Internasional

Penghapusan Plaza Black Lives Matter di Washington dan Sejarah Kelam di Belakangnya

Jumat, 14 Maret 2025 | 21:30 WIB

Penghapusan Plaza Black Lives Matter di Washington dan Sejarah Kelam di Belakangnya

Plaza Black Lives Matter di Washington, Amerika Serikat. (Foto: Washington.org)

Jakarta, NU Online

Para pekerja tampak memulai proyek penghapusan mural bertuliskan Black Lives Matters (BLM) yang menutupi dua blok di 16th Street Northwest, Washington DC, Amerika Serikat (AS) pada Senin (10/3/2025) lalu.


Penghapusan mural yang mengubah trotoar menjadi Plaza Black Lives Matters ini dilatarbelakangi oleh undang-undang yang diperkenalkan oleh Anggota Parlemen Partai Republik Andrew Clyde. 


Dalam undang-undang tertulis amandemen judul 23 kode Amerika untuk menahan dana pembagian (dana federal) tertentu dari Distrik Columbia kecuali Walikota Distrik Columbia menghapus frasa Black Lives Matter dari jalan yang secara simbolis ditetapkan sebagai Black Lives Matter Plaza. Undang-undang juga menunjuk kembali jalan tersebut sebagai Liberty Plaza dan menghapus frasa Black Lives Matter dari setiap situs web, dokumen, dan materi lain di bawah yurisdiksi Distrik Columbia.


Tak lama setelah itu, Walikota Washington DC Muriel E Bowser mengumumkan mural tersebut akan dihapus karena prioritas utama Kota memilih jalan yang tidak berdampak buruk lebih luas bagi masyarakat akibat pemutusan hubungan kerja federal.


“Mural tersebut menginspirasi jutaan orang dan membantu kota kita melewati masa sulit, tetapi kini kita tidak boleh terganggu oleh campur tangan kongres yang tidak berarti. Dampak buruk dari pemutusan hubungan kerja federal harus menjadi perhatian utama kita," ujar Bowser dikutip Britannica.


Mural tersebut dilukis dekat gedung putih hampir lima tahun lalu, yakni pada bulan Juni tahun 2020, sebagai penanda begitu besarnya aksi protes yang dilakukan masyarakat Amerika Serikat terkait isu Black Lives Matters. Aksi BLM terjadi pasca terbunuhnya George Floyd oleh seorang polisi Minneapolis Derek Chauvin pada 25 Mei 2020 silam.


Kematian Floyd melatarbelakangi protes publik atas kekerasan terhadap orang kulit hitam oleh polisi kulit putih yang berkembang dengan sangat cepat di seluruh Amerika Serikat dan internasional.


The New York Times menulis Black Lives Matters merupakan gerakan terbesar dalam sejarah AS. Unjuk rasa BLM mencapai puncaknya pada 6 Juni 2020 ketika lebih dari setengah juta orang di 550 wilayah di Amerika Serikat menyuarakan hal yang sama, termasuk di titik Plaza Black Lives Matters kini berada.


Beberapa minggu setelah gerakan BLM meledak, Civis Analytics merilis sebuah survei yang dilakukan dalam dua gelombang (12 Juni 2020 dan 19 Juni 2020)  terkait jumlah persentase dukungan terhadap aksi protes tersebut. Survei menyatakan sekitar 62 persen orang Amerika menyatakan dukungan terhadap BLM.


Kronologi pembunuhan George Floyd

Pada 25 Mei 2020, George Floyd, yang merupakan seorang Afrika-Amerika, membeli rokok di sebuah minimarket di Minneapolis, Minnesota. Petugas minimarket kemudian menghampirinya karena Floyd diduga memberikan uang 20 dolar palsu dan diminta mengembalikan rokoknya.


Floyd yang merasa sudah membayar, menolak mengembalikan rokok tersebut. Petugas kemudian menelepon 911 dan polisi datang ke lokasi.


Derek Chauvin seorang polisi kulit putih Minneapolis, berlutut di leher Floyd selama lebih dari sembilan menit, meskipun Floyd berulang kali protes bahwa ia tidak bisa bernapas. Floyd dinyatakan meninggal dunia akibat ulah Chauvin tersebut sebagaimana dilaporkan Britannica.


Beredar luas video seorang pengamat tentang menit-menit terakhir Floyd. memicu demonstrasi besar-besaran di kota-kota di seluruh Amerika Serikat dan di seluruh dunia.


Masyarakat kemudian juga teringat kematian dua orang kulit hitam lainnya, Ahmaud Arbery dan Breonna Taylor yang juga terbunuh oleh polisi pada awal tahun 2020. 


Fakta bahwa polisi kerap kali melakukan tindakan kekerasan yang berujung hilangnya nyawa seseorang ini menuai reaksi publik besar-besaran dalam aksi protes Black Lives Matters. 


Mereka menyeru agar polisi lebih bertanggung jawab dan tidak semena-mena terhadap masyarakat dengan ras kulit gelap. Pada tahun 2021 Chauvin dinyatakan bersalah atas pembunuhan. Kasus kekerasan oleh polisi yang berujung pada hukuman sangat jarang terjadi di pengadilan.


Awal mula Black Lives Matter

Britannica menulis, BLM mulanya merupakan gerakan daring dengan tagar #BlackLivesMatter oleh Patrisse Khan-Cullors, Alicia Garza, dan Opal Tometi yang merupakan organisator komunitas kulit hitam.


Mereka membuat tagar tersebut pasca pembebasan George Zimmerman yang dibebaskan dari tuduhan pembunuhan atas penembakan terhadap Trayvon Martin di Sanford, Florida pada Februari 2012.


Gerakan BLM kemudian meluas pada tahun 2014 setelah pembunuhan yang menimpa dua pria kulit hitam tak bersenjata, Eric Garner dan Michael Brown, oleh polisi. 


Garner meninggal di Staten Island, New York, setelah seorang polisi kulit putih mencekiknya secara ilegal dalam waktu lama, yang terekam dalam sebuah video yang diambil oleh seorang pengamat. Sementara Brown, seorang remaja, ditembak dan dibunuh oleh seorang polisi kulit putih di Ferguson , Missouri. 


Jaksa menolak untuk mengajukan tuntutan terhadap para petugas atas kedua kematian ini. Hal ini menyebabkan protes besar atas nama Black Lives Matter, yang menyita perhatian nasional dan internasional.


BLM berusaha untuk memerangi kebrutalan polisi, pengawasan berlebihan terhadap lingkungan minoritas, dan pelanggaran yang dilakukan oleh penjara-penjara nirlaba. Upayanya aktivisme BLM mencakup seruan untuk pelatihan yang lebih baik bagi polisi dan akuntabilitas yang lebih besar atas pelanggaran polisi. 


Mereka juga menyerukan untuk menghentikan pendanaan polisi yaitu, mengurangi anggaran departemen kepolisian dan menginvestasikan dana yang dibebaskan dalam layanan sosial masyarakat, seperti program kesehatan mental dan resolusi konflik.