Daerah

Sejak Tahun 1960, Dukuh Kranji Peringati Maulid Nabi dengan Khitanan Massal

Senin, 11 Desember 2017 | 06:08 WIB

Pekalongan, NU Online
Peringatan maulud Nabi Muhammad SAW di wilayah Nusantara biasa diselenggarakan melalui beragam kegiatan. Selain pengajian akbar dan pembacaan Diba', ada pula yang merayakan dengan maulud dengan balutan tradisi lokal, seperti Grebeg Mulud hingga khitanan massal.

Masyarakat Dukuh Kranji, Kedungwuni, Pekalongan memperingati kelahiran Nabi Muhammad khitanan massal. Hal itu berlangsung tiap tahun.

Sabtu (2/12), sebanyak 36 anak usia SD/MI menjadi peserta khitanan massal tahun ini. Sejak usai Shalat Subuh, didampingi para orang tuanya, mereka berkumpul di aula umum Yayasan Nurul Anam Kranji yang bersebelahan dengan Masjid Jami' Kranji. Raut muka anak-anak tersebut beragam, ada yang terlihat ceria, ada pula yang waswas takut lantaran akan disunat.

Muhammad Mumakhis (9), siswa kelas 4 di MI Walisongo Nurul Anam Kranji yang berasal dari dukuh tetangga misalnya, di balik senyumnya pagi itu tersembunyi rasa tegang. 

"Dapat giliran nomor 7, deg-degan," ujarnya malu-malu.

Sekira pukul 05.30 WIB, satu per satu peserta pun dipanggil oleh petugas yang bakal mengkhitan untuk disuntik bius terlebih dahulu. Sebagian dari mereka ada yang menangis karena tak kuasa menahan rasa sakitnya disuntik jarum di bagian kemaluannya. 

"Aduh! Bapak...," teriak salah satu peserta, Muhammad Adly Anwar (9) sambil menangis kesakitan.

Sontak, tangisan dari anak-anak itu pun membuat riuh suasana di sekitar lokasi. Warga pun makin banyak yang datang ke lokasi untuk menyaksikan anak-anak disunat.

Ketua RW setempat, Maftuh, mengatakan untuk maulud tahun ini peserta khitanan massal cukup banyak, yakni 36 peserta. 

"Awal yang daftar ada 40 anak, tapi ada yang mundur karena ada yang takut, ada yang pilih menunda tahun depan," ungkap Maftuh yang juga panitia acara.

Para peserta khitanan massal ini sama sekali tidak dipungut biaya. Oleh panitia, peserta justru diberikan baju koko, sarung, dan peci secara gratis.

Sejak tahun 60-an
Pengurus Masjid Jami' Kranji, Kiai Afnan Chafidh, mengatakan tradisi khitanan massal ini sudah berlangsung sejak tahun 60an. Bahkan, Dukuh Kranji termasuk perintis tradisi khitanan massal di wilayah Pekalongan. 

"Sudah ada sejak sekitar tahun 60an. Peserta pertamanya sekarang sudah meninggal. Dan di Pekalongan, ini termasuk yang merintis," jelasnya.

Usai khitanan, kegiatan berlanjut dengan pengajian Maulid Nabi di Masjid Jami' Kranji. Biasanya masyarakat dari berbagai desa hadir pula lantaran Kranji termasuk daerah santri yang dijadikan rujukan pendidikan agama oleh masyarakat. 

"Yang ikut sunat di sini itu kan biasanya ada ikatan darah atau sosial dengan Kranji. Misalnya, bapaknya dulu orang sini, atau anaknya sekolah di MI, Madrasah Diniyah, atau TPQ Kranji, terus diikutkan sunat di sini untuk makin merekatkan dengan Kranji," kata alumnus pondok pesantren Leteh, Rembang ini.

Di Pekalongan, lanjut Kiai Afnan, Kranji memang dikenal sebagai daerah santri. Oleh karena itu dengan tradisi khitanan massal di momen Maulud Nabi ini, anak-anak yang ikut dikhitan juga dikenalkan dengan tradisi keislaman yang baik.

Melestarikan Gotong-royong
Meski untuk khitanan massal tidak dipungut biaya, biasanya para orang tua peserta secara suka rela ikut membantu memberikan suguhan berupa nasi berkat (ambeng) yang disediakan untuk para jamaah yang hadir di pengajian Maulid Nabi. 

"Dari pengurus masjid sudah menyampaikan ke panitia agar tidak mengajukan proposal ke masyarakat. Biar tidak ada kecemburuan. Jadi semuanya saling membantu semampunya," ungkapnya.

Gotong-royong semacam ini menjadi penting lantaran bisa menjadi penguat nilai-nilai positif di masyarakat. Selain itu juga makin merekatkan masyarakat dengan Dukuh Kranji yang menjadi pilar pendidikan keislaman yang telah mengakar sejak lama.

Di tengah fenomena mulai memudarnya nilai gotong-royong di era modern, lewat berbagai kegiatan tradisi yang diselenggarakan, Dukuh Kranji juga mampu menjadi contoh bagi daerah lain agar mengaplikasikan salah satu maqalah yang masyhur di lingkungan Nahdliyyin, yakni almuhafadhatu ala alqadimish shalih, wal akhdzu bi aljadidil ashlah, menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik. (Ahmad Rodif Hafidz/Abdullah Alawi)