Ramadhan di Lakemba, Australia bersama Warna-warni dan Rahmat Perbedaan
Kamis, 6 Maret 2025 | 20:31 WIB
Muhyidin Basroni
Kolomnis
Suatu sore hari di bulan Ramadan ini, saya keluar rumah karena ada janji dengan beberapa teman. Kami akan ketemu di Lakemba, yang kalau dari rumah saya jaraknya dua stasiun atau dua bus stop. Hari itu waktu masuk maghrib terjadwal pada pukul 19.32 waktu Sydney, sementara waktu subuhnya pukul 05.18. Di bulan Maret begini, Sydney sedang berada di dalam masa Australian Eastern Daylight Time (AEDT) yang menandai musim panas.
Nanti di hari Minggu pertama bulan April saat musim dingin datang, Sydney masuk ke masa Australian Eastern Standard Time (AEST) dan jarum jam diputar ke ke kiri sejauh 60 menit. Lalu saat Sydney masuk musim panas lagi, AEDT dimulai pada hari Minggu pertama di bulan Oktober, jarum jam kembali akan diputar ke kanan sejauh 60 menit.
Misal hari terakhir AEDT waktu shubuh datang di pukul 5 lebih sekian, besoknya di hari pertama AEST subuhnya jadi pukul 4 lebih sekian. Pun juga sebaliknya, misal di akhir AEST waktu masuk subuh ada di jam 4 lebih sekian, besok di awal AEDT waktu masuk subuh ada di jam 5 lebih sekian. Perubahan jam yang disebut sebagai daylight saving time ini digunakan di beberapa negara, untuk penyesuaian akan panjangnya siang hari terkait musim.
Pada musim panas, siang hari semakin panjang, dan pada musim dingin, siang hari semakin pendek. Saat musim panas di Sydney, subuh bisa datang cepat di sekitar jam empat kurang, sedang maghrib bisa datang telat sekitar jam delapan lebih. Sebaliknya di musim dingin, subuh paling telat sekitar jam setengah enam dan maghrib paling cepat ada di sekitar jam lima kurang.
Janji saya sore itu adalah dengan tiga orang teman, sesama Indonesia, sekampus dan seangkatan, meski beda jurusan. Ada Mas Ferri dari STAIN Sultan Abdurrahman, Mbak Arni dari UIN Walisongo dan Mas Uki dari Universitas Hasanuddin. Kami sepakat untuk datang sekitar pukul 18.00 ke gelaran Lakemba Night during Ramadan, satu event tahunan tiap bulan puasa, di mana Haldon Street, Lakemba ditutup dan dipenuhi dengan beragam gerai kuliner. Agenda kami ya ngabuburit, beli makanan dan minuman, lalu buka bersama.
Suasana begitu ramai, tidak hanya kaum Muslim yang menunggu berbuka untuk makan dan minum. Ada beragam pilihan hidangan di sini, mulai dari khas Timur Tengah, Asia Selatan, sampai Asia Timur dan Asia Tenggara. Kuliner yang bukan khas negara-negara mayoritas Muslim pun ada. Tercatat di denah acara terdapat 58 tenda gerai kuliner yang terdaftar dalam acara ini, belum lagi toko-toko yang sudah permanen berjualan di sepanjang Haldon Street.
Dari Indonesia ada dua gerai yang nampak, selain sate ayam Madura yang sudah terkenal di ajang yang sama sebelumnya, ada juga es tebu. Saya menyapa juragan sate ayam ini yang namanya Pak Azi. Kami sudah sempat bertemu karena sama-sama menjadi jamaah pengajian Kaifa Nahdlatul Ulama (NU), New South Wales (NSW). Antrean mengular panjang di depan gerai sate yang semua krunya berseragam kaus loreng putih merah itu.
Kami kemudian berpencar mencari pilihan masing-masing, untuk nanti kumpul kembali di waktu berbuka. Di antara sekian gerai yang sangat ramai pengantri selain sate ayam Madura, ada gerai makanan India yang nampak menjual dengan roti rumali roll, dengan isian tandoori, tikka dan lain—lain. Ada juga gerai kunafah nabulsiah khas Palestina yang terkenal dengan keju molornya itu. Ada juga gerai burger daging unta yang legendaris itu dan dipenuhi pengantre.
