikmalaya. Sehingga ia juga marah karena itu tidak dibenarkan di dalam ajaran Islam. Kiai Zainal Mustofa melawan hingga syahid,” jelas Asep.
Menurut Asep, cara berpikir dan semagat santri-santri semacam itu masih berlanjut hingga saat ini di Tasikmalaya, tapi dengan gerakan berbeda sebab zaman sudah berubah dan yang dihadapi pun bukan penjajahan Jepang.
“Ansor sebagai bagian dari santri, sekarang punya Lembaga Bantuan Hukum. Gerakan santri sekarang ya, misalnya mengadvokasi masyarakat Tasikmalaya, mengadvokasi kebijakan pemerintah supaya tidak merugikan rakyat,” pungkasnya. (Abdullah Alawi)