Fragmen

Kecintaan Generasi Arab Hadrami terhadap KH Wahid Hasyim

Jumat, 21 Januari 2022 | 17:00 WIB

Kecintaan Generasi Arab Hadrami terhadap KH Wahid Hasyim

Kecintaan Generasi Arab Hadrami terhadap KH Wahid Hasyim

Indonesia tidak hanya dihuni oleh kalangan pribumi. Kemerdekaannya pun disokong oleh segenap komponen bangsa, baik penduduk asli bumiputera maupun warga keturunan lainnya yang mencintai Indonesia. Hal ini disadari sepenuhnya oleh para tokoh NU sebagai bekal merajut persatuan bangsa sejak zaman penjajahan maupun semasa kemerdekaan Indonesia masih berusia muda.

 

KH Abdul Wahid Hasyim merupakan figur yang dapat mempersatukan komponen bangsa Indonesia. Selain berkiprah bersama para Bapak Bangsa dari berbagai daerah, ia juga akrab dengan generasi Arab Hadrami. Bahkan, saking akrabnya dengan keturunan Arab itu, kecintaan terhadap KH Wahid Hasyim menempati posisi khusus di hati mereka. Namun, hal ini belum banyak dibahas oleh para sejarawan.

 

Generasi Arab Hadrami merupakan keturunan Arab yang berada di Indonesia dan nenek moyang mereka berasal dari Hadramaut, Yaman. Di antara mereka ada yang merupakan kaum sayyid (keturunan Rasulullah saw) dan ada pula yang bukan. Pada zaman penjajahan Belanda, mereka ada yang tergabung dalam organisasi Jamiatul Khair dan ada pula yang berada di Al-Irsyad. Tokoh-tokoh kedua organisasi itu ternyata menaruh perhatian khusus kepada Kiai Wahid Hasyim.

 

Muhammad Asad Syihab, seorang jurnalis pejuang yang juga merupakan putra dari tokoh Jamiatul Khair dan merupakan generasi Arab Hadrami, dalam bukunya yang mengulas biografi Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari menuliskan sebagai berikut:

 

“Dan putra beliau (KH Hasyim Asy’ari), Abdul Wahid, dia adalah salah satu dari sembilan orang yang menandatangani Piagam Jakarta untuk kemerdekaan yang sangat populer. Dia memimpin Nahdlatul Ulama dan menduduki beberapa jabatan kementerian di dalam pemerintahan Republik Indonesia, di antaranya adalah kementerian urusan agama. Dan dia juga penulis, penyair, sastrawan, dan orator ulung.

 

Dia memang banyak mirip dengan ayahnya dalam keluhuran budinya, terutama dalam semangat pidatonya, kefasihannya dan kemampuannya dalam mengungkapkan isi pidatonya. Dia memiliki keistimewaan sebagaimana ayahnya yang tenang dan sabar.” (Muhammad Asad Syihab, 1971, Kyai Pejuang KH Muhammad Hasyim Asy’ari Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia,  dari Al-Allamah Muhammad Hasyim Asy'ari: Wadli' Labinati Istiqlali Indunisya [Beirut: Daar El Shodiq, halaman 42-43).

 

Berdasarkan kutipan di atas, hal unik dari KH Wahid Hasyim dan disukai oleh generasi Arab Hadrami adalah ketenangan, kesabaran, serta yang tidak kalah pentingnya yaitu kemampuan beliau bersyair dan berbahasa secara fasih, baik dalam bahasa lisan maupun tulisan. Tentu saja kemampuan bersyair yang dimaksud adalah bersyair dalam bahasa Arab. Baik generasi Arab Hadrami yang tergabung dalam Jamiatul Khair maupun Al-Irsyad, pada masa itu sama-sama memiliki tradisi bersyair dalam bahasa Arab.

 

Di kalangan Al-Irsyad, KH Wahid Hasyim ternyata juga sangat populer. Hussein Badjerei dalam bukunya menuliskan keakraban KH Wahid Hasyim dengan Abdullah Badjerei, seorang tokoh Al-Irsyad yang menjadi sekretaris pribadi Ahmad Surkati, sebagai berikut:

 

“Hubungan Abdullah Badjerei dengan Wahid Hasyim pertama-tama karena keduanya terlampau ‘asyik’ dengan sastra Arab. Badjerei seringkali ditahan di kantor Wahid Hasyim pada Kementerian Agama cuma untuk saling bercakap-cakap dengan menggunakan tatanan syair Arab yang spontan meluncur dari mulut masing-masing. Menurut Badjerei, banyak orang Al-Irsyad yang malu kalau mendengar Wahid Hasyim berbicara dalam bahasa Arab. Perkataan ‘Bahasa Al-Qur’an’ dan ‘Huruf Al-Qur’an’ asalnya adalah istilah yang dikeluarkan Wahid Hasyim. Sifat lain yang dimiliki Wahid Hasyim yang menarik hati orang-orang Al-Irsyad ialah sikapnya yang tidak berubah dalam pergaulan sehari-hari meski Ia sudah menjadi menteri. Rumah dan kantornya selalu terbuka untuk orang-orang Al-Irsyad. ‘Huwa mahbuubun ‘indal jamii’, tukas Badjerei. Ia amat dicintai masyarakat!” (Hussein Badjerei, 1996, Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa, Penerbit Presto Prima Utama, halaman 161).

 

Kecintaan generasi Arab Hadrami, khususnya dari warga Al-Irsyad terhadap KH Wahid Hasyim selain karena kemampuan berbahasa Arabnya, juga karena keramahan dan kehangatan pergaulannya. Secara fair bahkan tokoh Al-Irsyad itu mengakui bahwa masyarakat banyak yang mencintai KH Wahid Hasyim karena keluhuran akhlaknya yang selalu membuka diri untuk ditemui, termasuk bila tamu itu adalah orang Al-Irsyad. Padahal dalam beberapa masalah keagamaan, ada perbedaan pandangan di antara NU dan Al-Irsyad.

 

Di bagian lain bukunya, Hussein Badjerei mengisahkan hubungan antara Abdullah Badjerei dengan KH Wahid Hasyim:

 

“Wahid Hasyim pun merupakan sahabat akrabnya. Kalau ia datang ke kantornya ketika Wahid Hasyim menjadi menteri agama, Wahid Hasyim kontan tutup pintu dan menolak tamu lain. Lalu bercakap-cakaplah mereka berdua dengan bersyair. Syair bahasa Arab! Wahid Hasyim dinilainya orang pribumi yang terpandai berbahasa Arab” (Hussein Badjerei, 1996, Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa, Penerbit Presto Prima Utama, halaman 46).

 

Pengakuan yang jujur tentang kepandaian KH Wahid Hasyim dalam berbahasa Arab pada akhirnya menjadi kunci tradisi penghormatan dari para keturunan Arab kepada KH Wahid Hasyim. Penguasaan bahasa Arab tingkat tinggi Beliau diakui oleh generasi Arab Hadrami sehingga membuatnya diterima bahkan oleh kalangan Al-Irsyad yang dalam beberapa hal berseberangan dengan NU. Namun, secara pribadi hubungan baik para tokoh itu tetap terjalin dengan hangat.

 

Kecintaan tokoh generasi Arab Hadrami lainnya terhadap KH Wahid Hasyim muncul dari seorang pengusaha sukses yang bernama Ali Martak. Ayah Ali Martak adalah Faradj bin Said, seorang pengusaha kelahiran Hadramaut, yang membelikan rumah untuk Bung Karno di Pegangsaan Timur nomor 56. Ali Martak yang berasal dari keluarga Arab Hadrami memiliki kedekatan dengan KH Wahid Hasyim. Sebagaimana telah banyak diketahui, KH Wahid Hasyim pernah menjadi ketua PBNU. Ali Martak bahkan pernah menjadi salah satu donatur perorangan untuk PBNU di antara penyumbang-penyumbang lainnya seperti Djamaludin Malik, Abdul Manaf, dan Haji Hasmuni. (Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama; Sejarah NU 1952-1967, halaman 142)

 

Berkat pergaulannya yang luas dengan generasi Arab Hadrami, KH Wahid Hasyim memberikan banyak pelajaran untuk masyarakat, khususnya warga NU. Kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, perhatian kepada Bahasa Arab, kerendahan hati, kesabaran, dan keramahan dalam menjalin pergaulan akan memudahkan penerimaan orang lain dan berbalas dengan penghormatan yang serupa, atau bahkan dengan penghormatan yang lebih baik.

 

Yuhansyah Nurfauzi, Anggota Komisi Fatwa MUI Kabupaten Cilacap