Patoni
Penulis
Memberontak atau bughot terhadap pemerintahan yang sah merupakan perbuatan yang dilarang agama karena kerap menimbulkan perpecahan, kerusuhan, dan korban jiwa. Berbeda dengan mengkritik yang justru diperlukan untuk memberikan rambu-rambu terhadap setiap kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat banyak. Hal ini juga berbeda dengan memerangi pemerintahan kolonial yang jelas-jelas bersifat menindas.
Sejarah pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah pernah dilakukan oleh sejumlah kelompok, baik dari PKI, DI/TII, dan PRRI/Permesta. Nahdlatul Ulama sebagai organisasi yang sejak awal mempunyai komitmen kebangsaan tinggi berada di garda terdepan untuk menolak dan melawan upaya-upaya bughot, tak terkecuali dari kelompok Islam konservatif.
Komitmen untuk memperteguh kehidupan bangsa dan negara diwujudkan NU dengan tetap melawan kolonialisme hingga lahirnya negara Indonesia. Kala itu, tidak sedikit kelompok yang memberontak (bughot) karena menuntut didirikannya negara Islam. Seperti yang dilakukan oleh SM Kartosoewirjo dengan DI/TII-nya.
Meskipun termasuk organisasi Islam, NU dengan tegas menolak karena bagi ulama-ulama pesantren, bangsa Indonesia telah memiliki daulah Indonesia berdasarkan Pancasila yang memuat secara rinci nilai-nilai dalam ajaran Islam, termasuk mempertegas Ketuhanan Yang Maha Esa yang dalam Islam dikenal sebagai konsep Tauhid.
NU menolak kepemimpinan Kartosoewirjo dengan jalan mengangkat kepemimpinan Presiden Soekarno dan mengukuhkannya sebagai waliyul amri ad-dharuri bissyaukah, penguasa sah yang secara darurat bisa dianggap sebagai pemimpin umat Islam. Dengan keputusan tersebut, pemberontakan DI/TII bisa dilumpuhkan.
Abdul Mun’im DZ dalam Fragmen Sejarah NU (2017) menegaskan bahwa NU adalah organisasi Islam yang berakar pada budaya masyarakat setempat sehingga senantiasa mampu beradaptasi dengan sistem yang berkembang di masyarakat. Ketika semangat kebangsaan mulai bangkit, NU menegaskan diri sebagai organisasi yang berwawasan kebangsaan.
Sikap tersebut dipertegas dalam Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1936. Dalam Muktamar tersebut, NU menerima Hindia-Belanda (Indonesia) sebagai Darul Islam. Darul Islam yang dimaksud NU bukan berarti daulah Islamiyah (pemerintahan Islam), melainkan dalam pengertian walayahul Islamiyah (daerah Islam).
Keputusan tersebut diambil karena mayoritas penduduk Nusantara adalah Muslim dan selama beberapa abad dikuasai oleh kerajaan Muslim sehingga terbentuk masyarakat Islam dan budaya Islam. Pandangan NU tentu berbeda dengan DI/TII yang tetap berkeras dengan model formalisasi Islam dalam sistem pemerintahan sehingga akhirnya melakukan bughot.
Sebab itu, darul Islam dalam pandangan NU bukanlah negara Islam tetapi sebuah wilayah yang ditempati oleh umat Islam. Karena saat itu Indonesia sedang terjajah, maka umat Islam yang sejak dulu berada di wilayah Islam yaitu Indonesia wajib melawan penjajahan Belanda. Bukan atas dasar kepentingan agama Islam semata, melainkan untuk kepentingan bangsa Indonesia dari ketidakperikemanusiaan penjajah.
Penjajahan hanya numpang di permukaan, sementara basis masyarakatnya masih berbasis Nusantara dan basis Islam. Dalam pengertian itulah Indonesia ditetapkan sebagai darul Islam, yaitu wilayah yang dihuni oleh umat Islam, bukan dalam artian negara Islam.
Mengenai cita-cita Indonesia sebagai negara bangsa, sebagaimana yang telah dirumuskan oleh para aktivis pergerakan pemuda tahun 1928 sudah memenuhi aspirasi umat Islam. Karena di dalamnya ada jaminan bagi umat Islam untuk mengajarkan dan menjalankan agamanya secara bebas.
Dengan demikian, umat Islam tidak perlu membuat negara dalam bentuk lain, karena negara bangsa yang dirumuskan telah memenuhi aspirasi Islam. Saat itu Indonesia sedang dijajah Belanda, sehingga dikategorikan sebagai darul harb (daerah jajahan) atau dalam bahasa militernya sebagai terra bellica (daerah perang) yang harus diperjuangkan agar menjadi terra liberium (daerah merdeka).
Dengan langkah itu baru bisa diwujudkan darus salam (daerah yang aman) yang keamanan dan kesejahteraannya bisa dicapai melalui perjuangan bersama. Perjuangan bersama melibatkan seluruh elemen bangsa, tidak hanya umat Islam sehingga negara bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia senantiasa diperjuangkan NU dari setiap pemberontakan dalam bentuk apapun terhadap pemerintahan yang sah.
