Hamzah Sahal
Penulis
Subuh buta, pekan kemarin, ada telepon 'konvensional' (Maksudnya pakai nomor biasa, tidak melalu WA). Tidak muncul nama si penelepon. Sebab subuh-subuh, saya angkat, khawatir ada yang amat penting. Jarang sekali ada orang telepon waktu subuh begitu.
"Zah, Hamzah, di mana kamu?"
"Asslamu'alaikum. Saya di rumah. Ini siapa?"
"Tarom. Muhtarom.." si penelepon menjawab. Itu bukan nama sebenarnya. Setelah menyebut nama, dia menyebut daerahnya, sebuah daerah yang pelosok di Pulau Jawa. Lalu, bertanya lagi, sesuatu yang saya anggap basa-basi dan jelas ini bukan kabar penting. Rasa malas saya muncul. Lah wong subuh-subuh kok bertanya begini, "Katanya dunia sedang berubah cepat?" Semua itu meluncur dalam bahasa Jawa yang medok.
Tetapi saya baru sabar bahwa orang yang mengaku bernama Muhtarom ini seniorku jauh, yang aku kenal lewat seorang teman. Setelah ingat siapa Muhtarom, saya antusias, sambil berjalan ke dapur untuk ambil minum saya bertanya, "Tumben Kiai, telepon saya. Wonten nopo (ada apa)?"
"Lah itu, saya mau tanya, katanya dunia sedang berubah dengan cepat?"
"Lah kok njenengan tanya saya? Kan njenengan yang pernah nasihati saya bahwa dunia itu berubah. Jangan gumun."
"Lah iya, tetapi kata orang-orang perubahannya sangat cepat. Makanya saya tanya sampean yang orang Jakarta." Setelah berkata begitu, dia tertawa-tawa sendiri, agak mengejek saya dengan menyebut Jakarta agak bagaimana gitu.
Saya baru ketemu dua kali dengan kiai yang bernama Muhtarom (sekali lagi ini nama palsu) ini. Tetapi pas musim Corona, kami sering teleponan. Komunikasi jarak jauh agak meningkat setelah Muktamar NU di Bandar Lampung Desember 2021, selesai.
Kiai ini aneh, karena tidak punya nomor rekening, haha. Ya, aneh, hari gini kok tidak punya nomor rekening, padahal usianya juga belum 60. Aku dengar istrinya juga tidak punya nomor rekening. Karena begitu, hampir dipastikan, kiai ini tidak terlalu berhubungan jauh dengan dunia luar.
Dia juga tidak menerima amplop bisyaroh, karena buka tipe kiai yang berceramah ke sana ke mari, bahkan mimpin tahlil atau jadi saksi akad nikah saja (aktivitas yang lumrah untuk "diamplopi") tidak pernah. Penghasilan kiai adalah buka warung kelontong dan menyewakan sepetak sawah kepada petani yang tidak punya sawah.
Kembali pada percakapan kami via telepon. Dia bertanya serius tentang dunia yang berubah cepat. Saya sampaikan kepadanya bahwa perubahan dunia masih seperti yang dia ucapkan kepada saya beberapa tahun lampau.
"Ya biasa aja kiai, ada yang berubah seperti roda, ada yang berubah seperti kepompong, ada yang berubah daun jati. Pokoknya berubah seperti yang sering panjenengan katakan dulu.."
"Khas dunia fana yaa...?" Dia nyaut, diri dengan tawa terkekeh-kekeh dan saya mengimbangi tawa itu.
"Kiai, tapi ada yang tidak berubah!"
"Apa itu, Kang?" dia tanya antusias.
"Panjenengan yang tetap tidak punya nomor rekening!"
Kami tertawa bersama-sama.
Hamzah Sahal, menulis fragmen-fragmen pesantren, menulis dua buku humor: Humor Ngaji Kaum Santri (2004) dan Ulama Bercanda Santri Tertawa (2020). Kini sedang menyiapkan buku humor ketiganya.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua