Nuriel Shiami Indiraphasa
Kontributor
Jakarta, NU Online
Wakil Ketua Pengurus Pusat Lembaga Seni Budaya Muslimin Nahdlatul Ulama (PP LESBUMI NU) Sabrang Mowo Damar Panuluh menyebutkan, bentuk mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak selesai di mulut dan di ikrar semata. Mengembalikan Indonesia kepada sejarahnya, merupakan wujud riil dari pengamalan cinta tanah air.
“Cinta NKRI mengembalikan Indonesia kepada sejarahnya. Karena, tidak mungkin ada bangsa besar kalau dia tercabut dari akarnya,” ungkap pria yang akrab disapa Noe Letto ini pada tayangan kanal YouTube NU Online, Kamis (11/11/2021).
Menurutnya, salah satu akar atau fondasi kemajuan bangsa yang belum sepenuhnya menunjukkan kekuatan adalah santri. Padahal, santri memiliki potensi luar biasa yang terbentuk seraya mengenyam pendidikan di pesantren.
“Santri itu terkenal punya daya juang yang lebih kuat daripada anak sekolah. Karena pertarungan di pesantren tidak sesederhana di sekolah. Itu modal yang luar biasa untuk membangun Indonesia ke depan,” kata Duta Pencak Silat Nahdlatul Ulama (PSNU) Pagar Nusa ini.
Berbicara mengenai santri, Vokalis band Letto ini mengingatkan kepada Hari Santri. Ia mengatakan bahwa Hari Santri sendiri merupakan momentum untuk kembali mengingat peran pesantren yang sangat vital di kebudayaan Indonesia. Dijelaskan, sebelum sistem pendidikan barat hadir di Indonesia, pesantren merupakan pusat pengetahuan yang dijadikan rujukan oleh masyarakat.
“Kalau saya ceritakan dulu, gurunya benar-benar personal dengan muridnya. Semua tidak harus ujian matematika, bahasa, karena masing-masing (anak) punya bakat yang diberikan oleh Tuhan jadi itu yang ditumbuhkan,” terang putra Budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) itu.
Merujuk pada makna ‘santri’ itu sendiri, Noe menerangkan bahwa ia berangkat dari kata ‘sastri’ yang berarti orang berilmu. “Sastri yang kemudian menjadi santri artinya adalah orang yang berilmu,” tuturnya.
Santri yang dianggap sebagai seseorang yang matang agamanya, Noe menyebut juga matang di dunia sosialnya serta pengetahuan dan sainsnya. “Itu bukan keluar dari khittah-nya, justru kembali ke peran pesantren dan santri yang sesungguhnya,” paparnya.
“Karena santri di awal dulu benar-benar menjadi pusat pengetahuan dan rujukan masyarakat mau dari ilmu agama, budaya, pengetahuan menanam, cuaca,” imbuhnya.
Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Aiz Luthfi
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: 4 Maksiat Hati yang Bisa Hapus Pahala Amal Ibadah
2
Khutbah Jumat: Jangan Golput, Ayo Gunakan Hak Pilih dalam Pilkada!
3
Poligami Nabi Muhammad yang Sering Disalahpahami
4
Peserta Konferensi Internasional Humanitarian Islam Disambut Barongsai di Klenteng Sam Poo Kong Semarang
5
Kunjungi Masjid Menara Kudus, Akademisi Internasional Saksikan Akulturasi Islam dan Budaya Lokal
6
Khutbah Jumat Bahasa Sunda: Bahaya Arak keur Kahirupan Manusa
Terkini
Lihat Semua