Fragmen

Bulan Juli, Saat Soekarno dan Gus Dur Keluarkan Dekrit Presiden

Jumat, 5 Juli 2019 | 07:00 WIB

Presiden Soekarno dan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan pemimpin negara dalam sejarah Indonesia yang pernah mengeluarkan Dekrit (bahasa Latin decernere = mengakhiri, memutuskan, menentukan). Soekarno mengeluarkan dekrit pada 5 Juli 1959, sedangkan Gus Dur melontarkan dekrit pada 23 Juli 2001.

Dua presiden tersebut mengeluarkan dekrit demi menjaga konstitusi dari situasi bangsa yang kurang kondusif di masa Soekarno dan tuduhan-tuduhan inkonstitusional di masa Gus Dur. Kedua dekrit tersebut dikeluarkan untuk kepentingan bangsa secara luas walaupun di era Gus Dur tidak mendapat respon. Namun, rakyat Indonesia saat ini bisa melihat bahwa pelengseran Gus Dur oleh parlemen dilakukan tanpa bisa membuktikan bahwa Gus Dur bersalah secara konstitusi sehingga dekrit presiden menemukan relevansinya.

Abdul Mun’im DZ (2018) mencatat bahwa peristiwa Dekrit 5 Juli 1959 menandai berakhirnya sistem Demokrasi Liberal dan kembali kepada sistem Demokrasi Pancasila. Dalam peristiwa bersejarah itu Nahdlatul Ulama (NU) memiliki peran strategis dalam memberikan solusi, saat bangsa ini menghadapi kebuntuan, sehingga Bung Karno dengan tegas mengeluarkan dekrit itu.

Persidangan konstituante yang dimulai 10 November 1956 itu berjalan dengan lancar, sehingga ada beberapa pasal telah diselesaikan. Tetapi saat memasuki pembahasan dasar negara antara tahun 1957-1959  terjadi perdebatan alot antara kelompok pro Islam dengan kelompok pro Pancasila sebagai dasar negara. Sebenarnya, NU telah melihat persoalan ini akan mengalami kebuntuhan. Oleh karena itu, ketika pemerintah secara tertulis mengirim surat pada Ketua Konstituante untuk kembali pada Pancasila dan UUD 1945 yang disampaikan pada 19 Februari 1959 NU mulai mengkajinya.

Dalam sebuah rapat internal NU pada  20 Februari 1959 menawarkan jalan tengah yaitu Pancasila Islam, bukan Pancasila ala Komunis, yakni Pancasila dan UUD 1945 yang dijiwai Piagam Jakarta. Pandangan resmi NU itu disusun secara rapi kemudian disuarakan oleh KH Saifuddin Zuhri secara resmi di dalam Sidang Konstituante pada hari Senin 4 Mei 1959, sebuah usulan jalan keluar dari kebuntuan konstitusi yang sudah terjadi beberapa tahun.

Islam secara substansi dalam Undang-undang negara hingga saat ini merupakan hasil pemikiran para kiai pesantren yang tergabung di dalam NU. NU tidak sepakat menerapkan secara formal Piagam Jakarta ke dalam dasar negara di sidang pleno Majelis Konstituante, seperti yang dikehendaki kelompok Islam lain seperti Masyumi, PSII, Perti, dan lain-lain. Maka jalan tengahnya adalah Piagam Jakarta menjadi jiwa dan semangat UUD 1945.

Jalan tengah yang diberikan oleh NU disambut baik oleh Presiden Soekarno yang atas usul Jenderal Abdul Haris Nasution bahwa negara harus kembali kepada Pancasila dan UUD 1945. Sebab itu, harus dilakukan Dekrit Presiden secara konstitusional. Resistensi terhadap kelompok Islam tidak terjadi ketika Soekarno mengeluarkan Dekrit pada 5 Juli 1959 karena dasar negara telah dijiwai oleh Piagam Jakarta atas jalan tengah yang diberikan oleh NU.

Dalam hal ini, NU berhasil memberikan pemahaman Islam secara substansial dalam sistem berbangsa dan bernegara, bukan Islam partikular yang menginginkan formalisasi Islam ke dalam sistem bernegara. Dari sumbangsih pemikiran NU tersebut, Presiden Soekarno semakin yakin  dan lebih percaya diri untuk  mengumumkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Dengan gagasan kembali ke UUD 1945 yang berarati kembali menempatkan  Pancasila sebagai dasar negara, itu menjadi wacana umum dalam bangsa ini.

Isi Dekrit 5 Juli 1959 Presiden Soekarno:

Pertama, membubarkan Badan Konstituante hasil Pemilu 1955 yang belum mampu menghasilkan Undang-Undang Dasar (UUD) baru. Kedua, UUD 1945 kembali berlaku menggantikan UUD Sementara 1950. Ketiga, pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara.

Dekrit Presiden Gus Dur

Menjelang tengah malam pada tanggal 22 Juli 2001, Presiden Gus Dur sempat mengadakan pertemuan bersama wakil sekjen PBNU yang kala itu dijabat oleh Masduki Baidlawi dan tujuh ulama sepuh di Istana Negara di tengah situasi politik yang semakin panas jelang dirinya dilengserkan oleh parlemen.

Mereka menyampaikan kepada Gus Dur perihal kondisi politik mutakhir yang berujung pada rencana percepatan SI MPR keesokan harinya, yaitu pada 23 Juli 2001. Kondisi pertemuan di Istana Negara kala itu dilaporkan berlangsung khidmat dan penuh keharuan.

Gus Dur tak kuasa menahan air mata. Ia meminta maaf berkali-kali karena merasa tidak berterus terang kepada para ulama mengenai situasi politik yang dihadapinya. Dengan dorongan para ulama dan pengurus pondok pesantren, lewat tengah malam pada tanggal 23 Juli 2001, Gus Dur mengeluarkan dekrit presiden.

Dekrit itu secara tegas berisi penolakan terhadap keputusan Sidang Istimewa yang akan diselenggarakan beberapa jam kemudian oleh MPR yang kala itu dipimpin Amien Rais. Hingga saat ini tidak ada satu pun keputusan hukum yang memvonis Gus Dur melakukan kesalahan seperti yang dituduhkan sejumlah orang, baik kasus Buloggate dan Bruneigate.

Tangis Gus Dur pecah bukan karena kelemahan dirinya menghadapi situasi politik saat itu, tetapi memikirkan para ulama dan pendukungnya yang mempunyai komitmen kuat untuknya. Bahkan di sejumlah daerah dengan tegas membentuk pasukan berani mati jika Gus Dur dilengserkan. Gus Dur menahan ratusan ribu orang yang ingin berangkat ke Jakarta. Ia tidak mau ada kerusuhan dan pertumpahan sesama anak bangsa.

Isi Dekrit 23 Juli 2001 Presiden Abdurahman Wahid:

Pertama, membekukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Kedua, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan yang diperlukan untuk menyelenggaran Pemilu dalam waktu satu tahun.

Ketiga, menyelamatkan gerakan reformasi total dari unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golongan Karya sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung, untuk itu kami memerintahkan seluruh jajaran TNI dan Polri untuk mengamankan langkah penyelamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang serta menjalankan kehidupan sosial dan ekonomi seperti biasa. (Fathoni)