Negara ini milik bersama yang dicapai melalui perjuangan bersama sehingga harus dimajukan secara bersama-sama. Kesetiaan NU terhadap negara bangsa terus-menerus ditegaskan dari masa ke masa, terutama saat negeri ini mendapat ancaman.
Dari tekad dan upaya yang terus berusaha menjaga Pancasila dan UUD 1945 membuat NU jadi kelompok Islam yang kerap berhadapan dengan para pemberontak yang ingin mengubah dasar negara. Argumentasi teologis, sosial, dan budaya yang diperkuat NU dalam memahami kehidupan berbangsa dan bernegara seringkali membuat para pemberontak kesusahan. Apalagi komitmen pergerakan NU dalam menghadang dan menumpas keganasan para pemberontak.
Pada rentang tahun 1957-1959, Majelis Konstituante memang sedang membahas rancangan dasar negara. PKI masuk dalam faksi Pancasila. Namun, dasar negara Pancasila yang PKI perjuangkan hanya kamuflase politik karena yang diperjuangkan justru materialisme historis yang ateis.
KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013) mengungkapkan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa yang termaktub dalam sila pertama dalam Pancasila ingin diubah menjadi “Kemerdekaan Beragama” oleh PKI. Padahal, “Kemerdekaan Beragama” merupakan esensi dasar demokrasi Pancasila. Pemerintah Indonesia menganjurkan setiap warga negara memeluk agama dan menjalankannya berdasar keyakinan masing-masing.
Upaya penjajahan dalam bentuk lain yang dilakukan PKI, pertama bisa dilihat dari usaha penetrasi ideologi komunis. Kedua, PKI melakukan pemberontakan fisik. Upaya bughot yang dilakukan PKI menelan banyak nyawa, termasuk dari kalangan NU yang sedari awal berjuang melawan ideologi komunis. NU melakukan perlawanan terhadap PKI di medan politik dan di lapangan selama kurun waktu 17 tahun.
Terkait penetrasi ideologi komunis, Abdul Mun’im DZ dalam Benturan NU-PKI 1948-1965 tidak terlepas dari perang global saat itu, yaitu Perang Dunia II. Marxisme merupakan pemikiran yang lahir dari filsafat Barat yang berjuang melawan perkembangan kapitalisme. Namun, keduanya lahir dari budaya yang sama, keduanya sama-sama ateis dan materialis.
Karena itu, sekeras apapun permusuhan kedua saudara sekandung tersebut bisa ketemu dan saling bergandengan bahu-membahu. Kapitalisme dan imperialisme Barat bisa bergandengan tangan dengan komunisme Soviet dalam menghadapi fasisme Nazi, Jepang, dan Italia dalam Perang Dunia II. Begitu juga dengan kolonialisme Belanda yang kapitalis itu bisa bekerja sama dengan komunisme yang sosialis dalam menghadapi Jepang dan dalam pemberontakan Madiun.
Bahkan jauh sebelumnya, Pendiri NU Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari pada 1947 mengingatkan bahaya ajaran materialisme historis yang ateis itu bagi bangsa Indonesia. Karena konsep yang sedang dikembangkan secara gencar oleh PKI yaitu menyerukan pengingkaran terhadap agama dan pengingkaran terhadap adanya akhirat. (Lihat Naskah Khotbah Iftitah KH Hasyim Asy’ari pada Muktamar ke-14 NU di Madiun tahun 1947)
Terkait strategi dalam menghadapi PKI itu ditegaskan kembali oleh KH Saifuddin Zuhri (2013: 502) dalam sebuah tulisannya yang menyatakan bahwa: “Dengan dalil agama sebagai unsur mutlak dalam nation building, maka kita dapat menyingkirkan kiprah PKI di mana-mana. Bahkan kita bisa menumpas segala bentuk ateisme, baik ateisme yang melahirkan komunisme maupun ateisme yang melahirkan kapitalisme, liberalisme, atau fasisme. Setiap ideologi yang berbahaya tidak hanya bisa dilawan dengan kekerasan dan senjata, tetapi juga harus dihadapi dengan kesadaran beragama.”
Karena dari awal sudah memahami gerak-gerik PKI dengan komunismenya, tidak sulit bagi NU untuk mengidentifikasi siapa dalang dari pemberontakan Gerakan 30 September 1965 (G 30 S) di Madiun dan di beberapa daerah dengan melakukan penculikan dan perbuatan sadis lainnya.
Sebab saat itu, belum banyak yang mengetahui siapa dalang bughot tersebut. NU mengidentifikasi bahwa percobaan perebutan kekuasaan melalui pemberontakan fisik didalangi oleh PKI. Karena itu, pada tanggal 3 Oktober 1965, ketika banyak orang belum mengetahui siapa dalang G 30 S, NU telah menuntut agar pemerintah membubarkan PKI.
Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Muchlishon
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua