Gus Nadir Sebut Santri Miliki Wawasan Global Sejak Dulu
Kamis, 4 November 2021 | 15:30 WIB
Rais Syuriyah PCINU Australia-Selandia Baru, KH Nadirsyah Hosen (Gus Nadir). (Foto: Tangkapan layar YouTube NU Channel)
Afina Izzati
Kontributor
Jakarta, NU Online
Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia-Selandia Baru, KH Nadirsyah Hosen (Gus Nadir) menyatakan bahwa santri sebenarnya telah memiliki wawasan global sejak dahulu. Para santri misalnya memiliki wawasan kebangsaan serta paham dengan pemikiran Tashwirul Afkar.
“Lalu gerakan ekonomi dengan Nahdlatut Tujjar, gerakan luar negeri dengan Komite Hijaz, gerakan mempertahankan kebangsaan dengan Resolusi Jihad,” kata Gus Nadir dalam peringatan Hari Santri dan Sumpah Pemuda yang diselenggarakan PCINU Jepang secara daring dilihat NU Online, Kamis (4/11/2021).
Dalam acara yang disiarkan langsung melalui YouTube NU Channel itu, Gus Nadir menerangkan bahwa pemahaman mengenai gerakan-gerakan tersebut berujung pada standardisasi pesantren pada tahun 70-an yang dapat menghasilkan intelektual pada 2010-2020.
“Seperti yang Prof Nurcholish Madjid katakan bahwa intelektual NU sebenarnya tertinggal 20 tahun dari Muhammadiyah yang mulanya sebagai kaum modernis,” kata Gus Nadir.
“Maksudnya, tahun 70-an ketika Indonesia mulai mendapat bantuan dari Jepang, kaum-kaum modernis dari kalangan Muhammadiyah sudah banyak mengambil peran dengan mengirimkan anaknya kuliah di kampus ternama Tanah Air,” sambungnya.
Sementara, lanjut Gus Nadir, pada era 70-an kalangan pesantren masih banyak yang menganggap sekolah umum hukumnya haram, yang terpenting adalah sekolah agama.
“Setiap pesantren memiliki kekhususan bidang, sehingga tidak ada standardisasi tertentu dalam pendidikannya. Baru pada tahun 70-an pesantren mulai distandardisasi agar bisa ikut serta dalam pembangunan negara yang kemudian masuk sistem kelas, ijazah dan lain sebagainya,” terang Gus Nadir.
Putra ulama fikih Indonesia kenamaan Prof KH Ibrahim Hosen ini menuturkan, pada era 1990-an lahir intelektual dari kaum modernis. Menurut dia, pendidikan investasinya hingga 20 tahun. Sedangkan NU baru memanen kaum intelektualnya di tahun 2010-2020.
“Itulah yang dikatakan oleh Cak Nur. Dan itu juga yang saat ini bisa kita lihat mulai muncul intelektual dari kalangan kita, guru besar dari kalangan kita. Kemudian mulai muncul dialog dan keseimbangan. Lalu di forum seminar, webinar, talkshow di TV tidak hanya kaum modernis yang muncul, tapi juga kader NU,” tandasnya.
Gus Nadir menyebutkan, ini sebagai akibat dari pendidikan pesantren atau pendidikan Islam yang distandarisasikan dengan melihat wawasan global dan kebangsaan.
“Yang harus kita lakukan ke depan adalah jangan hanya berdebat masalah bid’ah atau persoalan nyunnah, sehingga lupa dengan banyak hal yang telah diletakkan ulama terdahulu untuk membahas permasalahan yang lebih besar,” pesannya.
Kontributor: Afina Izzati
Editor: Musthofa Asrori
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: 4 Maksiat Hati yang Bisa Hapus Pahala Amal Ibadah
2
Khutbah Jumat: Jangan Golput, Ayo Gunakan Hak Pilih dalam Pilkada!
3
Poligami Nabi Muhammad yang Sering Disalahpahami
4
Peserta Konferensi Internasional Humanitarian Islam Disambut Barongsai di Klenteng Sam Poo Kong Semarang
5
Kunjungi Masjid Menara Kudus, Akademisi Internasional Saksikan Akulturasi Islam dan Budaya Lokal
6
Khutbah Jumat Bahasa Sunda: Bahaya Arak keur Kahirupan Manusa
Terkini
Lihat Semua