Kisah Kiai Dachlan, Ketua Umum PBNU di Masa Agresi Militer Belanda
Jumat, 13 Mei 2022 | 07:10 WIB
KH Muhammad Dachlan adalah sosok ulama, politikus, tokoh masyarakat dan juga negarawan. Ia lahir pada 2 Juni 1909 Masehi atau 14 Jumadil Ula 1337 Hijriyah di Desa Mandaranrejo, Kota Pasuruan. Ia merupakan putra keempat dari pasangan H Abdul Hamid dan Kasimah. Sedang kakeknya bernama Abdul Manaf, seorang pemuka agama yang dilahirkan oleh H Ali asal Makasar dan Suti asal Mayangan Pasuruan.
Pada usia remaja, Kiai Dachlan diberi tanggung jawab menjaga sepetak tambak milik kakeknya. Saat musim panen, Kiai Dachlan selalu berada di tambak untuk menjaga tambak dari pencurian, khususnya di malam hari.
Sementara kedua orang tua Kiai Dachlan sangat ketat dalam memberikan bimbingan kepada putra-putrinya, khususnya di bidang ilmu agama. Di samping berkat bimbingan orang tua, dasar-dasar pengetahuan agama Kiai Dachlan diperoleh dari dua pesantren di Kota Pasuruan di bawah asuhan KH Khuzaimi Tambaan dan Kiai Yasin Kebonsari. Di sanalah ia mempelajari ilmu agama dasar, seperti Al-Qur’an, Fiqih dan ilmu alat.
Untuk memperdalam ilmu, Kiai Dachlan bersama Kiai Hasyim –kakak sulungnya– menimba ilmu di pesantren asuhan Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan. Pasca Syaikhona Kholil wafat (1343 M/1925 H), ia pindah ke Pesantren Tebuireng Jombang yang diasuh Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari hingga akhir tahun 1920-an.
Di Pesantren Tebuireng, Kiai Dachlan tidak hanya mendalami ilmu agama, melainkan memperoleh pengalaman berorganisasi dan kepemimpinan. Sebab, pada saat itu Mbah Hasyim gurunya tengah gencar meletakan dasar-dasar jamiyah Nahdlatul Ulama.
Saat menginjak usia belasan tahun, Kiai Dachlan dan Kiai Hasyim melanjutkan pengembaraannya ke jazirah arab. Selama kurang lebih satu tahun ia berada di Mekkah menimba ilmu, bahkan sangat rajin mengikuti pengajian-pengajian di sekitar Masjidil Haram. Di situlah ia belajar keagamaan dan dunia luar secara umum yang akhirnya menjadi bekal dalam membangun negeri
Pada tahun 1930, Kiai Dachlan pulang ke kampung halamannya, dan tidak lama kemudian ayahnya meninggal. Saat itulah Kiai Dachlan dan Kiai Hasyim harus bertanggung jawab menghidupi keluarganya, mulai dari mengelola usaha tambak, menggantikan peran ayahnya sebagai tokoh agama, dan membina berbagai kegiatan keagamaan di Masjid Mandaran Rejo dan sekitarnya.
Membina Keluarga
Kala menginjak usia matang, Kiai Dachlan dijodohkan dengan seorang perempuan bernama Khadijah asal Ledok, Bangil oleh KH Yasin Kebonsari. Atas pernikahan itu, ia dikaruniai dua putri bernama Siti Kholifah dan Umi Kulsum. Karena beberapa hal, keduanya pun cerai dan Kiai Dachlan menikah dengan seorang gadis asal Pasuruan yang bernama Khadijah lain dari Pengadangan. Nyai Khadijah tersebut menjabat Ketua Muslimat NU Pasuruan selama dua tahun di masanya.
Saat peristiwa pemberontakan PKI, Kiai Dachlan beserta keluarga mengungsi ke Madiun. Bahkan, menurut beberapa cerita Nyai Khadijah wafat karena ditembak oleh pemberontak PKI. Kurang lebih tiga tahun Kiai Dachlan menduda di tengah kesibukannya berkhidmat NU.
Dirinya pun memutuskan menikah pada tahun 1951. Perempuan tersebut bernama Aisyah asal Minang, Padang Pariaman, Sumatra Barat yang menjabat sebagai Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GMII) Putri Sumatra Barat.
Dari pernikahan Kiai Dachlan dan Nyai Aisyah dikaruniai empat orang anak. Yakni, Aidah Sofia Dachlan, dokter di Rumah Sakit Dharmis, Jakarta; Ahmad Hafidz Dachlan, pemimpin PT Tetra Dua Sisi; Dian Fauziah Dachlan, konsultan PT Yoda Karya Jakarta; dan Hamdan Purnama Dachlan, insinyur perikanan yang bekerja di PT Unilever dan bergabung di PT Tertera Dua Sisi.
Khidmah di NU
Saat berkhidmat di Nahdlatul Ulama, Kiai Dachlan memelopori terbentuknya Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Pasuruan. Pada tahun 1935, ia terpilih menjadi Ketua PCNU Pasuruan yang sekarang menjadi PCNU Bangil.
Keberhasilan memimpin PCNU Pasuruan mempercepat karirnya ke jenjang selanjutnya. Dua tahun kemudian, ia dipercaya sebagai konsul NU I daerah Jawa Timur. Di antara PCNU yang menjadi tanggung jawabnya meliputi Pasuruan, Bangil, Probolinggo, Kraksaan, dan Lumajang.
Selanjutnya, pada gelaran Muktamar ke-16 NU di Purwokerto, Kiai Dachlan ditetapkan sebagai Ketua PBNU yang berkedudukan di Surabaya. Sebagai pimpinan tertinggi NU, ia sangat berjasa mengamankan Sekretariat NU sewaktu peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Kantor PBNU pun dipindah ke Pasuruan di rumahnya sendiri, yaitu Jalan Diponegoro Nomor 5, Pasuruan.
Dua tahun kemudian, Pasuruan diduduki oleh Belanda dan PBNU kembali pindah ke Madiun yang termasuk daerah republik. Karena pada tahun 1948 terjadi pemberontakan PKI dan disusul agresi militer Belanda, akhirnya Kiai Dachlan terpaksa memindahkan lagi Kantor PBNU meninggalkan Kota Madiun dan tidak ada orang yang mengetahuinya.
Melihat situasi perang gerilya yang sulit dilakukan komunikasi, Kiai Dachlan menghilang tidak diketahui kabarnya. Hal ini memantik KH Abdul Wahab Hasbullah selaku Rais Aam kala itu memandang perlu menunjuk kiai untuk mengurusi kegiatan NU. Akhirnya, KH Wahid Hasyim ditunjuk sebagai Ketua PBNU dan selanjutnya mengumpulkan para konsultan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama di Tulungagung untuk membahas kegiatan NU saat agresi militer Belanda.
Di tengah-tengah konferensi Kiai Dachlan tiba-tiba muncul. Suasana pun menjadi haru karena pertemuan tanpa diduga setelah perpisahan tanpa kabar berita yang lama. Maka timbullah kondisi yang aneh di tubuh PBNU, yakni memiliki dua Ketua Umum di periode yang sama; Kiai Dachlan dan KH Wahid Hasyim. Tetapi, persoalan tersebut segera selesai dan diambil keputusan bahwa Kiai Wahid Hasyim sebagai Ketua Umum dan Kiai Dachlan diamanahi Wakil Ketua.
Jadi Menteri Agama
Pengalamannya yang cukup lama di pentas nasional mengantarkan Kiai Dachlan sebagai anggota Dewan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang berkedudukan di Surabaya pada tahun 1941. Ia juga sempat menjadi anggota Komite Nasional Pusat di Yogyakarta tahun 1946.
Melalui keputusan presiden nomer 171/1967 yang dikeluarkan pada 11 Oktober 1967, Kiai Dachlan kemudian diberi kepercayaan untuk memangku jabatan Menteri Agama Republik Indonesia dalam kabinet pembangunan I hingga tahun 1971. Selepas itu, ia diamanahi sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung.
Pada saat menjadi Menteri Agama, Kiai Dachlan bersama KH Ibrahim Hosen menggelar Musabaqah Tilawatul Qur’an (MTQ) tingkat nasional pertama kali yang digelar di Ujungpandang. Kedua ulama ini bersama KH Zaini Mifftah, KH Ali Masykur, dan H Mukti Ali membentuk Yayasan Ihya Ulumuddin. Berselang setahun, kemudian merintis berdirinya Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ).
Di antara kebiasaan Kiai Dachlan semasa hidup yang tidak pernah ditinggalkan semenjak di Pasuruan hingga pindah ke Jakarta adalah membaca kitab Dalail Khairat. Secara rutin ia membacanya selepas Subuh hingga Dhuha atau sesudah Maghrib hingga Isya. Rutinitas ini tidak ia lakukan jika ada tamu dan undangan.
Dan, pada tanggal 1 Februari 1977 usai membaca kitab Dalail Khairat, Kiai Dachlan pulang ke rahmatullah dan jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
250 Santri Ikuti OSN Zona Jateng-DIY di Temanggung Jelang 100 Tahun Pesantren Al-Falah Ploso
Terkini
Lihat Semua