Teluk Bintuni, NU Online
Masyarakat Kampung Banjar Ausoy, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat tak lagi kesulitan mencari tempat mengaji Al-Quran dan ilmu agama Islam. Dikarenakan saat ini di sana sudah berdiri Madrsah Diniyah Takmiliyah Awwaliyah Thoriqul Huda.
Di bawah asuhan Agus Hasan Jazuli bersama istri, Madrasah Diniyah ini menampung ratusan santri asli Papua maupun perantau. Mereka menyatu jadi dalam satu wadah, saudara sesama Muslim.
"Santri-santri diajarkan pelajaran seperti di pesantren Nahdlatul Ulama (NU) pada umumnya," katanya Gus Hasan Jazuli, Rabu (25/12).
Setiap sore hari kecuali Jumat, Al-Qur'an menjadi pegangan wajib santri. Mereka diajarkan cara membaca Al-Qur'an sejak nol. Untuk membantu kelancaran bacaan Al-Qur'an santri juga diminta menghafalkan nazam Kitab Hidayatussibyan yang bahas ilmu tajwid.
Ada juga hafalan nazam Kitab Aqidatul Awam (Tauhid) dan Ro'sun Sirah untuk materi bahasa Arab. Khusus bulan Ramadlan kitab yang dikaji adalah Nurul Yaqin.
"Tujuan mendirikan Madrasah Diniyah ini demi menyiapkan kader dan keilmuan Aswaja ala pesantren," tambah alumni Pesantren Kiai Mojo Jombang ini.
Lanjut Gus Hasan, nama Thoriqotul Huda diambil dari Mushola Thoriqotul Huda yang menjadi tempat berlangsungnya madrasah diniyah. Kepada santri, pengurus madrasah diniyah juga tidak terlalu membebani biaya mahal. Karena tujuan pendirian lembaga pendidikan ini adalah dakwah.
Selain itu, dengan nama ini juga diharapkan kelak lembaga ini menjadi jalan menuju keselamatan (surga) dengan modal Al-Quran. Thoriqotul Huda kedepan juga ingin menjadi rumah besar umat Islam Papua Barat sebagai basis dakwah, tarbiyah dan sosial.
"Ke depan kita berharap muncul tokoh pemuda pesantren yang berjuang di pendidikan agama Islam khususnya Papua Barat demi menjaga akidah Aswaja dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semoga Madrasah Diniyah ini jadi cahaya Al-Quran dari Indonesia timur," ujarnya.
Bagi Gus Hasan, berjuang membangun lembaga pendidikan di Papua Barat butuh niat yang kuat dan mental baja. Penyebabnya kaum Nahdliyin masih minirotas dan tak banyak yang mau repot-repot merawat umat.
Alasan klasik lainnya munculnya kemalasan untuk berjuang karena akses transportasi yang sulit. Gus Hasan biasanya memerlukan waktu 19 jam dari Manokwari dengan menempuh jalan berlumpur. Bahkan kubangan lumpur tersebut mirip sawah.
Hal lain, kadang dalam berjuang mensyiarkan agama Allah ada saja yang tidak suka, termasuk wali santri yang menyalahkan metode pengajaran. Sebenarnya hanya salah pengertian, tapi menjadi kabar buruk kemana-mana bila tak dijawab dengan baik.
"Kalau kita mau jujur, berjuang di sini lebih berat. Seharusnya madrasah di Papua dapat perhatian khusus oleh pimpinan NU. Tapi resikonya plosok, ya jarang kesorot," tandasnya.
Kontributor: Syarif Abdurrahman
Editor: Syamsul Arifin