Daerah

Lebaran Ketupat Durenan, Tradisi yang Kian Berkembang

Sabtu, 12 November 2005 | 09:04 WIB

Trenggalek, NU Online
Tradisi merayakan hari raya ketupat yang dilakukan umat Islam di Kecamatan Durenen Kabupaten Trenggalek, Jatim, semakin tahun, kian merambah luas. Kini, tradisi yang semula hanya ada di Desa Durenan itu sudah merambah luas ke desa-desa lain. Diperkirakan, lebih dari separuh desa di Kecamatan paling timur kabupaten yang dua pertiga wilayahnya berupa pegunungan itu, saat ini juga terimbas untuk bersilaturrahmi lebaran bertepatan dengan perayaan lebaran ketupat.

Lebaran ketupat di Kecamatan Durenan selalu dilaksanakan setiap tanggal 8 Syawwal. Pada ‘Idul Fitri 1426 H ini, Umat Islam di Kecamatan Durenan merayakan lebaran ketupat, Kamis (10/11). Ini bukan berarti, pada 1 Syawwal, Umat Islam Durenan tak merayakan ‘idul fitri. Begitu memasuki 1 Syawwal, Umat Islam daerah ini juga ber’idul fitri sebagaimana layaknya yang dilakukan Umat Islam Indonesia.

<>

Meski warga lagi didera beban ekonomi yang cukup berat akibat kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak), namun, perayaan lebaran ketupat Durenan tetap saja berlangsung marak. Sejak pagi, ribuan orang sudah berdatangan ke wilayah Durenan. Mereka bukan hanya warga Trenggalek, tapi juga datang dari berbagai penjuru kota.

Seakan tak terbebani dampak dari kenaikan harga BBM, ribuan umat berdatangan ke Durenan dengan mengendarai sepeda pancal, sepeda motor, maupun mobil. Bahkan,  tak jarang juga, mereka  mencarter kendaraan roda empat dengan bak terbuka. Akibatnya, sepanjang hari, jalur utama di wilayah Durenan dijejali aneka jenis kendaraan yang berjalan menyemut. Mereka berdatangan untuk silaturrahmi lebaran kepada sejumlah kiai, tokoh masyarakat serta sanak keluarga.

Cuma sayang, seiring dengan kemajuan jaman, nilai moral silaturrahmi lebaran itu, kini mulai ‘terkontaminasi’ nilai-nilai yang berbau hedonisme. Banyak pengunjung yang datang ke Durenan, terutama kaum muda, sekedar untuk ‘cuci mata’. Mereka tidak bersilaturrahmi, tapi hanya nongkrong-nongkrong di tepi jalan sambil mejeng diatas kendaraan sepeda motor.

 ‘’Kalau dulu, orang datang ke Durenan semata-mata untuk silaturrahmi lebaran. Tapi, sekarang banyak anak-anak muda yang  datang kemari sekedar untuk mejeng atau ‘cuci mata’. Ini yang patut disayangkan dari lebaran ketupat di Durenan,’’ ungkap KH Abdul Fattah Muin, generasi keempat dari Bani Masir, perintis  lebaran ketupat di Durenan, Trenggalek.

Diakui Abdul Fattah Muin, tradisi lebaran ketupat Durenan, kini kian merambah luas ke desa-desa lain. Padahal, awalnya, tradisi lebaran ketupat itu hanya dilangsungkan keluarga Bani Masir di kompleks Ponpes Babul Ulum Desa Kecamatan Durenan. ‘’Sekarang, hampir separoh desa di Kecamatan Durenan melangsungkan tradisi lebaran ketupat,’’ kata Abdul Fattah Muin.
Menurut Abdul Fattah Muin, tradisi lebaran ketupat di Durenan sudah ada kira-kira sejak 1761. Perintisnya, KH Abdul Masir (Mbah Mesir) yang juga dikenal sebagai guru Pangeran Diponegoro. ‘’Lebaran ketupat dilaksanakan pada hari kedelapan Syawwal setelah sebelumnya dilakukan puasa Syawwal selama enam hari berturut-turut,’’ katanya.

Uniknya, dalam lebaran ketupat, biasanya warga Durenan ‘open house’ dengan menyiapkan makanan berupa ketupat lengkap dengan lauk pauknya. Siapa pun yang datang silaturrahmi akan disuguhi makan ketupat ini. ‘’Warga sini selalu menyiapkan ketupat, selain makanan berupa jajanan,’’ ungkap Abdul Fattah Muin.

Di rumah Sukardi (65), misalnya, pada lebaran ketupat juga menyiapkan ketupat untuk tamu-tamunya yang datang silaturrahmi. ‘’Monggo, kupate  didahar (Silahkan, ketupatnya dimakan),’’ ujar Santi, anak Sukardi setelah menyuguhkan sepiring ketupat yang dibumbui lauk sop ayam.

Mahasiswi STAIN Tulungagung itu menyatakan, pada lebaran ketupat tahun ini, keluarganya menyiapkan sekitar 70 buah ketupat. ‘’Yah, namanya tradisi. Bagaimanapun, keluarga kami mesti menyiapkan makanan ketupat,’’ kata Sukardi sambil mempersilahkan tamu-tamunya menikmati hidangan ketupat yang disuguhkan diatas meja di ruang tamunya.

Kontributor Trenggalek : Muhibuddin