Rabu, 11 September 2019, bangsa Indonesia kembali kehilangan putra terbaiknya, Bacharuddin Jusuf Habibie. BJ Habibie meninggal dunia sekitar pukul 18.00 WIB di Rumah Sakit Pusat Angakatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta Pusat. Presiden ketiga RI itu dimakamkan di samping tambatan hatinya Hasri Ainun Besari di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
Selain sebagai seorang insinyur dan penemu sejumlah komponen aerodinamika pesawat terbang ini, BJ Habibie juga dikenal sebagai Muslim yang taat. Saat meletakkan jabatan Presiden RI dan menyerahkannya kepada BJ Habibie pada 1998, Soeharto dengan jelas menyebut pria kelahiran Parepare, 25 Juni 1936 ini sebagai 'orang shaleh'.
Kecerdasan BJ Habibie mendapat kesan yang baik dari Soeharto. Dia mendapat amanat untuk memikul jabatan Menteri Riset dan Teknologi pada era Orde Baru selama kurun waktu hampir 20 tahun. Predikat 'orang shaleh' juga membawa dirinya dipercaya Soeharto untuk memimpin Ikatan Cedekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang dibentuk pada 7 Desember 1990 di Universitas Brawijaya Malang melalui Simposium Cendekiawan Muslim Cendekiawan Muslim.
Menurut Greg Barton dalam The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (2003), salah satu tujuan Soeharto mendirikan ICMI adalah memisahkan kaum modernis dari kaum tradisionalis. Dengan demikian mereka tidak bisa bekerjasama untuk melawannya. Hal ini terbukti ketika pada awal tahun 1990-an, Amien Rais, orang yang memang biasa bersuara lantang belum lagi bersikap kritis terhadap Soeharto. Posisinya di Dewan Ahli ICMI sedikit banyak membuatnya bungkam.
Terbentuknya ICMI dengan ketua pertamanya, BJ Habibie tidak hanya dipandang Gus Dur sebagai langkah politis Soeharto dalam melokalisir tokoh-tokoh cendekiawan di bawah kendalinya, tetapi juga dilihat sebagai pembonsaian peran cendekiawan bagi kepentingan bangsa Indonesia secara luas. Gus Dur berharap ICMI sebagai sebuah wadah mencapai kesuksesan, namun ia dengan tegas menyatakan bahwa tempat dirinya bukan di situ (ICMI).
Saat itulah Gus Dur menanggapi terpilihnya seorang BJ Habibie sebagai Ketua ICMI pertama. Dalam Majalah AULA Nahdlatul Ulama edisi Januari 1991 halaman 28, Gus Dur mengenal BJ Habibie dan hormat kepadanya karena dia seorang pembantu presiden (Menrsitek). Gus Dur juga mendengar bahwa Habibie seorang perancang pesawat. Labih dari itu, dia dengan jelas mengatakan bahwa dirinya tidak mengenal Habibie.
"Saya tidak mengenal Habibie. Namun, saya hormat karena dia pembantu presiden, saya dengar dia perancang pesawat dan dihormati di luar negeri. Saya turut bangga. Saya cuma berdoa supaya wadah itu (ICMI) sukses. Ketuanya Habibie atau bukan, yang penting sukses. Tapi tempat saya ndak di situ..."
Awalnya, pembentukan ICMI dalam kegiatan Simposium Nasional Cendekiawan Muslim di Unibraw Malang itu banyak yang memandang akan membawa angin segar umat Islam dari pemerintah. Juga merupakan harapan cerah bagi masa depan Islam karena organisasi ini dimpimpin oleh BJ Habibie, seorang intelektual yang cukup disegani di Indonesia dan di Eropa.
Namun, Gus Dur menyatakan bahwa ketidakhadiran dirinya pada Kongres ICMI di Malang lebih dikarenakan adanya pembatasan nama-nama yang diundang. Gus Dur menyebut, sepertinya hanya mereka yang ‘Islam Masjid’ yang boleh masuk ICMI. Sedangkan ‘Islam Alun-alun’ sama sekali tidak diajak, baik sebagai eksponen maupun pembawa makalah.
Gus Dur memisalkan ketika umat Islam di Indonesia memiliki cendekiawan Umar Kayam dan Muchtar Lubis. Tentu saja dari sisi intelektualitasnya, contoh kedua tokoh tersebut tidak mungkin dikupas secara mendalam oleh orang-orang yang disebut Gus Dur sebagai ‘Islam Masjid’. Sehingga ICMI kehilangan relevansinya sebagai sebuah wadah yang diharapkan memberikan kemajuan intelektualitas bangsa Indoensia.
Dari segi masa depan politik Indonesia, Gus Dur juga mencontohkan bahwa forum ICMI tidak bisa meninggalkan Dr Alfian dan Juwono Sudarsono. "Kenapa cuma Arbi Sanit yang diundang? Kenapa tidak bisa lapang dada dan menerima orang-orang yang kurang sepaham?" ungkap Gus Dur yang disampaikan lewat Tempo.
Gus Dur menegaskan bahwa keberatannya kepada ICMI bukan sebagai keberatan NU secara institusi, melainkan keberatan diri pribadinya. Karena orang NU seperti Yusuf Hasyim dan KH Ali Yafie termasuk yang hadir dalam simposium tersebut.
Menurut kesaksian putri kedua Gus Dur, Yenny Wahid kepada Kompas, Yenny mengenang masa-masa ia kerap menemani ayahnya berbincang dengan almarhum BJ Habibie. Menurutnya, Gus Dur dan Habibie adalah tokoh yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat.
Melalui Habibie, lahir Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Lewat undang-undang tersebut, media massa bisa menyuarakan kritik terhadap pemerintah. Gus Dur dan Habibie juga sama-sama orang yang punya komitmen untuk memberikan kebebasan berpendapat seluas-luasnya di Indonesia untuk membuka ruang bagi demokrasi di indonesia.
Meski kerap dikritik media, Gus Dur dan Habibie tidak lantas memberedelnya. Walaupun dua-duanya juga menjadi korban dari demokrasi itu sendiri. Artinya, beliau berdua menjadi korban, dikritik, disalahpahami dan sebagainya, tetapi ikhlas menjalaninya. Menurut Yenny Wahid, ini adalah ciri dari seorang negarawan.
Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Kendi Setiawan