Selain itu, gerai-gerai yang lain pun tak kalah ramai. Satu yang menarik bagi saya adalah penjual minuman asam dengan gendongan tabung minuman di punggungnya serta pakaian khasnya yang berdiri di tengah jalan.. Saya tanya penjual ini, dari Suriah katanya. Sungguh keindahan suasana Ramadhan yang warna-warni untuk dinikmati.
Teman-teman saya pun mengantri untuk membeli kunafah, sementara saya sendiri mencari kue manis khas Timur Tengah lain favorit saya yaitu basbusah, luqmah, balah syam dan asabi’ zaynab. Sekian tenda saya cek satu-satu, tidak ada yang menjual itu. Maka saya cari toko pastry permanen dan menemukan ada basbusah dan asabi’ zaynab, sementara dua yang lain tidak ada. Saya beli minum air putih dan jus kalengan, sementara untuk makanan berat saya sudah bawa bekal dari rumah, karena charcoal chicken sisa buka puasa kemarin sore masih ada.
Kami menikmati hidangan berbuka dengan beragam menu hasil berburu masing-masing, duduk bersama di depan gereja di perempatan dekat stasiun. Uniknya, gereja di sini juga punya stan di sampingnya yang tepat di Haldon Street. Stan ini dimaksudkan untuk dakwah agama Kristen, dihiasi dengan ornamen khas Timur Tengah. Selepas makan kami menuju Masjid Ali Bin Abi Thalib, yang jaraknya sekitar satu kilometer, masih ada waktu sampai datangnya isya sekitar pukul sembilan nanti.
Komunitas Muslim Lakemba
Lakemba Night during Ramadan ini agak berbeda dibanding tahun sebelumnya. Jika sebelumnya acara diadakan sepanjang bulan Ramadhan, maka kali ini dibatasi hanya di hari Kamis sampai Ahad. Namanya pun berubah, sebelumnya adalah Ramadan Night Lakemba. Kabarnya ada beberapa pihak yang mengusulkan pembatasan, bahkan kabarnya termasuk dari pemeluk Muslim sendiri yang menganggap acara ini kurang menekankan sisi spiritual Ramadhan. Lalu council atau pemerintah daerah mengambil kebijakan ini, termasuk perubahan nama, sebagai jalan tengah.
Menurut cerita, awalnya ajang Lakemba Night during Ramadan bermula dari beberapa orang yang secara mandiri membuka lapak di Haldon Street. Ada yang bilang mulai 2007 ada yang bilang di tahun 2012, bermula dari barbeque daging unta. Lama kelamaan acara semakin ramai dan kemudian diurus oleh council atau pemerintah daerah Canterbury-Bankstown mulai tahun 2017.
Di tahun 2023 Ramadan Nights Lakemba mendapat penghargaan The RH Dougherty Events and Communications Award untuk kategori innovation in special events. Untuk tahun 2024 sendiri tercatat sekitar lebih dari 1.5 juta pengunjung datang di agenda ini. Saking ramainya acara, untuk tahun lalu agenda ini diperkirakan menyumbang pendapatan sebesar sekitar 50 juta AUD untuk ekonomi lokal.
Untuk edisi 2024 ini, event diselenggarakan mulai tanggal 27 Februari sampai 30 Maret dari jam 6 sore sampai jam 2 dini hari. Namun demikian, jalanan akan ditutup mulai jam 4 sore sampai jam 4.30 dini hari. Untuk mengurangi kepadatan parkir kendaraan, council menyediakan shuttle bus gratis dari area di luar Lakemba, yaitu Campsie dan Roseland. Sebenarnya lokasi event sangat dekat dengan stasiun kereta Lakemba. Namun sayangnya jalur kereta ini dalam kondisi penutupan selama sekitar satu tahun mulai September 2024 untuk pembangunan jalur yang dikonversi dari sistem train ke sistem metro.
