Fragmen

Jejak Jejaring Santri dan Kiai di Sukunsari

Jumat, 8 November 2024 | 12:05 WIB

Jejak Jejaring Santri dan Kiai di Sukunsari

Walimah pernikahan KH Muthohar Baidlowi didampingi kakak iparnya, KHM Yusuf Masyhar, di Pesantren Sukunsari (foto dokumentasi keluarga)

Perang Surabaya 10 November 1945 tidak akan datang tiba-tiba begitu saja tanpa ada rangkaian peristiwa sebelumnya. Selain peristiwa besar seperti Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama pada 22 Oktober 1945, yang kemudian dikenal sebagai Hari Santri Nasional, terdapat pertikel-partikel kecil yang terangkai ke dalam berbagai peristiwa dan elemen, terutama kalangan santri yang ada di pesantren-pesantren di seluruh Jawa dan Madura. 


Sejarah juga tidaklah tunggal karena ada aktor-aktor dan momentum-momentum lain yang mendukung, sebagaimana Perang Surabaya merupakan ekses berlanjut dari perlawanan kaum santri dalam merespons Perang Dunia Kedua yang melebar hingga ke timur jauh dan Samudera Fasifik.


Pesantren Sukunsari, Cirebon
Jika warga NU mengenal sosok KH Said Aqil Siroj sebagai Ketua Umum PBNU periode 2010-2021 memiliki nasab yang terhubung kepada Pesantren Gedongan dari jalur ayahnya, maka ia memiliki hubungan nasab kepada Pesantren Sukunsari dari jalur ibunya. 


Secara lengkap dapat disebutkan: KH Said Aqil Siroj adalah putera dari KH Aqil Kempek bin KH Siroj Gedongan bin KH Muhammad Said Gedongan. Sementara dari jalur ibu disebutkan: KH Said Aqil Siroj adalah putera dari Nyai Afifah Harun (istri KH Aqil Kempek) binti Nyai Ummi Laila (istri KH Harun Kempek) binti KH Hasan Sukunsari. 


Pesantren Sukunsari didirikan oleh KH Hasan yang menempati blok kecil sebuah perkampungan di Desa Setu Wetan, terletak di sisi selatan perempatan Plered (jalur Pantura), Kabupaten Cirebon. Pesantren Sukunsari menyisakan situs-situs berupa bangunan mushala, gedung madrasah, asrama santri, dan rumah-rumah kediaman keluarga Bani Hasan. Kesejarahan Pesantren Sukunsari tersebut pernah diteliti oleh Muhammad Sulhan, dosen sejarah dari Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung.


Pesantren Sukunsari memiliki sejarah panjang sejak didirikan KH Hasan. Ia adalah pendatang dari daerah Pekalongan yang menjadi guru dari kiai-kiai besar di Jawa Barat sebagaimana KH Abbas Buntet, KH Ubaidillah Bandung, dan KH Harun Kempek.


Peran dan posisi Pesantren Sukunsari yang strategis telah menjadikannya sebagai tempat mengatur strategi politik sejak masa Hadratussyekh KHM Hasyim Asy'ari, KH Abdurrahman Wahid, hingga KH Muthohar Baidlowi (putera KH Ahmad Baidlowi Asro, menantu Hadratussyekh) yang menikah dengan Nyai Hj. Kamilah. 


Konon, sebelum mendirikan NU, Hadratussyekh sempat memohon dukungan istikharah dan restu terlebih dahulu kepada KH Hasan sebanyak tiga kali. 


Dalam tutur populer yang berkembang di kalangan warga Nahdliyin ketika hendak memulai Perang Surabaya 22 Oktober 1945, Hadratussyekh mengatakan, "Tunggu macan dari Cirebon." Macan Cirebon dimaksud adalah KH Abbas Buntet. 


KH Abbas Buntet menurut Kiai Luthfillah (cicit KH Hasan) belum mau berangkat ke Surabaya sebelum mendapat restu dari KH Hasan. Habib Luthfi bin Ali bin Yahya dalam suatu kesempatan pernah berkata, "Siapa yang tidak kenal KH Hasan? Kula bertirakat tahun 1980an di dua tempat. Di makam KH Hasan Sukunsari dan di Indramayu."


Dari aspek historiografi, jejak sejarah Pesantren Sukunsari dan KH Hasan ditemukan dalam manuskrip yang ditulis oleh C Snouck Hurgronje (1889) ketika mengunjungi Cirebon. Kini, buku diary tersebut tersimpan di De Universiteits Bibliotheek Leiden (UBL), atau Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.


Menurut M. Rizqy Fauzi (2023) sebagaimana telah dilansir oleh NU Online Jabar, Hurgronje pada saat itu tengah menjabat sebagai adviseur voor Inlandshe Zaken (penasehat Kantor Urusan Pribumi). sepanjang tahun 1889 hingga 1891. 

Hurgronje melakukan perjalanan mengelilingi pesantren-pesantren yang ada di wilayah Sunda (Jawa Barat dan Banten), Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dalam perjalanan tersebut, Hurgronje ditemani oleh sahabat karibnya, Haji Hasan Moestapa, Penghulu Besar Bandung, yang dijumpai di kota suci Mekah pada 1885.


Dalam buku harian tersebut, Hurgronje berhasil mencatat ratusan nama ulama di Sunda-Jawa-Madura, serta relasi intelektual secara genealogis yang saling berhubungan di antara mereka (ulama-ulama Melayu-Nusantara) dengan ulama-ulama di Makkah.


