Masa-masa penjajahan merupakan fase yang tidak mudah dilalui bagi rakyat Indonesia karena harus menerima segala bentuk ketidakperikemanusiaan, baik lahir maupun batin. Namun, tekad kuat untuk merdeka, tanggung jawab bersama, persatuan dan kesatuan adalah modal penting bangsa Indonesia sehingga berhasil mewujudkan kemerdekaan.
Pesantren dengan kiai dan santrinya merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam klasik yang konsisten melawan segala bentuk penjajahan. Sehingga pesantren kala itu bukan hanya menjadi tempat menempa ilmu dan kemandirian santri, tetapi juga menjadi wadah pergerakan nasional untuk mencapai kemerdekaan seluruh rakyat Indonesia.
Namun, di tengah upaya mencapai tujuan kemerdekaan dari kungkungan penjajah, bangsa Indonesia justru dihadapkan pada usaha makar dari kelompok-kelompok tertentu seperti Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin oleh SM Kartosoewirjo. Mereka berusaha mendirikan negara Islam melihat misionarisme yang dibawa oleh penjajah Belanda dengan menafikan kepemimpinan nasional di bawah Soekarno.
Nahdlatul Ulama yang mempunyai tanggung jawab sosial keagamaan menyikapi gerakan DI/TII dengan tegas. Organisasi yang dipimpin oleh KH Hasyim Asy’ari ini menolak gagasan Kartosoewirjo untuk mendirikan negara Islam karena pertimbangan historis dan kebangsaan. Pendirian negara Islam juga tidak mempunyai pijakan syariat karena Nabi Muhammad SAW tidak pernah melakukannya. Lagipula, Indonesia merupakan kumpulan bangsa majemuk yang sedang berusaha bersama-sama berjuang mencapai kemerdekaan.
Sikap tegas NU terkait darul Islam dibahas melalui Muktamar ke-11 NU tahun 1936 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ini menunjukkan bahwa ketegasan NU menolak darul Islam Kartosoewirjo mempunyai dasar, tidak dilakukan secara srampangan. Hal ini juga menggambarkan bahwa para ulama NU selalu mendasarkan diri dengan pijakan syariat. Apalagi konsep negara bangsa (nation state) Soekarno sama sekali tidak mengekang agama Islam sehingga negara bangsa merupakan perwujudan aspirasi Islam.
Salah seorang ulama NU, KH Achmad Siddiq (1926-1991) memberikan penjelasan terkait darul Islam yang dibahas dalam Muktamar NU 1936 di Banjarmasin. NU mengakui darul Islam karena di wilayah Nusantara pernah hidup kerajaan-kerajaan Islam. Namun, umat Islam saat itu hidup lestari dengan umat agama lain sehingga Islam adalah sistem nilai, bukan sistem negara.
KH Achmad Siddiq menegaskan bahwa pendapat NU bahwa Indonesia (ketika masih dijajah Belanda) adalah darul Islam sebagaimana diputuskan dalam Muktamar NU 1936 tersebut. Kata darul Islam bukanlah sistem politik atau ketatanegaraan, tetapi sepenuhnya istilah keagamaan (Islam) yang lebih tepat diterjemahkan wilayatul Islam (daerah Islam), bukan negara Islam. (Abdul Mun’im DZ, Piagam Perjuangan Kebangsaan, 2011)
Motif utama dirumuskannya pendapat ini ialah bahwa di wilayah Islam, maka kalau ada jenazah yang tidak jelas non-Muslim, maka harus diperlakukan sebagai Muslim. Di wilayah Islam, semua penduduk wajib memelihara ketertiban masyarakat, mencegah perampokan, dan sebagainya, termasuk menentang ketidakperikemanusiaan penjajah.
Sebab itu, NU menolak ikut milisi Hindia-Belanda karena menurut Islam, membantu penjajah hukumnya haram. Bahkan untuk membangun masyarakat Islam, setiap penjajahan harus disingkirkan.
Dalam buku yang sama, Mun'im DZ juga mengungkapkan bahwa keteguhan pendirian NU terhadap bentuk negara bangsa ini kembali dibuktikan saat pertama kali datang Laksamana Maeda, pimpinan tertinggi tentara Jepang (Nippon) pada 1943. Maeda menanyakan siapa yang bisa menjadi pemimpin tertinggi negeri ini untuk diajak berunding dengan Jepang.
Dengan tegas KH Hasyim Asy’ari menjawab bahwa yang pantas memimpin bangsa ini ke depan ialah Soekarno, seorang tokoh nasionalis terkemuka. Untuk itu, ketika Indonesia merdeka pada 1945, pemimpin tertinggi NU tersebut merestui Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia. (Fathoni)