Saat Kiai di Situbondo dan Bondowoso Gelisah soal Penerimaan Asas Tunggal Pancasila
Kamis, 1 Juni 2023 | 07:00 WIB
Munas Alim Ulama NU tahun 1983 di Situbondo, Jawa Timur telah mengisyaratkan penerimaan NU terhadap Asas Tunggal Pancasila yang diwajibkan oleh pemerintah. Dituangkan dalam ‘Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila Dengan Islam’ yang ditandatangani oleh para kiai.
Namun kenyataannya tidak bisa sesimpel itu. Para kiai di kalangan ‘elite’ NU mungkin bisa memahami, namun para kiai di tingkat akar rumput masih gamang dan gelisah.
Waktu itu tahun 1984, setahun setelah munas, draf UU tentang kewajiban setiap Organisasi Keagamaan (Ormas) dan Organisasi Sosial Politik (Orsospol) untuk berasas Pancasila sudah hampir pasti disahkan menjadi UU. Tinggal menunggu waktu.
Bagi organisasi sekuler tentu saja tidak masalah menerima Pancasila sebagai asas. Namun lain halnya dengan organisasi berbasis keagamaan seperti NU. NU adalah organisasi berdasarkan akidah dan syariat Islam. Asasnya Al-Qur'an dan As-Sunnah dan segala perangkat untuk memahaminya seperti ijma dan qiyas.
Sementara perdebatan bergulir di internal organisasi, tekanan semakin meningkat pada NU untuk segera menentukan sikap. Munas NU 1983 bisa dikatakan sebagai ‘manuver awal’ NU yang sedang berenang di air panas, sambil terus berembuk tentang sikap apa yang harus diambil.
Dalam upaya menavigasi air panas ini, KH Raden As’ad Syamsul Arifin berupaya mendinginkan. Kegelisahan tak terkecuali juga dirasakan oleh kiai-kiai muda Bondowoso, kota yang berjarak hanya 2 jam dari pusat pergulatan NU dan Pancasila di Asembagus Situbondo.
Ketua PCNU Bondowoso, KH Husnan Toha di suatu malam sedang dikonfrontir oleh anggota-anggotanya. Mempertanyakan soal hasil Munas 1983 dan kecenderungan NU untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal, yang menurut mereka akan menjungkalkan NU dari rel ideologisnya selama ini.
Ketua MWCNU Kecamatan Grujugan, Ahmad Dhafir, mewakili keresahan kawan-kawannya “Golkar sudah asas Pancasila, PDI juga mengadopsi asas Pancasila. Kalau NU dan PPP juga ikut-ikutan mengadopsi Pancasila, maka apa bedanya kita dengan mereka yai?” tanya Dhafir.
KH Husnan hanya manggut-manggut ia memahami keresahan anggotanya. Kalau semuanya patang gedabyah berasas Pancasila, maka keberadaan NU dan PPP sebagai mesin politik umat muslim akan menjadi redundan. NU yang sejak awal berasaskan Islam akan kehilangan jati diri sekaligus para pemilih-nya.
“Sebaiknya memang harus kita tanyakan langsung pada Kiai As’ad. Saya rasa tidak ada yang bisa menjelaskan perkara ini sebaik beliau,” sambung Kiai Husnan.
“Betul, apalagi sudah ada kasak-kusuk bahwa asas tunggal Pancasila akan ditetapkan pada Muktamar tahun depan,” timpal yang lain.
Selepas pertemuan tersebut, Kiai Husnan lantas menelepon Ketua PCNU Situbondo, KH Syahrawi. Minta di matur-kan ke Kiai As’ad bahwa kawan-kawan PCNU Bondowoso ingin menghadap.
Beberapa hari kemudian, Kiai Syahrawi menelepon Kiai Husnan, “Kiai As’ad bisa menerima teman-teman PCNU sehabis dhuhur di Kantor PCNU Situbondo,” katanya.
Ahmad Dhafir, saat bercerita kepada penulis, mengaku tidak ingat tanggal pertemuan tersebut. Namun, perbincangan yang terjadi di kantor PCNU depan terminal Situbondo tersebut menurutnya adalah salah satu even krusial dalam perumusan hubungan NU dan Pancasila.
Sehabis shalat dhuhur, KHR As’ad Syamsul Arifin rawuh diantar supirnya Pak Azis dan putranya Fawaid As’ad. Duduk dengan penuh wibawa menghadap ke utara. Sementara Fawaid kecil bermain-main di sekitar kursi ayahnya.
Di seberang beliau duduk berjejer Kiai Syahrawi, Kiai Husnan Toha, Kiai Ghozali Syukri dan Muammar Zain anggota DPRD Situbondo dan petinggi partai PPP. Disertai beberapa tokoh NU Bondowoso dan Situbondo.
