Fragmen

Muktamar Ke-10 NU (3-Habis): Beberapa Putusan Penting Muktamar 1935

Senin, 11 Mei 2020 | 05:00 WIB

Muktamar ke-10 Nahdlatul Ulama (NU) di Kota Solo, pada tanggal 13-19 April 1935, terselenggara berkat dukungan daeri berbagai pihak, termasuk Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran yang menyediakan tempat untuk tempat rapat maupun acara yang bersifat umum seperti pengajian akbar yang diselenggarakan di Masjid Agung Surakarta.

Kemudian, cabang-cabang di sekitar Solo seperti Boyolali dan Klaten, juga turut membantu dalam menyiapkan segala keperluan untuk para tamu undangan dan peserta muktamar. Para warga juga dengan sukarela turut menginfakan uang dan beberapa harta benda yang mereka miliki, untuk ngalap berkah dari acaranya para ulama ini.

Dari catatan laporan Origineel Verantwoording (akuntabilitas) Congres jang ke 10, dana sebanyak f 984.075 (gulden) berhasil dikumpulkan dari berbagai donatur untuk membantu suksesnya acara muktamar. Dana tersebut antara lain berasal dari Oewang Borg (tabungan) penduduk di Solo, Boyolali dan sekitarnya. Kemudian dari Kassier Hadji Joesoep di Solo, lalu derma dari lid (anggota) BUS (Tjelengan di Solo), dan yang paling besar yakni pendapatan dari Lijst Derma sebanyak f 742.87 (gulden).

Ini menjadi bukti organisasi NU didirikan dan dikembangkan atas dasar kemandirian dan partisipasi dari warga, bukan pemerintah Kolonial Hindia Belanda. NU memang dikenal sebagai salah satu organisasi yang bersikap sangat antipati terhadap penjajah. Sikap keras tersebut, seperti yang diperlihatkan dari seorang ulama di Solo, KH Masyhud, yang melarang keluarga serta santrinya agar tidak menjadi ambtenaar (pegawai pemerintah Hindia Belanda).

Kota Solo sendiri meski ditunjuk menjadi tuan rumah, namun sebetulnya organisasi NU di Kota Bengawan tersebut belum berkembang pesat. Seperti yang termaktub dalam buku Poeteosan Congres Nahdlatoel ‘Oelama’ ka 10 di Solo Soerakarta Tanggal 13-19 April 1935 yang diterbitkan oleh Hoofd-Bestuur Nahdlatoel Oelama’ (HBNO).
 
Baca juga:

Di depan forum Muktamar, perwakilan dari NU Solo Kiai Masruri menerangkan, perkembangan NU di Kota Solo pada waktu itu belum terlalu maju, karena beberapa hal. Namun, telah memiliki Madrasah Ibtidaiyah yang siswanya berjumlah enam puluh dua. Kemudian, juga telah mendirikan 3 kring, yakni Salam, Margoyoso, dan Sawo Boto.

Berbeda dengan Solo, dua cabang yang telah berdiri di wilayah Surakarta lainnya, Boyolali dan Klaten justru mengalami perkembangan yang lebih baik. NU Klaten yang diwakili oleh KH Abdul Mannan menerangkan perkembangan NU di sana. Saat itu, NU Klaten telah memiliki 300 anggota, 3 kring, 1 madrasah yang memiliki 100 murid, 20 mubalighin dan 10 mubalighat. Kemudian, setiap malam Selasa terdapat jadwal Nasihin, dan Jumat siang jadwal Nasihat (kaum perempuan). Juga ianah syahriah yang telah mencukupi dan bahkan mampu setor kepada HBNO.

Dari semua cabang yang ada di Wilayah Karesidenan Surakarta, NU Boyolali lah yang paling maju. Dilaporkan oleh Tuan Haji Utsman, saat itu, NU Boyolali telah memiliki anggota berjumlah 1405 orang. Kemudian memiliki 25 kring, 6 madrasah, dan mengurus 13 masjid. Juga mengadakan kursus/pelatihan untuk kaum ibu setiap malam Ahad dan kursus Nasihin setiap malam Kamis.

Hasil Putusan Muktamar

Beberapa poin penting yang dibahas dan diputuskan pada Muktamar ke-10 tersebut antara lain mengesahkan peraturan dasar dan peraturan rumah tangga (PD/PRT) wadah pemuda Ansor Nahdlatoel Oelama’ (ANO) yang berdiri pada tahun 1934, serta membentuk sebuah komisi untuk mengawal pendirian ANO yang terdiri dari : KH Tohir (Surabaya), KH Mahfud Siddik (Jember), Kiai Abdullah Obeid (Surabaya), Kiai Adnan (Gresik), dan KH Abdul Wahab Hasbullah (Surabaya).

Selain itu, yang tidak kalah penting, yakni terdapat keputusan yang menegaskan dukungan untuk Madrasah Mambaul Ulum. Dukungan ini menjadi penting, ketika pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan peraturan tentang pengangkatan pejabat yang berwenang mengurus soal agama Islam. Bagi para ulama NU, keberadaan Mambaul Ulum perlu dipertahankan sebagai salah satu lembaga pendidikan untuk mencetak calon tenaga penghulu Landraad dan Raad Agama.

Dukungan NU kepada Mambaul Ulum ini pun tepat. Sebab keberadaan Madrasah Mambaul Ulum pada masa itu telah memberikan dampak yang luas, di mana ia tidak hanya menjadi tempat untuk mengajarkan agama Islam semata. Lebih dari itu, keberadaannya memiliki fungsi.

Pertama, pengingat keanekaragaman kepercayaan dan sistem nilai. Kedua, berperan dalam membangun identitas Islam di Hindia Belanda. Ketiga, aparatur ideologi Islam terpenting untuk menjawab diskriminasi dan penindasan yang dilakukan pemerintah Belanda. Keempat, benteng perjuangan terakhir untuk mempertahankan eksistensi masyarakat Islam di Hindia Belanda.

Setelah hampir seminggu di Kota Surakarta, pada akhirnya waktu jua yang membatasi para muktamirin untuk membahas pelbagai persoalan yang ada. Sebelum pulang, mereka mengikuti prosesi penutupan yang dilangsungkan di Masjid Agung Surakarta dengan acara Pengajian Akbar yang diisi oleh KH Fakih Maskumambang dari Gresik Jawa Timur.

Penulis: Ajie Najmuddin
Editor: Fathoni Ahmad