Malang, NU Online
Wardah Hidayati hanya bisa menonton siaran langsung upacara memperingati Hari Santri santri putri Pondok Pesantren Putri An-Nur II, Malang, Jawa Timur melalui telepon genggamnya.
Dari awal menonton, ia merasa kagum. Sebab bukan hanya upacara bendera berpakaian adat Bali, melainkan juga pertunjukkan parade cahaya yang diberi nama 'Parade Cahaya Santri Nusantara untuk Perdamaian Dunia'.
Parade cahaya ini menjadi karya agung yang ditampilkan pada peringatan Hari Santri tahun ini. Sedang di tahun lalu, para santri putri menampilkan tarian daerah Likok Pulo yang melibatkan hampir seluruh santri putri.
Parade cahaya ini hanya bisa disaksikan dengan jelas dari ketinggian. Karena formasi cahaya itu terbentuk dari titik-titik cahaya yang berasal dari lampu senter kecil yang dibawa seorang santri. Dan dari gugusan titik tersebut membentuk bendera warna merah putih, sebagai perlambang nasionalisme, warna hijau, perlambang hari santri, dan warna biru sebagai perlambang Pondok Pesantren An-Nur II.
Tayangan langsung yang ditampilkan di Chanel YouTube An-Nur II Malang pun diambil dari puncak flying fox. Dari situ tampak formasi tiga warna lampu yang berganti-ganti sesuai dengan irama lagu.
“Dari formasi ini, mencerminkan nama besar Pondok Pesantren An-Nur II, pesantren pada umumnya, dan pentingnya persatuan. Di mana beberapa bulan lalu, negeri ini dihadapkan oleh kasus rasisme yang terjadi di Papua,” kata Ustadzah Fatma, Ahad (27/10).
Dan seusai penampilan cahaya tersebut, lampu sorot yang telah tertata di lapangan barat pondok pesantren mati. Lantas hidup kembali dan menyoroti beberapa santri yang berdiri di panggung pendek yang diletakkan di tengah lapangan. Mereka adalah para penari yang membawakan tarian Kecak khas Bali.
Sembari para penari itu menampilkan tarian daerah itu, santri-santri lainnya duduk mengitari dan mengangkat kedua tangannya. Dan dengan irama tertentu, mereka menyerukan kata “Cak-cak-cak”.
“Tari Kecak tidak menjadi satu-satunya sajian tarian khas Bali yang ditampilkan, melainkan juga tari Asmaradhana. Dengan penari yang sama, tarian ini ditampilkan persis seperti aslinya, dimana para penari memakai topeng saat menampilkan tarian ini,” ujarnya.
Dari kedua tari tersebut, Ustazah Fatma menyebutkan bahwa Tari Kecak melambangkan gotong royong. Sedang Tari Asmaradhana melambangkan kasih sayang. Dimana keduanya merupakan kekayaan budaya Indonesia.
“Yakni Bineka tunggal ika, bahwa santri itu cerminan Islam Nusantara,” tambahnya.
Wardah Hidayati adalah salah satu dari banyaknya alumni Pondok Pesantren An-Nur II yang hanya bisa menahan kerinduan ketika menonton pertunjukkan yang melibatkan tiga ribu lebih santri putri ini. Yang jelas, parade cahaya dan tarian yang tampil usai pelaksanaan upacara ini, Sabtu (26/10) mendapat banyak apresiasi.
Terkhusus apresiasi dari Nyai Hj Latifah salah satu pengasuh pesantren. Bukan hanya sebatas memberikan apresiasi, dirinya juga memberikan kepercayaan terhadap para santri untuk mempersembahkan penampilan ini.
“Beliau (ibu nyai, red) yakin bisa kita bisa membuat beliau bangga,” ujar Ustazah Fatma, yang juga salah satu dari pencetus perhelatan tersebut.
Berkat itu, beragam masalah dan halangan yang telah dilalui, terbayar lunas oleh kesuksesan yang telah dicapai.
“Dari banyaknya apresiasi yang datang itu, saya acara ini pantas disebut sukses,” ungkap Ustadzah Fatma.
Ide adanya parade cahaya itu datang sejak 3 bulan sebelum pelaksanaan hari santri. Yang mencetuskan adalah beberapa santri tingkat salafiyah, guru-guru SMP An-Nur, dan pengurus PHBI (Peringatan Hari Besar Islam) yang kesemuanya hanya berjumlah 10 orang.
Sebelum diberitakan ke pada para santri dan memulai latihan, tim kreatif tersebut menyusun konsep dan jadwal latihan. Jadwal latihan tentunya menjadi pertimbangan penting di mana latihan tidak boleh mengorbankan jam mengaji.
Dengan jadwal dan konsep yang telah ditentukan, para santri turun ke lapangan pondok putri untuk berlatih, biasanya sekitar pukul setengah sembilan. Hal itu dirasakan betul oleh Anida yang turut dalam barisan itu.
Ia mengaku, karena ada latihan itu, ia harus menyelesaikan tugas sekolahnya lebih cepat. Dan tak jarang, ia tertidur saat pembagian formasi.
“Ya, walaupun cuma duduk di atas sandal, sempat pernah ketiduran juga,” tuturnya.
Perjuangan dan usaha itu tidak sia-sia, ibunya merasa bangga putrinya terlibat aktif dalam pertunjukkan spektakuler tersebut.
“Orang tua tentunya sangat bangga saya bisa terlibat dalam acara ini,” ungkapnya.
“Perhelatan yang berhasil berkat gotong royong dari berbagai pihak ini tentu menjadi bukti bahwa santri di pesantren berasal dari banyak daerah, pastinya banyak perbedaan dalam banyak hal, dalam komunikasi contoh misalnya, namun di pesantren mereka selalu tetap bisa akur dan tak pernah ada permusuhan meskipun banyak perbedaan antara santri satu dengan santri yang lain,” ujar Ustadzah Fatma mengakhiri wawancara.
Pewarta: Imam Kusnin Ahmad
Editor: Ibnu Nawawi