“Demikian keresahan dari teman-teman di bawah, Man Toan (paman). Ngapunten apakah sudah dipertimbangkan betul untuk NU menerima asas tunggal Pancasila?” ucap Kiai Syahrawi dengan hati-hati.
“Loh,” kata Kiai As’ad, sedikit tersentak dari tempat duduknya, sehabis mendengar unek-unek dari para kiai-kiai muda tersebut, “Itu bukan pendapatnya As’ad, cong!”
Kiai yang juga dikenal sebagai komandan perang gerilya ulung tersebut lantas bercerita tentang prosesnya mengontemplasi dan mencoba menjembatani antara Islam dan Pancasila selama beberapa tahun terakhir.
“Aku itu keliling, cong. Sowan ke ulama-ulama. Ke Sumberwringin, Kiai Siddiq Jember, ke Kiai Hasan Genggong, Sidogiri, Lirboyo, Krapyak. Ke Kiai Idham Chalid, aku berembuk dengan ulama-ulama se-Jawa dan Madura.”
Ruangan hening mendengarkan rentetan dawuh dari salah satu kiai kharismatik tersebut. Namun, yang mereka dengar selanjutnya malah semakin membuat kaget.
“Tidak cukup itu, Cong,” Kiai As’ad melanjutkan, “Aku sadar ini istikharahnya tidak bisa sembarangan. Ini menyangkut masa depan NU. Aku sadar bahwa kita juga butuh dawuh dari yang punya Islam itu sendiri. Jadi aku tugaskan Sufyan untuk sowan ke Madinah,” Jelas Kiai As’ad.
Ada perubahan di muka para kiai muda Bondowoso dan Situbondo mendengar nama tersebut. Sufyan yang dimaksud tidak lain tidak bukan adalah Kiai Sufyan Miftahul Arifin, pengasuh Pondok Pesantren Sumber Bunga Seletreng, Situbondo. Kiai yang masyhur diselimuti kisah-kisah karomah yang di luar nalar.
“Saya sendiri jangankan pernah melihat, mendengar nama Kiai Sufyan baru sekali itu saja,” tutur Ahmad Dhafir kepada penulis.
“Kalau bukan Sufyan cong, beeh…” Kiai As’ad berseloroh “Tak kera olleh dhebu (Madura: tidak akan bisa mendapatkan petuah). Aku menyuruh orang yang paradduh (kanggo, dianggap) ke Kanjeng Nabi.”
“Kalau aku nyuruh kiai-kiai lain, lha wong (maaf) kotorannya aja sebesar dengkul,” kelakar beliau. Yang dimaksud dengan ‘kotoran besar’ merujuk pada para kiai yang tidak zuhud dalam hal makan dan minum.
“Lebih besar dari ini!” Sambil tertawa, Kiai As’ad mencabut satu buah pisang yang jadi suguhan lantas memberikannya pada Kiai Syahrawi dan Husnan. Para kiai muda yang sejak tadi tegang mendengarkan dawuh Kiai As'ad dan belum sempat menyentuh suguhan. “Ayo-ayo dimakan,” kata Kiai As'ad mempersilakan.
Lepas dari pertemuan tersebut, Dhafir masih bertanya-tanya soal sosok misterius bernama Sufyan, apa yang dimaksud ‘sowan’ ke Madinah. Apakah cuma istikharah saja, atau jangan-jangan bertemu Nabi betulan? Termasuk, dawuh apa yang diberikan oleh Kanjeng Nabi sebagai feedback atas konsultasi Sufyan?
“Tapi bertahun-tahun kemudian, saya renungkan, saya menjadi yakin bahwa Kiai Sufyan ke Madinah tidak sekedar istikharah, tapi benar-benar sowan dan berjumpa dengan nabi. Muy tamuyan (Madura: berbincang, ngobrol,Red),” tutur Dhafir.
Dari kisah tersebut, kata Dhafir, dirinya dan para pengurus NU di zaman itu menarik sebuah hikmah tentang bagaimana tingginya kualitas ijtihad para kiai. Sehingga NU dan Pancasila bisa terus harmonis sampai sekarang.
“Akhirnya disepakati bahwa NU 'menerima' Asas Tunggal Pancasila. Bukan berarti NU ber-asas tunggal Pancasila. Asasnya tetap Islam. Tapi ditegaskan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam,” tuturnya.
Lebih-lebih peran Kiai As’ad yang Dhafir sebut sebagai penyelamat. “Pilihan terbaik, karena kalau NU tidak mau menerima asas tunggal Pancasila, maka NU bisa dibubarkan,” pungkasnya.
Taufiqur Rahman, jurnalis
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua