Sejarah mencatat bahwa ulama-ulama pesantren kerap melakukan upaya-upaya batin setiap membuat keputusan-keputusan penting. Upaya batin tersebut di antaranya dilakukan melalui shalat istikhoroh, puasa, istighotsah, wirid, dzikir, tahlil, dan membaca shalawat. Shalawat yang dibaca oleh para kiai juga beragam, shalawat nariyah, shalawat badar, shalawat asyghil, dan lain-lain.
Di antara keputusan-keputusan penting yang tidak terlepas dari upaya batin untuk meminta petunjuk langit ialah saat Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari berdoa di Multazam ketika hendak kembali ke Indonesia untuk berjuang mensyiarkan Islam dan melepaskan rakyat dari kungkungan penjajahan.
Selain itu, penyepuhan bambu runcing dengan yang dilakukan oleh KH Subchi Parakan untuk perjuangan rakyat Indonesia, saat KH Hasyim Asy’ari hendak mendirikan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, saat KH Ridwan Abdullah melakukan istikhoroh untuk merancang lambang NU, saat KH Hasyim Asy’ari melakukan tirakat dalam mentashhih rumusan Pancasila, termasuk ketika KH Hasyim meminta petunjuk Allah SWT saat dimintai kapan waktu yang tepat untuk memproklamasikan kemerdekaan RI.
Setidaknya, hal itu merupakan fakta sejarah yang terlihat walaupun banyak informasi-informasi sejarah lain yang bisa ditelusuri terkait upaya batin para kiai NU dalam meminta petunjuk langit. Dalam meminta petunjuk langit, para kiai tidak lepas dari teladan Nabi Muhammad SAW. Kala itu, Rasulullah dan para sahabatnya melakukan doa bersama (istighotsah) menjelang Perang Badar.
Menilik kelahiran NU, juga tidak hanya melalui upaya-upaya lahir dengan berbagai pertimbangan kuat, tetapi juga meminta petunjuk langit, terutama ketika KH Hasyim Asy’ari berinteraksi langsung secara batin dengan gurunya, KH Cholil Bangkalan.
Di berbagai literatur yang menjelaskan tentang sejarah pendirian Nahdlatul Ulama (NU), KH Cholil Bangkalan Madura (1820-1923) mempunyai peran strategis. Peran tersebut terjadi ketika KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947) hendak meminta petunjuk kepada Mbah Cholil terkait gagasan para kiai pesantren untuk mendirikan sebuah organisasi ulama.
Kala itu, KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) sekitar tahun 1924 menggagas pendirian jam’iyyah yang langsung disampaikan kepada Mbah Hasyim Asy’ari untuk meminta persetujuan. Namun, Mbah Hasyim tidak lantas menyetujui terlebih dahulu sebelum ia melakukan sholat istikhoroh untuk meminta petunjuk kepada Allah SWT.
Sikap bijaksana dan kehati-hatian Kiai Hasyim Asy’ari dalam menyambut permintaan Mbah Wahab Chasbullah juga dilandasi oleh berbagai hal. Di antaranya, Kiai Wahab menyadari bahwa posisi Mbah Hasyim saat itu lebih dikenal sebagai Bapak seluruh umat Islam Indonesia (Jawa). Mbah Hasyim juga menjadi tempat meminta nasihat bagi para tokoh pergerakan nasional dari berbagai latar belakang. Sehingga ide untuk mendirikan sebuah organisasi harus dikaji secara mendalam.
Hasil dari istikhoroh Mbah Hasyim dikisahkan oleh KH Raden As’ad Syamsul Arifin (1897-1990) Situbondo. Kiai As’ad mengungkapkan, petunjuk hasil dari istikhoroh Mbah Hasyim justru tidak jatuh ditangannya untuk mengambil keputusan, melainkan diterima oleh KH Cholil Bangkalan, yang juga guru Mbah Hasyim dan Mbah Wahab.
Dari petunjuk tersebut, As’ad muda yang ketika itu menjadi santri Mbah Cholil Bangkalan berperan sebagai mediator antara Mbah Cholil dan Mbah Hasyim. Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU (2010) menjelaskan, ada dua petunjuk yang harus dilaksanakan oleh As’ad sebagai penghubung atau wasilah untuk menyampaikan amanah Mbah Cholil kepada Mbah Hasyim Asy’ari.
Hal itu merupakan bentuk komitmen dan takzim santri kepada gurunya apalagi terkait persoalan-persoalan penting dan strategis. Ditambah tidak mudahnya bolak-balik dari Bangkalan ke Tebuireng di tengah situasi penjajahan saat itu.
Petunjuk pertama, pada akhir tahun 1924 santri As’ad diminta oleh Mbah Cholil untuk mengantarkan sebuah tongkat ke Tebuireng. Penyampaian tongkat tersebut disertai seperangkat ayat Al-Qur’an Surat Thaha ayat 17-23 yang menceritakan Mukjizat Nabi Musa.
Petunjuk kedua, kali ini akhir tahun 1925 santri As’ad kembali diutus Mbah Cholil untuk mengantarkan seuntai tasbih lengkap dengan bacaan Asmaul Husna (Ya Jabbar, Ya Qahhar. Berarti menyebut nama Tuhan Yang Maha Perkasa) ke tempat yang sama dan ditujukan kepada orang sama yaitu Mbah Hasyim.
Setibanya di Tebuireng, santri As’ad menyampaikan tasbih yang dikalungkannya dan mempersilakan Mbah Hasyim untuk mengambilnya sendiri dari leher As’ad. Bukan As’ad bermaksud tidak ingin mengambilkannya untuk Mbah Hasyim, melainkan As’ad tidak ingin menyentuh tasbih sebagai amanah dari Mbah Cholil kepada Mbah Hasyim. Sebab itu, tasbih tidak tersentuh sedikit pun oleh tangan As’ad sepanjang perjalanan dari Bangkalan ke Tebuireng.
Setelah tasbih diambil, Mbah Hasyim bertanya kepada As’ad: “Apakah ada pesan lain lagi dari Bangkalan?” Kontan As’ad hanya menjawab: “Ya Jabbar, Ya Qahhar”, dua asmaul husna tarsebut diulang oleh As’ad hingga tiga kali sesuai pesan sang guru. Mbah Hasyim Asy’ari kemudian berkata, “Allah SWT telah memperbolehkan kita untuk mendirikan jam’iyyah”.
Dari proses lahir dan batin yang cukup panjang itu menggamabarkan bahwa liku-liku lahirnya NU tidak banyak bertumpu pada perangkat formal sebagaimana lazimnya pembentukan organisasi. NU lahir berdasarkan petunjuk Allah SWT. Di sini fungsi ide dan gagasan tidak terlihat mendominasi meskipun tetap mejadi pijakan penting. Faktor penentu adalah konfirmasi kepada Allah SWT melalui ikhtiar lahir dan batin. (Fathoni)