Daerah

Pesantren Ribath Al-Hadi Tambakberas dan WCC Lakukan Antisipasi Kekerasan Seksual

Jumat, 18 Oktober 2024 | 15:00 WIB

Pesantren Ribath Al-Hadi Tambakberas dan WCC Lakukan Antisipasi Kekerasan Seksual

Pondok Pesantren Ribath Al-Hadi Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang dan Women Crisis Center (WCC) menyelenggarakan diskusi "Pesantren Care” dengan tema “Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) dalam perspektif Islam”, Rabu lalu. (Foto: dok. istimewa/Pesantren Ribath Al-Hadi)

Jombang, NU Online

Pondok Pesantren Ribath Al-Hadi Bahrul Ulum Tambakberas dan Women Crisis Center (WCC) menyelenggarakan diskusi "Pesantren Care” dengan tema “Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) dalam perspektif Islam”. Kegiatan tersebut sebagai salah satu antisipasi terjadinya kekerasan seksual di lingkungan pesantren.


Pengasuh Al-Hadi Nyai Umi Chaidaroh Soleh mengatakan, kegiatan ini juga bertujuan memberikan pemahaman kepada santri putri melalui pendekatan nilai-nilai budaya dan agama yang mendukung remaja dan kaum mustadh’afin (kaum tertindas) terbebas dari kekerasan dan permasalahan kesehatan reproduksi. 


Tujuan lainnya, meningkatkan pengetahuan santri putri dan tenaga pendidik di pesantren untuk membangun keresponsifan pencegahan permasalahan kesehatan reproduksi dan kekerasan seksual. 


"Pesantren memainkan peran yang krusial dalam edukasi hak kesehatan seksual dan reproduksi karena pesantren merupakan lembaga pendidikan yang dekat dengan komunitas dan berpengaruh dalam membentuk pemahaman serta sikap individu, terutama di kalangan remaja," jelas Nyai Umi Chaidaroh, Rabu lalu. 


Ia menambahkan, pendidikan yang komprehensif tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi di pesantren dapat membantu mencegah kekerasan seksual dengan memberikan pemahaman yang benar tentang batasan-batasan fisik dan hak-hak individu. 


Hal ini mencakup pemahaman tentang konsensualitas, perlindungan diri, dan hak untuk menolak segala bentuk kekerasan. Dengan memperkenalkan topik ini secara sensitif dan sesuai dengan nilai-nilai agama, pesantren dapat mengedukasi santri tentang cara melindungi diri dan melawan kekerasan secara efektif.


Jombang sebagai kota santri, memiliki puluhan ribu santri. Namun, pandangan masyarakat khususnya di lingkungan pondok pesantren masih menganggap tabu untuk membicarakan seksualitas. Seringkali dikonotasikan mengajarkan seseorang melakukan hubungan seksual. 


"Banyak orang terutama santri yang akhirnya mencari informasi terkait hak kesehatan seksual reproduksinya secara mandiri. Hal ini justru sering  menimbulkan pemahaman yang salah, bahkan jauh dari nilai agama," ungkapnya. 


Nyai Umi Chaidaroh menambahkan, permasalahan yang dihadapi perempuan begitu kompleks, salah satunya adalah kekerasan seksual. Meskipun kekerasan seksual bisa dialami oleh perempuan maupun laki-laki, tapi paling banyak terjadi pada perempuan. 


Dalam konteks domestik rumah tangga yang sakinah, perlu adanya sikap saling menghargai dan menjaga harkat dan martabat. Di era digital ini kekerasan terhadap perempuan menjadi problem yang tak terbendung di tengah fakta semakin  meningkatkan angka kekerasan.


Sehingga ruang dialog dengan remaja untuk edukasi hak kesehatan seksual dan reproduksi menjadi kegiatan yang sangat penting dimasifkan di pondok pesantren. 


"Seorang santri harus bisa menjaga dirinya dengan melawan segala bentuk kekerasan dengan memastikan ruang aman yang menjamin adanya dukungan bagi sesama untuk memutus siklus kekerasan yang dihadapi termasuk di lingkungan pesantren," katanya. 


Bagi Nyai Umi, sebenarnya pesantren memiliki pengamanan lebih ketat di banding institusi pendidikan lainnya, pesantren menjaga pengamanan selama 24 jam. Pesantren Bahrul Ulum ada petugas yang namanya SIGAP (Satuan Inspeksi Tanggap Pengamanan) untuk merespon berbagai permasalahan sosial yang ada di pesantren. 


Dalam mewujudkan pesantren yang ramah perempuan dan anak, pesantren juga harus memastikan terjaganya koneksitas kerjasama dengan berbagai institusi untuk mendukung  upaya mewujudkan ruang aman dalam proses pembelajaran di pesantren.


Tak kalah pentingnya yaitu menciptakan ruang aman di sekitar, karena kebanyakan pelaku kekerasan seksual berada di sekitar korban. Fakta kasus kekerasan manipulatif, justru dilakukan oleh orang-orang terdekat korban. Oleh karenanya, setiap individu harus punya sikap bisa melindungi diri sendiri. 


"Sehingga pemahaman tentang bagaimana  menjalani hubungan yang sehat, dibutuhkan individu agar merasa aman dan bisa berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan terkait kesehatan mereka sendiri," tegasnya. 


Hal senada disampaikan Direktur WCC Anna Abdillah, kasus kekerasan seksual di Jombang cukup tinggi. Data WCC, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dari Januari-September 2024 ada sebanyak 80 kasus. 


Perinciannya, kekerasan terhadap istri sebanyak 31 kasus, kekerasan terhadap anak 5 kasus, kekerasan seksual 37 kasus, perdagangan orang satu kasus dan pidana umum 6 kasus. 


"Kasus di bulan Januari ada 10, Februari ada 6, Maret sejumlah 6 kasus, April sebanyak 12 kasus, Mei ada 8 kasus, Juni ada 2 kasus, Juli sebanyak 23 kasus, Agustus ada 5 kasus, dan September sebanyak 10 kasus. Paling tinggi ada 11 kasus kekerasan seksual di bulan Juli. Total 80 kasus," bebernya. 


Sekedar perbandingan, Anna memaparkan data selama periode 2018-2023, catatan tahunan WCC Jombang mencatat ada sebanyak 415 perempuan telah menjadi korban kekerasan berbasis gender, baik di ruang publik maupun dalam lingkup domestik.


"Fakta ini memperkuat bahwa tidak ada jaminan ruang aman bagi perempuan untuk terbebas dari kekerasan berbasis gender, bahkan di lingkungan satuan pendidikan, perguruan tinggi termasuk di pondok pesantren," tandasnya.