Fragmen

Tokoh-Tokoh yang Hadir saat Deklarasi Resolusi Jihad NU 1945

Selasa, 22 Oktober 2024 | 05:19 WIB

Tokoh-Tokoh yang Hadir saat Deklarasi Resolusi Jihad NU 1945

Musyawarah tokoh-tokoh NU sebelum deklarasi Resolusi Jihad 1945 (Ilustrasi: NU Online)

Sejak tahun 2015 lalu, tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri. Pada saat itu, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri, yang belakangan juga kerap disebut sebagai Hari Santri Nasional.

Salah satu pertimbangan dikeluarkannya Keppres Nomor 22 Tahun 2015 tersebut yakni merujuk pada ditetapkannya seruan resolusi jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 oleh para santri dan ulama pondok pesantren dari berbagai penjuru Indonesia yang mewajibkan setiap Muslim untuk membela tanah air dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari serangan penjajah.


Resolusi jihad tersebut merupakan hasil dari rapat yang diselenggarakan oleh Pengoeroes Besar Nahdlatoel-'Oelama' (PBNO atau dalam ejaan sekarang disebut PBNU) bersama perwakilan dari Majelis Konsul Nahdlatul Ulama atau kini disebut sebagai Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU).


KH Saifuddin Zuhri yang menjadi salah satu pelaku sejarah pada pertemuan di Surabaya tersebut, menulis dalam buku Berangkat dari Pesantren (LKiS, 2013, hlm 318-323) tentang kenangannya saat menerima undangan untuk hadir di Surabaya pada tanggal 21 Oktober 1945.


Situasinya saat itu, menurut Kiai Saifuddin, tidak semua perwakilan Konsul dapat berangkat, sebab setelah Jepang menyerah, Jawa, Sumatera, dan Bali diduduki Inggris dan kepulauan yang lain diduduki Australia, keduanya atas nama tentara sekutu. Oleh karena itu, hanya Konsul dari wilayah Jawa dan Madura yang dapat menghadiri undangan tersebut.


Dari data yang dimiliki penulis, dikutip dari salinan daftar Pengoeroes Besar Nahdlatoel-'Oelama' Diperoentoekkan Tjabang-tjabang Nahdlatoel-'Oelama' seloeroehnja (Tjetak Nahdlatoel-'Oelama', 1944) Nama-nama wakil Konsul PBNU di wilayah Jawa dan Madura, yakni:

1. KH Ghoefron (Surabaya)
2. KH Masjkoer (Malang)
3. KH Abd. Chalim Siddiq (Besuki)
4. KH Moenif (Madura)
5. KH Moechsin (Kediri)
6. H M Asj'ari (Madiun)
7. KH Abd. Karim (Bojonegoro)
8. KH Abdoeldjalil (Pati)
9. KH Chambali (Semarang)
10. KH Djouhar (Solo)
11. Saifoeddin Zuhri (Kedu)
12. KH M Iljas (Pekalongan)
13. M Masna (Cirebon)
14. M Soetisna Sendjaja (Priangan)
15. Zainal Arifin (Jakarta, Bogor, Banten)
16. R H Moechtar (Banyumas)


Bila kita perhatikan, nama-nama daerah tersebut merupakan nama-nama daerah setingkat keresidenan, yang di masa pendudukan Jepang disebut dengan istilah Syuu. PBNU kemudian memodifikasi pembagian pengurus Konsul, menyesuaikan pada perubahan pembagian wilayah di masa tersebut.


Lalu, yang menjadi pertanyaan, siapa saja tokoh-tokoh yang mengikuti rapat di Surabaya pada tanggal 21-22 Oktober 1945, yang kemudian menghasilkan seruan resolusi jihad? Bila ada yang mengungkap daftar hadir dalam rapat tersebut, tentu akan menjadi salah satu dokumen sangat penting, baik bagi Indonesia maupun NU.