Ulama-ulama Cirebon yang dijumpai oleh Hurgronje pada 1889 diantaranya adalah KH Imam Prabu (mufti Keraton Kasepuhan), KH Thalhah Kalisapu (mursyid Pangersa Abah Sepuh Suryalaya untuk tarekat al-Qadiriyah wa al-Naqsyabandiyah), KH Muhammad Said Gedongan, KH Abdul Jamil Buntet, KH Soleh Jawahir Bendakerep, KH Anwar Tegalgubug, dan KH Hasan Sukunsari. 


Dalam catatan Hurgronje tersebut, tampak jelas dua leluhur KH Said Aqil Siroj, KH Muhammad Said Gedongan dan KH Hasan, adalah dua ulama yang hidup sezaman dan masyhur.


KH Hasan kala itu disebutkan sebagai pengasuh pesantren di Setu Jero (Setoe Djero), Desa Setoe, distrik Ploemboen. Saat ini, secara administratif, kawasan Setu Jero masuk ke dalam wilayah Desa Setu Wetan, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon. 


Secara genealogis, relasi intelektual KH Hasan telah terkoneksi kepada beberapa ulama di Cirebon, Surabaya, dan Garut. Dalam catatan Hurgronje, KH Hasan pernah belajar kepada KH Anwar Kriyani Buntet, pernah belajar di Surabaya (Jawa Timur), kepada KH Soleh Jawahir Bendakerep, dan kepada Rd. H. Hasan Moestapa. Di Pesantren Sukunsari, KH Hasan mengajar beberapa kitab fikih dan nahwu diantaranya adalah Fath al-Qarîb, Fath al-Mu’în, Tahrîr, dan Fath al-Wahab.


Jejak Jejaring Ulama 
Pada masa pra-Reformasi 1998, Pesantren Sukunsari merupakan sentrum, pernah menjadi pusat gerakan nasional yang dipelopori oleh seorang aktivis klandestin, KH Muthohar Baidlowi, yang menikah dengan Nyai Hj. Kamilah, seorang puteri dari keluarga saudagar di Plered. Nyai Hj. Kamilah memang tidak memiliki hubungan darah langsung kepada dzuriyah Pesantren Sukunsari, tapi rumahnya yang terletak di sisi barat, berjarak kelang tiga rumah dan gang kecil dari mushalla Pesantren Sukunsari, sering dijadikan sebagai tempat pertemuan para aktivis NU.


Cerita dapat dipungut dari rumah Nyai Hj. Kamilah tersebut. KH Muthohar Baidlowi adalah adik KH Hamid Baidlowi (suami Nyai Hj. Aisyah Baidlowi, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat NU periode 1995-2000) yang sering menyusun pertemuan-pertemuan bersama KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH Syansuri Badawi (santri dan menantu Hadratussyekh asal Plered), dan tokoh-tokoh pemuda NU lainnya dari berbagai daerah di rumah Nyai Hj. Kamilah. 


Rumah tersebut menjadi saksi bisu atas kehadiran kiai-kiai besar dalam sejarah NU sebagaimana KHM Yusuf Masyhar, pendiri Pondok Pesantren Madrasatul Quran Tebuireng, dan KH Adlan Aly, pendiri Pondok Pesantren Puteri Walisongo Cukir. Keduanya kerap mampir atau memenuhi undangan di rumah Nyai Hj. Kamilah. Dan, ketika Pagar Nusa belum berdiri menjadi organisasi otonom NU, Pesantren Sukunsari menjadi saksi bisu, tempat organisasi tersebut dirumuskan oleh KH Syansuri Badawi. 


Pada tanggal 10 Februari 2024, beberapa foto kenangan koleksi keluarga ditunjukkan oleh Nyai Hj. Kamilah. Dalam foto-foto tersebut tampak Gus Dur tengah mengisi acara Maulid Nabi Muhammad Saw di madrasah milik Nyai Hj. Kamilah, seusai Muktamar Situbondo pada 1984. 


Pada foto yang lain, tampak KH Adlan Aly sedang duduk bersama KH Sobari, Pengasuh Pesantren Sukunsari kala itu. Juga, foto KHM Yusuf Masyhar yang tengah menghadiri resepsi pernikahan adik iparnya, KH Muthohar Baidlowi dengan Nyai Hj. Kamilah.


Demikian, melalui jejak dan situs yang ada di Pesantren Sukunsari, sejarah NU dapat digambarkan sebagai kebangkitan kesadaran personal sekaligus kesadaran kolektif sebagaimana Kuntowijoyo pernah mengatakan: Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari berhasil membangkitkan kesadaran kolektif bangsa Indonesia melalui Resolusi Jihad 1945 untuk melawan invasi negara-negara multinasional yang kembali hendak menguasai wilayah-wilayah kolonial mereka. 


Melalui jejaring kiai dan ulama yang ada di Sunda-Jawa-Madura, Resolusi Jihad 1945 dapat membangkitkan kesadaran kolektif kalangan pesantren untuk melawan invasi tersebut yang sudah merambah hingga ke Surabaya, setelah berhasil menguasai Jakarta pada bulan September 1945.

 

M. Sakdillah, penulis buku Pengantar Ilmu Dakwah: Antara Teori dan Praktik (2024)