Lakemba sendiri merupakan nama dari sebuah suburb yang masuk ke dalam wilayah admnistratif Canterbury-Bankstown Council yang masuk kategori Local Governorate Area (LGA). Suburb kalau dibandingkan dengan kelurahan di Indonesia luasnya sama atau lebih. LGA sendiri luasnya lebih dari kecamatan tapi tidak lebih besar dari kabupaten. Canterbury-Bankstown termasuk wilayah Greater Sydney yang berada di dalam wilayah administratif provinsi atau state New South Wales.
Menurut sensus tahun 2021, pemeluk Islam di Lakemba tercatat sebagai mayoritas di angka 61.2 persen. Dari sensus yang sama, tercatat juga latar belakang Bangladesh, India dan Pakistan menduduki angka tertinggi. Menurut cerita, dulu yang lebih mendominasi adalah yang berlatar belakang Lebanon, tapi saat ini telah tergeser. Namun demikian satu bukti dari sejarah kuatnya keberadaan komunitas Muslim Lebanon di Lakemba adalah adanya Masjid Ali bin Abi Thalib.
Ada beberapa tempat ibadah bagi umat Muslim di Lakemba, tapi Masjid Ali Bin Abi Thalib yang adalah paling terkenal. Masjid ini termasuk yang paling besar di Sydney, juga yang paling tua, meskipun ada yang bilang bahwa Masjid King Faisal di Surry Hill adalah yang paling tua. Masjid ini didirikan dan dikelola oleh Lebanese Muslim Association (LMA), awalnya berupa perumahan yang dijadikan tempat ibadah, lalu dibangun menjadi masjid dan selesai pembangunannya di tahun 1977. Letak masjid ini di Wangee Road, tepat berdampingan dengan gedung kantor LMA.
Tarawih di Masjid
Waktu isya masih sekitar setengah jam lagi saat saya sampai di Masjid Ali bin Abi Thalib untuk shalat maghrib, sehabis ngabuburit di Haldon Street. Beberapa jamaah pria berjajar duduk di shaf pertama dengan meja-meja tempat meletakkan mushaf. Beberapa waktu kemudian datanglah seorang yang sempat saya lihat sebelumnya menjadi imam shalat tarawih di Masjid Punchbowl dekat rumah saya. Lalu dia mengambil tempat duduk di depan, menghadapi jamaah dan mulai melantunkan bacaan Al-Qur'an dengan cara mujawwad atau di Tanah Air biasa disebut tilawah.
Beberapa waktu sebelumnya saya telah berkirim pesan dengan salah satu imam yang paling muda di masjid ini, namanya Syekh Muhammad Harbi dari Mesir. Saat itu saya bertanya tentang permulaan bulan puasa dan Tarawih. Dalam jawaban di voice-note, dia juga bilang kalau di bulan Ramadhan, 15 menit sebelum azan isya di Masjid Ali bin Abi Thalib akan dilantunkan pembacaan Al Quran dengan cara mujawwad.
Pertama kenal Syekh Harbi saat awal-awal saya mulai ikut shalat masjid berjamaah di masjid ini. Diperhatikan dari wajahnya, pakaiannya, serta langgam bacaannya, saya duga bahwa dia berasal dari Mesir. Lalu di hari lain saya beranikan diri menyapa dan mengajak berkenalan dan latar belakang Al-Azhar Mesir menjadi perekat kami. Syekh Harbi ini memang spesialisasinya Al-Qur'an, mulai jadi imam di masjid ini sejak tahun 2015.
Malam itu Syekh Harbi menjadi imam Shalat Isya, lalu Shalat Tarawih dipimpin olah yang tadi melantunkan mujawwad Al-Qur'an. Shalat tarawih dilaksanakan dalam 8 rakaat dengan salam tiap setelah dua rakaat. Setelah itu ada ceramah oleh imam senior masjid ini yaitu Syekh Yahya Safi yang kelahiran Lebanon. Dalam penutup ceramahnya, sebelum ia mengimami Shalat Witir, ia memperkenalkan Si Imam Tarawih. Namanya Syekh Mehmet Bilir dari Turki, juara tilawatil Quran internasional. Setelah selesai shalat witir, Syekh Bilir selama 15 menit juga dijadwalkan akan melantunkan ibtihalaat atau puji-pujian semacam shalawat.
Shalat Witir yang diimami Syekh Yahya langsung diselesaikan dalam tiga rakaat dengan qunut sebelum ruku’. Sementara sebelumnya di masjid Punchbowl, saya mengikuti Shalat Witir bersama Imam Syekh Mutasim Jarrah, tiga rakaat dipecah menjadi dua dan satu, dengan qunut setelah ruku’. Jadi di dua masjid ini saya sama-sama mengikuti tarawih 8 rakaat dengan salam di tiap dua rakaat dan sama-sama membaca doa qunut sejak malam pertama Ramadhan. Bedanya ada di pembagian tiga rakaat Witir dan waktu doa qunut di dalamnya.
Soal hisab dan rukyah ini saya belum sempat bertanya-tanya banyak dengan imam masjid baik Punchbowl maupun Lakemba. Namun sejauh pemahaman saya, yang diikuti adalah metode hisab. Kala itu saya sempat mengobrol dengan seorang bapak yang saya anggap pengurus takmir masjid Punchbowl. Dia bercerita bahwa secara pribadi sesungguhnya dia cenderung mengikuti rukyah. Dia pun balik bertanya dan saya pun menjawab bahwa sesungguhnya di tanah air saya juga mengikuti metode rukyah. Lalu kami sama-sama sepakat bahwa ikhtilaf atau perbedaan adalah rahmat dan kami pun sama-sama mengikuti keputusan masjid.
Soal jumlah rakaat, perbedaan pun merupakan hal yang biasa. Sebelumnya saya sempat dengar bisik-bisik jamaah tarawih di Masjid Punchbowl saat mau memulai shalat witir. Seorang pria berbisik kepada yang di sampingnya, “you can do the extra after this.”
Selepas shalat tarawih dan witir di Lakemba, saya sempat mencegat Syekh Muhammad Bilir di depan masjid untuk sekadar menyapa. Saya tanya dengan berbahasa Inggris, malah dia tanya ke penerjemahnya “madza yaquul?” Lalu obrolan kami pun berlanjut dengan Bahasa Arab, termasuk cerita bahwa dia pernah ke Jakarta. Rupanya Syekh Bilir sedang dalam safari Ramadhan, menjadi imam tarawih di beberapa masjid di Sydney.
Sepulang dari masjid, saya harus cepat-cepat pulang karena ada seorang kolega menelepon mengajak minum kopi. Lalu kami ketemu di kafe milik orang Lebanon di dekat rumah saya, di mana kami juga menikmati sajian roti kaak isi keju. Roti ini dipanggang di atas arang, yang kata pemilik warung hanya dia sajikan di bulan Ramadhan. Karena Ramadhan juga, pemilik kafe memberi kami gratis jus jeruk.
Besoknya lagi, ada teman berbeda mengajak minum kopi lagi selepas tarawih. Lalu kami pun ketemu di kafe yang sama, yang punya banner spesial bertuliskan Ramadan Kareem itu. Jika malam sebelumnya yang gratis adalah jus jeruk, malam itu saya dapat gratisan kue manis, namanya znoud el sit.
Terpopuler
1
Kultum Ramadhan: 2 Motivasi untuk Memaksimalkan Ibadah di Bulan Suci
2
Menilik Perusahaan Induk Koperasi BMT NU Ngasem Bojonegoro, Punya Tujuan Berkontribusi kepada Nahdlatul Ulama
3
3 Alasan Nyai Sinta Pilih Gelar Sahur Keliling bersama Kaum Duafa
4
Kultum Ramadhan: Mari Perbaiki Diri di Bulan Suci
5
Khutbah Jumat: Mengajak Semua Anggota Tubuh Berpuasa
6
Sinar Mas Diminta Hentikan Penggusuran Warga Padang Halaban dan Tarik Mundur Aparat
Terkini
Lihat Semua