Internasional

Greg Barton Apresiasi Pesantren Tradisional

Selasa, 25 April 2017 | 08:47 WIB

Lebak, NU Online
Selama dua hari, Sabtu-Ahad (22-23 April 2017), dua sosok penting di Deakin University Australia, yaitu Prof. Greg Barton dan Dr. Matteo Vergani, berkunjung ke tiga pesantren di Kab. Lebak Banten, yakni Ponpes Qothrotul Falah, Ponpes Manahijussadat dan Ponpes al-Mizan Puteri. 

Kedatangan keduanya yang ditemani Aktivis Komunitas Mengenal Islam (KMI) Khoirul Anam ini sesungguhnya tidak memiliki agenda yang khusus, selain untuk diskusi ringan bersama keluarga pesantren dan melihat-lihat suasana pesantren.

Bagi Greg, penulis Biografi Gus Dur, seperti dikutip dari laman qothrotulfalah.com, kunjungan ke pesantren bukanlah yang pertama kali. “Untuk ke pesantren di wilayah Banten, ini baru yang pertama,” ujarnya yang bertahun-tahun, sejak 1985, telah bergaul dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan pesantren.

Ini berbeda dengan Matteo Vergani. Pria asli Italia ini baru pertama kalinya berkunjung ke pesantren. Itu sebabnya, Matteo banyak terkaget-kaget dengan pesantren yang ternyata tidak sesuai bayangannya. Aneh baginya, ketika melihat ternyata pesantren mengajarkan ilmu-ilmu umum dan seni.

“Saya kira hanya belajar kitab kuning dan ibadah,” ujarnya. Matteo juga tampak takjub melihat kemegahan bangunan Ponpes Manahijussadat dan Ponpes al-Mizan Puteri.

Dalam kesempatan diskusi dengan para santri Ponpes Qothrotul Falah, secara khusus Greg Barton menyatakan apresiasinya yang tinggi pada pesantren-pesantren tradisional yang istiqamah mengajarkan kitab kuning (turats).

“Saya tidak khawatir dengan pesantren. Saya percaya, santri-santri pesantren tidak akan mungkin dibajak oleh para teroris, karena mereka sudah punya pemahaman yang sehat tentang Islam,” katanya. 

“Yang dibajak itu biasanya orang beriman tapi tidak memahami ajaran agamanya,” sambungnya.

Bagi Greg, kekuatan pesantren antara lain berada pada kemampuannya mendalami kitab-kitab kuning atau karya-karya para ulama masa lalu. “Kekuatan pesantren ada di pemahaman kitab-kitab kuning dan ini harus dipertahankan,” katanya.

Ia lalu mengutip konsep neo-modernism Fazlurrahman, yang menekankan pentingnya penguasaan tradisi masa lalu namun juga adaptif pada tradisi modern. “Inilah kekuatan pesantren yang sesungguhnya,” katanya.

Dalam konteks NU, sesungguhnya inilah yang disebut sebagai al-muhafadhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah (melestarikan tradisi lama yang baik dan mengadopsi tradisi baru yang lebih baik).

Greg juga menyatakan, dalam konteks Indonesia dan dunia, Nahdlatul Ulama (NU) memberikan sumbangan dan pengaruh yang besar bagi perkembangan demokrasi. 

“Perkembangan demokrasi di Indonesia sukses karena ada masyarakat madani atau civil society,” katanya. “Dan Indonesia membuktikan bahwa Islam compatible dengan demokrasi. Ini berkat orang seperti Gus Dur dan Nahdlatul Ulama,” imbuhnya. 

Bagaimana dengan pandangan umum di Barat, bahwa Islam terutama pesantren, identik dengan teroris?

“Saya tidak membela Barat yang berpandangan tidak baik pada Islam. Lakukanlah yang terbaik supaya prasangka itu hilang,” ujarnya. Ia mengakui dari sekitar 25 ribu pesantren di Indonesia, hanya segelintir yang terlibat teroris. 

Tiada Duanya

Greg Barton sendiri bersentuhan dengan pesantren dari perkenalannya dengan Gus Dur. Baginya, Gus Dur itu jendela dunia. Melalui dirinya Greg dan bahkan dunia bisa melihat Islam yang sesungguhnya di negeri mayoritas berpenduduk Muslim ini.

Menurutnya, Gus Dur itu sosok terbuka terhadap apapun, termasuk yang dari luar agamanya. “Bagi Gus Dur, keterbukaan itu kewajiban agama,” jelasnya.

Bahkan Greg menceritakan permohonan Gus Dur supaya di makamnya ditulis “Di sini ada seorang humanis.” “Ini hanya Gus Dur yang melakukannya,” katanya lagi.

Dalam amatannya yang mendalam, pesan-pesan Gus Dur tidak hanya berlaku bagi pesantren atau Indonesia, melainkan untuk dunia. 

“Sebab itu Gus Dur tiada duanya,” katanya kagum.

Benar kata Greg, Gus Dur tiada duanya. Harus menunggu ratusan tahun untuk melihat sosok multitalenta seperti cucu Hadhratusysyaikh KH M. Hasyim Asyari itu. Untuk menghadirkan sosok sepertinya atau minimal mendekati levelnya, ini menjadi PR pesantren dan seluruh komponen bangsa ini. Red: Mukafi Niam