Tangsel, NU Online
Sebagai rangkaian penutup haul ke-1 KH Ali Mustafa Yaqub, mahasantri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences yang tergabung dalam Lembaga Pers Mahasantri Nabawi mengadakan diskusi dan peluncuran Majalah Nabawi edisi 116 yang bertajuk Hadis dan Hoax di Masjid Muniroh Salamah Pesantren Darus-Sunnah, Ahad (16/04).
Acara ini mengundang Juman Rofarif, editor di Penerbit Zaman Jakarta, serta Dr H Shofin Sugito, Wakil Direktur Darus-Sunnah.
Dalam pernyataannya, Juman Rofarif yang juga alumni Pesantren Darus-Sunnah ini menyatakan bahwa salah satu hal yang penting terkait kabar palsu yang beredar saat ini adalah bagaimana menelusuri motif dan ciri-cirinya. Juman menyebutkan, kabar palsu, sudah menjadi fokus para ulama hadits pada masa awal kodifikasi.
“Dahulu, ilmu hadits adalah satu alat untuk melawan fitnah yang merebak akibat hadits-hadits palsu. Jadi kabar hoax yang bertebaran hari ini pun adalah fitnah yang memiliki kemiripan konteks dengan persebaran hadits-hadits maudlu’, hadits yang palsu,” ujarnya.
Selanjutnya, untuk kemunculan hadits palsu didasari oleh sekian motif, yaitu motif politik, ekonomi, menjilat penguasa, mencari popularitas, bahkan urusan motivasi ibadah. Hadits yang dipandang sakral pun dipalsukan melalui berbagai cara, baik memoles teks matan hadits atau memalsukan nama-nama pada rantai sanad hadits.
“Hal ini sudah dimulai sejak masa terbunuhnya Sayyidina Utsman bin Affan, dan merebaknya fitnah ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib menjabat, sebagaimana diungkapkan oleh ulama hadis Muhammad bin Sirin,” terang Juman.
“Semua kabar yang kita baca, khususnya di media sosial, harus dianggap hoax sampai terklarifikasi dan teruji kebenarannya,” ujar Juman. Untuk mendeteksi itu, ada tiga hal bisa dijadikan pegangan dan bisa dikaitkan dengan kabar palsu dewasa ini. Pertama, pengakuan sang pemalsu kabar baik secara langsung dari komentar pakar lainnya. Kedua, isi kabar yang terlalu indah atau terlalu menjatuhkan tanpa disertai data-data, terlebih disertai polesan kalimat yang memantik emosi. Kemudian ketiga, adanya pengakuan validitas dari orang atau kelompok yang dipandang memiliki otoritas atas hal tersebut. Menurut Juman, hal ini serupa dengan bagaimana cara untuk menelusuri sumber-sumber hadits palsu.
Pembicara selanjutnya, Shofin Sugito, menyatakan bahwa pada dasarnya meski menurutnya definisi hoax belum bisa disepakati, namun kabar palsu harus selalu dicurigai tujuan-tujuan di baliknya. “Kabar palsu itu bisa berdampak baik atau buruk. Namun bagaimanapun, kabar palsu ini adalah hal yang dipegang dari dua hal sesuai ayat dalam surat Al Hujurat: yaitu ketika seorang fasiq datang membawa berita, maka carilah penjelasan,” sebut doktor alumni Universitas Sidi Mohammed bin Abdellah Maroko ini.
Acara ini dibuka oleh Pengasuh Pesantren Darus-Sunnah, H Zia Ul Haramein, serta dihadiri oleh mahasiswa UIN Jakarta, PTIQ, IIQ, serta pesantren-pesantren mahasiswa di sekitar daerah Ciputat, Tangerang Selatan. (M Iqbal Syauqi/Mukafi Niam)