Jombang, NU Online
Di awal abad 19, perempuan Indonesia masih belum banyak bisa bicara bebas dan memiliki akses ke dunia pendidikan. Tak terkecuali perempuan Islam. Meskipun Kartini sudah banyak menyadarkan pentingnya pendidikan pada perempuan tapi tidak sepenuhnya sampai kepada rakyat kecil, karena fasilitas dan kesempatan tidak ada.
Untuk pendidikan khusus putri baru ada di Padang pada tahun 1923 yaitu Perguruan Diniyah Putri. Khusus pulau Jawa, pesantren untuk putri belum ada. Bahrul Ulum berdiri pada tahun 1825 masih khusus putra. Tebuireng yang berdiri 1899 tidak juga punya pesantren putri.
Melihat fakta ini, salah satu putri dari Pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum KH Hasbullah yang bernama Hj Nur Chodijah mulai mendirikan pesantren putri bersama sang suami KH Bisri Syansuri.
Pasangan suami istri ini mendirikan Pondok Pesantren Mambaul Ma'arif Denanyar, Jombang pada tahun 1917. 10 tahun kemudian berdiri pesantren khusus putri di belakang kediaman Kiai Bisri.
Seperti yang diceritakan Pengasuh Pondok Pesantren Denanyar saat ini KH Abdus Salam Shohib. Bila setiap tanggal 21 April, perempuan Indonesia selalu merayakan hari Kartini. Di pesantren, tokoh yang hampir mirip dengan Kartini adalah Hj Nur Chodijah binti KH Hasbullah.
"Nyai Nur Chodijah lahir pada 23 Februari tahun 1897 di Tambakberas tepatnya di Pondok Pesantren Bahrul Ulum," katanya, Selasa (21/4).
Awal pendirian pesantren putri bukan hal yang mudah. Bahkan sosok tokoh sebesar KH M Hasyim Asy'ari awalnya kurang setuju.
Namun, melihat antusias para perempuan untuk belajar, tekad bulat Hj Chodijah tetap tak berubah. Kiai Hasyim lalu datang sendiri mengamati proses belajarnya dan akhirnya setuju.
Hubungan KH Bisri dengan Kiai Hasyim adalah guru dan murid. Kiai Bisri pernah belajar di Tebuireng di bawah asuhan Kiai Hasyim bersama KH Wahab Hasbullah yang juga kakak kandung Nyai Chodijah.
Secara urutan nasab, Nur Chodijah adalah adik dari tokoh Nahdlatul Ulama (NU) KH A Wahab Chasbullah (Mbah Wahab). Saat ini putri Mbah Wahab menjadi Bupati Jombang, yaitu Hj Mundjidah Wahab.
Niat awal pendirian asrama perempuan karena kasihan melihat perempuan yang harus bolak balik dalam belajar ilmu agama. Perempuan bernama Chodijah ini mungkin tidak sepopuler Kartini
Namun, pesantren putri hingga saat ini masih tetap berdiri. Jutaan santri pernah mengenyam pendidikan di pesantren tersebut.
Gerakan revolusioner dengan membuka kelas untuk perempuan ini, menurutnya, bahkan mungkin lebih hebat dari pada Kartini yang hanya berkirim surat. Keunggulan Kartini karena lahir lebih dahulu.
"Saya mengutip dari salah satu cucu Nyai Chodijah yaitu KH Abdul Nashir, kemungkinan besar yang mengusulkan kelas dan pesantren putri adalah Nyai Chodijah. Hal ini dilihat dari kepribadian Kiai Bisri yang agak kaku dan sangat teguh memegang fikih," tambahnya.
Di bawah asuhan Hj Chodijah, santri putri ini diajari juga belajar kitab-kitab kuning seperti Adab al-Mar’ah, Uqudul Jain, kitab fikih Syafinatun Najah, dan Aqidatul Awam. Tak heran kemudian banyak para lulusan Mambaul Ma'arif menjadi tokoh agama di daerah masing-masing. Saat itu jarang sekali ada perempuan yang bercita-cita jadi pakar agama Islam.
Nyai Chodijah mengubah cara pandang itu. Santri putri tersebut mendapat didikan langsung dari Nyai Chodijah selama 24 jam. Hal yang paling diperhatikan antara lain bacaan Al-Qur'an para santri putri. Selain itu, generasi muda tersebut juga diajari tirakat dan riyadlah seperti puasa, baca shalawat badar dan nariyah.
Bisa jadi kesuksesan seorang suami sedikit banyak ditentukan dari tirakat sang istri. Nyai Chodijah selalu mendukung suaminya dalam mengembangkan pesantren dan NU.
"Bukti cintanya Mbah Bisri pada istrinya, di pondok putri Mambaul Ma'arif dibangun masjid. Supaya sang istri yang suka riyadlah bisa i'tikaf," tambah Kiai Salam.
Proses belajar Chodijah juga luar biasa. Sehingga wajar punya kepedulian pada pendidikan. Sejak kecil ia dibimbing oleh sang ayah dalam ilmu agama. Sekitar tahun 1912 keluarga Chodijah berangkat haji.
Saat itu sang kakak, KH Wahab Hasbullah sudah mukim di Makkah bersama Kiai Bisri. Kedekatan antara KH Abdul Wahab Chasbullah dan KH Bisri sudah lama terjalin. Terutama saat keduanya belajar di Pesantren Bangkalan dan Tebuireng. Sesama santri KH M Hasyim Asy'ari, keduanya dikenal jadi rujukan banyak tokoh ulama nusantara.
Nyai Chodijah Menikah dengan Kiai Bisri di Makkah
Saat Nyai Chodijah sudah sampai di Makkah, diam-diam Kiai Wahab merencanakan menjodohkan sang adik dengan Kiai Bisri. Usaha itu pun berhasil. Diperkirakan pernikahan Chodijah dan Bisri terjadi pada tahun 1912 juga di Makkah.
Di tanah suci, Chodijah muda berkesempatan belajar mengaji kepada seorang syekh di Arab. Ketekunannya dalam belajar membuat sang guru kagum dan berkali-kali bilang tayyib, tayyib (baik, baik).
"Saya dapat info dari bupati Jombang saat ini. Saat itu jika ada santri perempuan yang bacaan Al-Qur'annya bagus maka Mbah Wahab langsung nebak "santrinya Chodijah ya", ujarnya.
Sekira tahun 1914, Chodijah dan suami kembali ke Jombang dari tanah suci dan menetap di Bahrul Ulum. Sang suami, Kiai Bisri ikut mengajar di pesantren mertuanya hingga tahun 1917 diminta pindah ke Desa Denanyar.
Di Denanyar, mereka berdua dipasrahi sebidang tanah yang juga area gudang padi milik KH Chasbullah dan mulai syiar Islam kepada warga setempat.
"Pondok ini (Mambaul Ma'arif Denanyar) berdiri 1917, hadiah dari KH Chasbullah," tambah tokoh muda yang akrab disapa Gus Salam ini.
Secara keagamaan, daerah Denanyar masyarakatnya kurang paham dalam masalah agama. Banyak yang minuman keras dan judi. Karena tak jauh dari sana ada pabrik gula.
Meskipun sibuk menempa santri, Nyai Chodijah tak melupakan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Dari pernikahannya dengan KH Bisri membuahkan dua putra dan empat putri.
Putra pertama yaitu Kiai Ahmad Bisri, kedua Hj Muasshomah. Menteri Desa, Transmigrasi dan Pembangunan Daerah Tertinggal Abdul Halim Iskandar lahir lewat jalur anak kedua ini. Satu jalur dengan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) A Muhaimin Iskandar dan mantan Wakil Gubenur Jawa Timur Saifullah Yusuf.
Ketiga yaitu Nyai Sholichah, yang kemudian menikah dengan KH A Wahid Hasyim dan melahirkan Gus Dur. Selanjutnya keempat ada Nyai Musyarafah, ibu dari Rais Syuriah PCNU Jombang KH Abdul Nashir Fattah. Kelima Aziz Bisri, ayahnya KH Wahid Aziz mantan Ketua PBNU dan terakhir Kiai Shohib Bisri.
"Saya putra dari Kiai Shohib. Bu Nyai Chodijah wafat 17 Juli 1952," ujarnya.
Pembina pondok pesantren putri Hadiqunnuha menjelaskan sisa perjuangan fisik yang masih tampak jelas dari Nyai Nur Chodijah adalah masjid beserta kegiatan di dalamnya.
Setiap hari masjid digunakan untuk jamaah shalat lima waktu santri putri dan kegiatan madrasah diniyah. Selain itu juga digunakan untuk i'tikaf dari pada santri putri.
"Masjidnya sudah mengalami renovasi dan penambahan beberapa bagian," jelasnya.
Pria asal Sumatera Selatan ini sehari-hari bertugas menghidupkan kegiatan masjid dengan nuansa keagamaan. Ia dan sang istri bermukim di sebelah barat masjid.
Masjid tersebut berbentuk biasa yaitu bagian ruang utama model segi empat kotak. Namun serambinya agak memanjang ke arah timur. Biasanya serambi masjid digunakan sebagai tempat serbaguna bagi santri.
"Masjid ini kan termasuk masjid tua di Jombang, banyak alumni yang datang kesini sekedar untuk nostalgia," tandasnya.
Kontributor: Syarif Abdurrahman
Editor: Syamsul Arifin