Namun, bila belum ditemukan daftar hadir tersebut, mengacu pada tulisan KH Saifuddin Zuhri, mengenai rapat PBNU yang diperlengkapi dengan konsul-konsul seluruh Jawa dan Madura, maka bisa kita buat daftar sebagai berikut (mengacu pada daftar PBNU dan Konsul di masa tersebut):


1. PBNU
Syuriah: KH Hasjim Asj'arie (Rais Akbar/ Pimpinan Umum) KH A Wahab Chasboellah (Rais/penanggung jawab), KH Abdoellah Faqih (Ketua muda), KH Bisri Sansuri (Wk Ketua) K Abdoelmanab (Penulis I), K Abdoelmoein (Penulis II), KH Ridlwan Abdoellah, KH Nachrawi Thohir, KH Choezaimi, KH Abdoelchamid, dan KH Sjoekri Ghozali (A'wan)


Tanfidziyah: KH Dachlan (Ketua muda), Wk Ketua (KH M Noer), M Thamanoe (Penulis I), A Latif (Penulis II), KH A Wachid Hasjim, KH Ghoefron, KH Sahal Mansoer, H M Mansoer, KH Masjkoer, dan KRH Alioeridlo (anggota)


Semua pengurus di atas, berasal dari Jawa Timur seperti Jombang, Gresik, Surabaya, Malang, Pasuruan, Bangil, dan Pamekasan. Kantor PBNU sendiri saat itu juga masih terletak di Surabaya.


2. Perwakilan Majelis Konsul NU se Jawa dan Madura
Selain nama-nama Majelis Konsul yang telah disebutkan di atas, terdapat beberapa nama yang ikut mendampingi. Semisal dalam buku Berangkat dari Pesantren disebutkan beberapa nama seperti H Zuhdi yang mendampingi R H Mukhtar dari Konsul NU Banyumas. Kemudian KH Jamil (Ketua PCNU Purworejo) yang menemani KH Saifuddin Zuhri (Konsul NU Kedu).


Tentu masih banyak nama-nama lain yang belum disebutkan oleh KH Saifuddin Zuhri dalam bukunya tersebut. Sebab, bila dari Kedu dan Banyumas setidaknya ada 2 perwakilan yang hadir, tentu dari daerah lain pun juga sama. Sayangnya nama-nama wakil Konsul NU yang hadir ini belum bisa didapatkan sepenuhnya.


3. Pengurus Ansoru Nahdlatil Oelama (ANO)
Rapat yang mencetuskan resolusi jihad ini diselenggarakan di kantor Pengurus Besar ANO di Jalan Bubutan 6/2 Surabaya. Tentu besar kemungkinan ikut hadir perwakilan dari PB Ansor NO saat itu, seperti KH Thohir Bakri (Ketua) yang ikut disebutkan dalam buku Berangkat dari Pesantren dan pengurus lainnya yang mengikuti jalannya rapat atau mungkin hanya sekadar ikut berjaga (ngepam) di sekitar kantor.


Isi Resolusi Jihad
Rapat yang diikuti oleh seluruh ulama anggota syuriah-tanfidziyah, dan para konsul NU se Jawa dan Madura dipimpin oleh KH Abdul Wahab Chasbullah. Setelah mendengar amanat dari Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'ari, yakni berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban berjihad mempertahankan kemerdekaan tanah air dan bangsa, rapat menyimpulkan satu keputusan dalam bentuk resolusi, dan diberi nama Resolusi Jihad, dengan perincian sebagai berikut:

Pertama, kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan.

Kedua, Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintah yang sah wajib dibela dan dipertahankan. 

Ketiga, musuh Republik Indonesia, terutama Belanda yang datang dengan membonceng tentara Sekutu (Inggris), dalam masalah tawanan perang bangsa Jepang, tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia.


Keempat, umat Islam terutama NU wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia. 


Kelima, kewajiban tersebut adalah suatu jihad yang menjadi kewajiban tiap orang Islam (fardhu 'ain) yang berada pada jarak radius 94 km. Adapun mereka yang berada di luar jarak tersebut, berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak radius 94 km itu.


Begitulah, seruan Resolusi Jihad berkumandang ke segenap penjuru tanah air. Melecut semangat kepada para pasukan dari kaum santri, yang saat itu banyak tergabung di Barisan Hizbullah dan Sabilillah. Terutama di Surabaya, yang kemudian pecah peristiwa Perang 10 November 1945. Peristiwa heroik yang hingga kini kita kenang dengan sebutan Hari Pahlawan. Lahumul fatihah.


Ajie Najmuddin, peminat sejarah, penulis buku "Menyambut Satu Abad NU 'Sejarah dan Refleksi Perjuangan Nahdlatul Ulama Surakarta dan Sekitarnya"