Anak Muda Keranjingan Dansa di Akhir Kolonialisme Belanda, NU Bandung pun Bersuara
Sabtu, 8 Maret 2025 | 03:05 WIB
Abdullah Alawi
Kolomnis
NU Cabang Bandung tumbuh dan berkembang dalam dunia urban dan transisi modernitas yang pelik. Persoalan yang dihadapinya tak serupa dengan, misalnya, NU Cabang Palembang, Martapura, atau Ampenan. Pada akhir 1930-an, NU Bandung menghadapi problem merebaknya dansa-dansi, terutama di kalangan muda-mudi.
Di masa akhir Hindia Belanda, Bandung mengalami kemajuan pesat di berbagai bidang. Bahkan, konon pernah diproyeksikan menjadi ibu kota negara jika terjadi sesuatu di Batavia. Perkembangan Bandung saat itu mencakup infrastruktur modern, pendidikan, industri, dan kehidupan sosial budaya yang dinamis.
Pada bidang arsitektur, bangunan-bangunan penting di Bandung mencerminkan pengaruh gaya Art Deco yang populer saat itu dengan gedung ikonik seperti Gedung Sate, Hotel Savoy Homann, dan lain-lain. Dalam bidang pendidikan, Bandung memiliki kampus yang bergengsi sejak awal abad ke-20, yakni Technische Hoogeschool (THS, kelak menjadi Institut Teknologi Bandung). Kampus ini menghasilkan insinyur-insinyur andal yang berkontribusi pada pembangunan infrastruktur dan industri. Sukarno adalah salah satu alumnusnya.
Kehidupan intelektual di kota ini juga berkembang pesat. Organisasi dan perkumpulan yang membahas isu sosial, politik, dan budaya bermunculan. Di sektor industri, Bandung juga mengalami pertumbuhan signifikan, terutama tekstil dan farmasi. Pabrik-pabrik modern menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi kota. Semua itu memicu Bandung jadi tempat perdagangan dan pariwisata, menarik pengunjung dari berbagai daerah dan negara.
Masyarakat Bandung pada era ini sangat beragam. Penduduknya berasal dari berbagai etnis dan bangsa seperti Eropa, India, Arab, Tionghoa, dan beragam suku bangsa pribumi dengan dominasi suku Sunda. Terjadilah silang budaya di antara mereka yang berpadu dengan tradisi lokal, menciptakan warna baru kota ini.
Selain itu, kegiatan seni dan hiburan Bandung juga berkembang pesat yang ditunjang dengan adanya bioskop, teater, dan tempat-tempat hiburan lainnya. Tak heran, masyarakat Bandung juga dikenal dengan gaya hidup yang modern dan kosmopolitan, mencerminkan semangat zaman yang dinamis.
Dalam kondisi sosio-kultural semacam itu, dansa-dansi menjangkiti masyarakat Bandung. Mungkin sebetulnya menjangkiti sebagian kalangan saja, terutama masyarakat kelas menengah dan menengah atas. Itu pun kemungkinan sebatas pada kaum muda-mudi. Rakyat jelata dan kalangan pesantren kecil kemungkinan terpikirkan untuk turun di lantai dansa.
Istilah ‘dansa’ diserap ke dalam Bahasa Indonesia dari kata Bahasa Belanda ‘dans’. Kata itu diserap juga ke dalam Bahasa Sunda dengan kata ‘dangsa’. Menurut RA Danadibrata dalam Kamus Basa Sunda (2006: 159), dangsa artinya “igel bangsa Barat bari patangkeup-tangkeup awewe jeung lalaki, ari tatabeuhanana musik.”
Pengertian dansa seperti itu serupa dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia VI Daring, yaitu “tari cara Barat yang dilakukan oleh pasangan pria-wanita dengan berpegangan tangan atau berpelukan yang diiringi musik.”
Dansa melalui Radio NIROM
Gambaran situasi saat itu bisa diketahui salah satunya dari koran Pemandangan dan Sipatahoenan. Berdasarkan berita-berita pada kedua koran itu, sepertinya dansa sedang tren di kota-kota besar Hindia Belanda, termasuk Bandung. Tren itu tumbuh subur melalui program penyiaran radio Nederlandsch Indische Radio Omroep Masstchapij (NIROM) yang rutin menyiarkan lagu-lagu dansa.
Dalam edisi 11 September 1941, Pemandangan memberitakan susunan acara Radio NIROM pada tanggal tersebut dengan judul “Programa Nirom: Penyiaran Barat”. Jadwal NIROM pada pukul 22.10 adalah program musik dansa sampai pukul 23.30 (hlm. 8). Di edisi hari berikutnya, 12 September 1941, jadwal serupa mengudara kembali mulai pukul 22.10 sampai 22.40 dengan menyiarkan “Slavonic Dances” (Dansa Slavia), komposisi klasik garapan penggubah musik asal Ceko, Antonín Dvořák.
Belum diketahui programa NIROM pada hari-hari sebelum dan sesudahnya. Siaran musik-musik klasik pengiring dansa mungkin menjadi jadwal rutin di radio yang berdiri pada 1934 itu. NIROM adalah stasiun radio terbesar dan paling berpengaruh di Hindia Belanda. Ia pasti menjadi referensi tentang kebudayaan populer dan kabar-kabar yang sedang tren saat itu.
Kelak, ketika Belanda angkat kaki karena kalah melawan Jepang, NIROM pula yang menyiarkan salam perpisahan. “Vaarwel, tot betere tijden (Selamat tinggal, sampai jumpa di waktu yang lebih baik),” ucap sang penyiar dalam siaran terakhirnya.
Respons NU
Pada akhir 1930-an, NU Bandung dipimpin KH Abdullah Cicukang dan KH Ahmad Dimyati Sirnamiskin (keduanya santri Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari). Selain keduanya, ada KH Salim Hasan Djajawinata dari Cipada (lulusan Universitas al-Azhar, Mesir), KH Mukhtar, KH Syamsudin Lembang, KH Husin Cicalengka, dan KH. O. Abdurrahman Cikoneng. Mereka ada di posisi syuriyah.
Sementara posisi tanfidziyah diemban oleh Said Wiratmana Abdurrahman Hasan atau sering disingkat SWARHA (pengusaha kenamaan asal Bandung) sebagai ketua, Danoeatmadja sebagai wakil ketua, dan H. Dahlan sebagai sekretaris.
Para pengurus NU Bandung tentu mengetahui soal merebaknya dansa di kota mereka. Mungkin tangan dan mulut mereka gatal karena kotanya dijangkiti kebiasaan baru yang dianggap berasal dari kaum penjajah. Di samping tentunya tidak sesuai dengan kebiasaan umat Islam. Untuk merespons itu, NU Bandung tidak bisa bertindak semena-mena.
Pertama yang mereka lakukan adalah merapatkan barisan terlebih dahulu di kalangan sendiri, terutama kalangan ibu-ibu atau yang lebih dikenal sebagai Nahdlatoel Oelama Moeslimat (NOM).
Koran berbahasa Sunda Sipatahoenan edisi No. 11 (15 Januari 1937, hlm. 1) menyampaikan informasi tentang respons NU terkait dansa dengan berita berjudul “Dangsa…”
“Bestuur Nahdatoel Oelama tjabang geus ngirimkeun soerat parsoonlijk ka anoe nanda ieu dihandap, nerangkeun jen dina powe Minggoe tanggal 17 boelan ieu, ngamimitian poekoel 9 di Hassannijah Al Islam School, di Kopoweg toekangeun No. 19 baris diajakeun openbare leizing anoe ngawoengkoel pikeun kaom istri, ngadadarkeun koemaha bahajana dangsa pikeun sagala bangsa.
Dina eta soerat diterangkeun deui, jen dina ieu openbare lezing teh baris ngadadarkeun sawareh tina pamendakna Djoeragan SWARHA, waktos andjeuna ngadjadjah Europa, Japan djeung nagara anoe liana, ma'loem andjeuna koengsi ngadjadjah doenja, koemaha kadjahatan atawa kadorakaanana lamoen rek diseboat doraka tea mah, koe ajana kasempetan (gelegenheid).”
Menurut berita tersebut, NU Bandung pada Ahad, 17 Januari 1937 mengumpulkan anggota NOM di Hassannijah Al Islam School, Kopoweg No. 19. NU berkepentingan untuk menyampaikan pandangannya tentang bahaya dansa bagi kepribadian bangsa.
Pada kesempatan itu, SWARHA, yang pernah tinggal di Eropa dan berkeliling ke kota-kota besar di Asia dan Amerika, akan berpidato tentang masalah dansa. Sayang, berita itu tidak memaparkan isi pidatonya.
Respons Ansor
Anak-anak muda NU yang tergabung di dalam Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO, sekarang Gerakan Pemuda Ansor) juga merasa terusik dengan menggejalanya dansa. Hal serupa ternyata menjadi keprihatinan kalangan pemuda perkumpulan lain seperti Pemuda Muhammadiyah, Pemuda Persis, Pemuda Al-Ittihadul Islamiyah (A.I.I.), dan Lasykar P.A.I. Anak-anak muda itu membentuk sebuah komite khusus untuk merespons dansa, yaitu Comite Kesopanan.
Komite itu mengadakan pertemuan pada Ahad, 4 Februari 1940 di gedung Himpoenan Soedara. Pada kesempatan itu, setiap perwakilan perkumpulan menyampaikan pendapatnya tentang dansa.
GP Ansor Bandung diwakili Ali Husin, kiai muda asal Suniaraja (letaknya dekat Cicendo saat ini). Berdasarkan berita Pemandangan edisi 6 Februari 1940 (hlm. 3-4), ia mendapatkan kesempatan sebagai pembicara pertama. Menurutnya, 85 persen penduduk Indonesia beragama Islam. Cara untuk mendeteksinya bisa dilihat di kala mereka menikah dan mati, biasanya menggunakan cara dan aturan Islam.
Sementara di dalam aturan Islam sendiri, menurut dia, tidak hanya mengatur urusan menikah dan kematian, melainkan di antaranya relasi antara laki-laki dan perempuan. Relasi di antara keduanya ada yang disebut dengan mahram.
“Laki-laki dan perempoean yang boekan mahram, maka pergaoelannya dibatasi sedemikian roepa. Apalagi berdansa, tentoenja dilarang bangsa kita. Soeka meniroe apa jang datang dari Barat disangkanja baik semoea.”
Ali Husin kemudian membandingkan antara kerudung dengan baboska (semacam syal ala Barat yang diikat di bawah dagu untuk menutupi kepala, tapi tidak menutupi rambut bagian depan). Menurut dia, kerudung bagi kalangan Muslimah adalah perintah agama, tapi sering diejek dan dicela. Sementara mengenakan baboska yang datangnya dari Barat malah tidak sedikit yang menirunya.
Contoh baboska bisa dilihat pada kerudung yang dikenakan Masha, karakter dalam film kartun anak-anak produksi Rusia yang amat populer saat ini, Masha and the Bear.
Abdullah Alawi, peminat sejarah NU, penulis buku Pemuda Nahdoh: Sejarah Awal GP Ansor Jawa Barat 1934-1941 (2023) dan tengah menyiapkan buku Sejarah NU Jawa Barat, Jakarta, dan Banten 1926-1941.
========
Pada Ramadhan tahun ini, NU Online menyajikan edisi khusus bertajuk “Sejarah Kecil NU” tentang kisah orang-orang biasa dan kejadian-kejadian obskur yang sering tenggelam dalam narasi besar sejarah. Selama sebulan penuh, sejarawan partikelir sekaligus Redaktur Opini & Editorial NU Online, Abdullah Alawi, mengisi edisi khusus ini.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menjadikan Ramadhan sebagai Madrasah Ketakwaan
2
Gus Yahya Jenguk dan Doakan Kesembuhan KH Said Aqil Siroj
3
Khutbah Jumat: Mengajak Semua Anggota Tubuh Berpuasa
4
Khutbah Jumat: Ikhlas Jadi Kunci Kesempurnaan Puasa
5
3 Alasan Nyai Sinta Pilih Gelar Sahur Keliling bersama Kaum Duafa
6
Khutbah Jumat: Pentingnya Pendidikan Keluarga di Bulan Ramadhan untuk Membangun Karakter Anak
Terkini
Lihat Semua