Fragmen

Kiai Bamburuncing

Selasa, 27 September 2011 | 02:39 WIB

Bismi Allahi, Ya Hafidzu Allahu Akbar...    

Itulah bekal doa dari KH Subeki kepada para tentara Hizbullah dan Sabilillah daerah Parakan-Temanggung, Jawa Tengah. Setelah diberkati doa, pasukan memperoleh kebulatan hati yang tak tergoyahkan menuju pertempuran, dan mempunyai ketabahan untuk bertawakal kepada Allah dengan keberanian dan keikhlasan.

<>Tidak hanya tentara Hizbullah dan Sabilillah, laskar-laskar dari kesatuan lain dan anggota  Tentara Keamanan Rakyat juga berbondong-bondong menghadap sang kiai, tak kenal siang atau malam. Mereka meminta supaya senjata bamburuncingnya dilumuri tuah dari doanya. Karena itulah beliau terkenal dengan julukan kiai bamburuncing.

Sekali waktu, Wongsonegoro, gubernur Jawa Tengah saat itu, juga pernah meminta berkahnya. Bahkan  Panglima Besar Jendral Soedirman, sebelum pergi ke Ambarawa, melakukan hal serupa.

Dalam catatan KH Saifuddin Zuhri (1974), KH Wahid Hasyim, KH Zainul Arifin dan KH Masykur pernah juga mengunjunginya. Dalam pertemuan itu, KH Subeki menangis karena banyak yang meminta doanya. Ia merasa tidak layak dengan maqam itu. Mendapati pernyataan ini, tergetarlah hati panglima Hizbullah, KH Zainul Arifin, akan keikhlasan sang kiai.

Tapi, kiai Wahid Hasyim menguatkan hati Kiai Bamburuncing itu, dan mangatakan bahwa apa yang dilakukannnya sudah benar.

“Apa yang Bapak lakukan itu sudah benar dan meraka sudah mendapat apa yang mereka inginkan. Mereka jadi tambah berani dalam perjuangan, dan ini sangat penting. Apa yang biasa sampaikan kepada mereka?” demikian kata Kiai Wachid.

Kiai Subeki merespon, “Luruskan niat untuk mempertahankan agama, bangsa dan Tanah Air. Ingat selalu kepada Allah. Jangan menyeleweng dari tujuan dan hendaklah selalu ingat kepada Allah.”

Dalam revolusi fisik yang berkecamuk 1945-1950, Kiai Subeki tidak hanya ongkang-ongkang kaki, memberi  tuah di rumahnya. Ia juga turun ke medan laga. Ia bersama KH HM Siradj Payaman, KH M. Dalhar Watucongol, serta KH Mandur Temaggung, dan bersama tentara rakyat berhasil mengusir NICA dan Sekutu dari Magelang sampai ke Ambarawa. Dari Ambarawa, ia bersama Jendral Sudirman dan tentara rakyat, berhasil juga mengusirnya.

Dalam catatan Mahbub Djunaidi (1974), KH. Subeki juga diamati dari kacamata seorang anak. Ia mendengar kabar, para pejuang miminta bamburuncingnya dituahi KH Subeki. Para pejuang kemudian bertempur seperti orang keserupan memukul mundur Sekutu dari Solo. Sebagai seorang anak, Mahbub menginginkan bamburuncing itu untuk kebanggaan di mata teman-temannya.

Tepatlah ujaran Bung Karno, “Sejarah, apalagi bagian yang dalam, yakni mempelajari kekuatan-kekuatan masyarakat; yang menyebabkan kemajuan atau kemunduran suatu bangsa, tidak banyak diperhatikan. Padahal, di sinilah padang penyelidikan yang maha-maha penting.” (Abdullah Alawi, dari pelbagai sumber)