Helmi Abu Bakar
Kontributor
Pidie, NU Online
Pidie dalam tataran kehidupan masyarakat mewariskan banyak tradisi termasuk di antaranya tradisi 'Teut Beude Trieng' atau dalam bahasa Indonesia berarti menyalakan meriam bambu.
"Tradisi ini seperti perang, ada kubu saling menyalakan meriam bambu (Budee Trieng) dengan bahan bakunya karbit terdapat di beberapa daerah di Aceh adalah teut bude trieng atau dalam bahasa Indonesia disebut menyalakan meriam bambu. Namun saat ini yang masih eksis di Pidie, tepatnya Garot, Reubee," ungkap Tgk Muhammad Aminullah pengurus Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Bireuen itu, Kamis, (5/5).
Baca Juga
Tradisi Lebaran dan Halal Bihalal
Tgk Aminullah putra kelahiran Reube Pidie mengatakan beberapa tradisi lain mulai hilang digerus masa. Bahkan generasi sekarang menganggapnya aneh. Namun, tradisi yang satu ini masih begitu populer dan dipertahankan oleh masyarakat Aceh.
"Tradisi ini digelar sepanjang malam yang dimulai setelah salat Isya. Bahkan tak jarang tradisi ini berlangsung hingga pagi dan berakhir sekitar pukul 10.00 WIB. Perempuan di sana ikut membuat bubur dan kue untuk warga yang menyulut meriam karbit,'"sambungnya yang pernah menjadi panitia Teut Beude Trieng.
Tradisi ini menurut Doktor perdana IAI Al-Aziziyah Samalanga menyebutkan sangat menarik minat pengunjung dari kabupaten lain. Sejumlah warga sengaja ke sana untuk mendengar atau merasakan langsung suara dan getaran meriam karbit. Misalnya dari Kota Lhokseumawe, Banda Aceh, Bireuen, dan Aceh Besar.
"Warung-warung di sekitar bantaran sungai lokasi perang meriam karbit tampak ramai. Jalanan pun padat, sehingga menimbulkan kemacetan," ulasnya.
Tgk Aminullah mengatakan jika ditelisik lebih mendetail, ternyata asal muasal adanya tradisi teut budee trieng ini sudah ada sejak puluhan tahun lalu.Konon, latar belakang tradisi ini disebutkan terinspirasi dari masuknya portugis ke Aceh.
"Hal ini dibuktikan dengan fakta di mana tiap wilayah manapun yang dijajah Portugis, masyarakatnya memiliki tradisi menyalakan meriam bambu," lanjutnya.
Dosen senior IAI Al-Aziziyah Samalanga itu mengatakan ada juga versi lain yang menyebut, bahwa tradisi teut bude trieng ini mulai ada pada era kesultanan Iskandar Muda, yang sengaja dipolakan sebagai sebuah cara atau aktivitas mengenang Perang Badar yang terjadi pada hari kedua di bulan Ramadhan-sebuah perang terbesar saat Rasulullah masih hidup.
Lebih lanjut, ia menjelaskan Tradisi Teut Budee Trieng merupakan salah satu tradisi yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Garot, Kecamatan Delima, dan Garot Kecamatan Indrajaya, Kabupaten Pidie, pada malam hari raya Idul Fitri.
"Hampir setiap lebaran, para pemuda menyiapkan Budee Trieng ini dan dibariskan untuk diletuskan secara bersama-sama, tak terkecuali pada malam lebaran dan di kawasan Pidie kawasan Garot sebagai situs utamanya," ungkapnya yang pernah menjadi panitia Teut Beude Trieng'itu.
Tgk Aminullah menjelaskan, tradisi toet budee trieng saat ini mulai memudar di kalangan masyarakat Aceh. Masyarakat saat ini umumnya memilih membakar karbit yang dentumannya lebih besar dan dapat mengganggu orang lain.
"Dewasa ini ada sedikit pergeseran esensi Teut Beude Trieng, dulu Budee Trieng biasanya bahan bakunya bukan dari karbit, tapi sekarang dibuat dari karbit, mengganggu orang lain, itu bukan budaya lagi, mengganggu orang lain itu bukan tradisi yang harus kita anut," jelasnya mengutip pernyataan salah seorang peneliti sejarah.
Tgk Aminullah mengatakan pada masa Kesultanan Aceh, memakai meriam bukan hanya saat akan memasuki lebaran, tetapi juga saat adanya seorang pasangan yang melahirkan seoarang bayi laki-laki. Tradisi ini dilakukan juga memiliki makna tersendiri.
"Para endatu kita dulu dengan Toet Budee Trieng menjadikan itu bagian dari tradisi saat peutren Aneuk mit (turun tanah) anak laki-laki, diledakkan meriam. Kenapa? Ada semangat bagi dia anak laki-laki adalah perang di depan nanti. Yang dihadapi adalah perang (jihad fisabilillah)," lanjutnya
Tradisi Toet Budee Trieng juga disimbolkan dengan perang dan ruhnya generasi Aceh sejak kecil sudah disempurnakan dengan semangat jihad (berperang). "Makanya bangsa Aceh relegius jihad fisabilillah sudah menyatu dengan jiwa generasi Aceh sejak dulu" pungkasnya.
Kontributor: Helmi
Editor: Syakir NF
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
250 Santri Ikuti OSN Zona Jateng-DIY di Temanggung Jelang 100 Tahun Pesantren Al-Falah Ploso
Terkini
Lihat Semua