Kesehatan

Hikmah Diharamkannya Bangkai dan Sembelihan Hewan yang Sakit Parah

NU Online  Ā·  Ahad, 30 Juli 2023 | 13:00 WIB

Hikmah Diharamkannya Bangkai dan Sembelihan Hewan yang Sakit Parah

Ilustrasi hewan ternak. (Foto: NU Online/Suwitno)

Fenomena sekelompok masyarakat yang memakan daging bangkai sebagai tradisi telah mengundang keprihatinan bersama. Banyak pihak yang menyayangkan kejadian tersebut dan menilainya sebagai perilaku sosial yang tidak sehat. Tidak hanya hewan ternak yang telah mati dan dikubur lalu digali kembali dan dikonsumsi, hewan yang sakit parah juga disembelih dan dagingnya dibagi-bagi. Sejumlah uang diberikan untuk menukar daging itu dengan istilah ganti rugi.

 

Parahnya, masyarakat tidak peduli terhadap resiko yang muncul akibat perilaku tersebut. Atas nama rasa kasihan dan berniat membantu peternak secara kolektif, logika dan akal sehat seolah terpinggirkan oleh tradisi. Oleh karena itu, tidak hanya penyakit yang berjangkit dari hewan ke manusia tetapi berkali-kali korban jiwa manusia melayang sia-sia.

 

Tradisi yang dikenal dengan nama ā€˜Mbrandu’ atau porak di daerah Gunungkidul itu berawal dari niat baik untuk menolong peternak yang terkena musibah. Bila ada peternak yang sapi atau kambingnya mati karena sakit, warga mengganti kerugian yang dialami dengan membeli daging ternak yang mati itu dengan sejumlah uang. Tidak hanya itu, dagingnya dikonsumsi tanpa mempedulikan bahaya di balik penyakit ternak dengan alasan merasa sayang apabila dibuang.

 

Menjadi pertanyaan bersama apakah dasar syariat Islam bahwa bangkai hewan haram dimakan dan diperjualbelikan tidak tersampaikan kepada warga? Bagaimana ketentuan seputar bangkai dalam syariat Islam serta hukum jual belinya? Bagaimana pula akibat yang dapat muncul dari memakan daging hewan ternak yang disembelih saat sakit parah?

 

Kemiskinan dan kelaparan yang dulu dijadikan alasan darurat para warga untuk melakukan tradisi ini sekarang tidak lagi dianggap relevan. Saat ini, daerah tempat terjadinya tradisi itu tidak lagi dinilai sebagai daerah minus. Apabila hendak menolong dalam bentuk ganti rugi berupa uang, sebenarnya cukup dengan memberikan uang tersebut tanpa memperjualbelikan dan mengonsumsi daging bangkainya. Oleh karena itu, akar tradisi para warga mengonsumsi daging beresiko tersebut diperkirakan lebih kompleks dan memerlukan pendekatan sosiologi dari para ahli sebagai solusi.

 

Dalam syariat Islam, bangkai hewan ternak seperti kambing atau sapi diharamkan untuk dikonsumsi. Al-Qur’an menegaskan hal ini pada Surat Al-An’am ayat 145 sebagai berikut:

 

Ł‚ŁŁ„Ł’ Ł„ŁŽŲ§ Ų£ŁŽŲ¬ŁŲÆŁ فِي Ł…ŁŽŲ§ Ų£ŁŁˆŲ­ŁŁŠŁŽ Ų„ŁŁ„ŁŽŁŠŁ‘ŁŽ Ł…ŁŲ­ŁŽŲ±Ł‘ŁŽŁ…Ł‹Ų§ Ų¹ŁŽŁ„ŁŽŁ‰Ł° Ų·ŁŽŲ§Ų¹ŁŁ…Ł ŁŠŁŽŲ·Ł’Ų¹ŁŽŁ…ŁŁ‡Ł Ų„ŁŁ„Ł‘ŁŽŲ§ Ų£ŁŽŁ†Ł’ ŁŠŁŽŁƒŁŁˆŁ†ŁŽ Ł…ŁŽŁŠŁ’ŲŖŁŽŲ©Ł‹ Ų£ŁŽŁˆŁ’ ŲÆŁŽŁ…Ł‹Ų§ Ł…ŁŽŲ³Ł’ŁŁŁˆŲ­Ł‹Ų§ Ų£ŁŽŁˆŁ’ Ł„ŁŽŲ­Ł’Ł…ŁŽ Ų®ŁŁ†Ł’Ų²ŁŁŠŲ±Ł ŁŁŽŲ„ŁŁ†Ł‘ŁŽŁ‡Ł Ų±ŁŲ¬Ł’Ų³ŁŒ Ų£ŁŽŁˆŁ’ فِسْقًا Ų£ŁŁ‡ŁŁ„Ł‘ŁŽ Ł„ŁŲŗŁŽŁŠŁ’Ų±Ł Ų§Ł„Ł„Ł‘ŁŽŁ‡Ł بِهِ ۚ ŁŁŽŁ…ŁŽŁ†Ł Ų§Ų¶Ł’Ų·ŁŲ±Ł‘ŁŽ ŲŗŁŽŁŠŁ’Ų±ŁŽ ŲØŁŽŲ§ŲŗŁ ŁˆŁŽŁ„ŁŽŲ§ Ų¹ŁŽŲ§ŲÆŁ ŁŁŽŲ„ŁŁ†Ł‘ŁŽ Ų±ŁŽŲØŁ‘ŁŽŁƒŁŽ ŲŗŁŽŁŁŁˆŲ±ŁŒ Ų±ŁŽŲ­ŁŁŠŁ…ŁŒ

 

Artinya: ā€œKatakanlah, Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali (daging) hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi karena ia najis, atau yang disembelih secara fasik, (yaitu) dengan menyebut (nama) selain Allah. Akan tetapi, siapa pun yang terpaksa bukan karena menginginkannya dan tidak melebihi (batas darurat), maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.ā€

 

Ayat tersebut jelas mengaitkan antara status bangkai dengan sesuatu yang kotor. Berdasarkan ayat di atas dan ayat-ayat di surat yang lain seperti Al-Baqarah ayat 173, Al-Maidah ayat 3, dan An-Nahl ayat 115 Allah Swt dengan tegas mengharamkan bangkai. Jadi jelas sekali bahwa daging bangkai tidak boleh dikonsumsi oleh umat Islam, kecuali bangkai ikan dan belalang sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits sahih berikut ini:

 

عن Ų¹ŲØŲÆ الله بن عمر رضي الله عنهما قال: قال Ų±Ų³ŁˆŁ„ الله صلى الله Ų¹Ł„ŁŠŁ‡ ŁˆŲ³Ł„Ł… : Ų£ŁŲ­ŁŁ„Ł‘ŁŽŲŖŁ’ Ł„ŁƒŁ… Ł…ŁŽŁŠŁ’ŲŖŁŽŲŖŁŽŲ§Ł†Ł ŁˆŁŽŲÆŁŽŁ…ŁŽŲ§Ł†ŁŲŒ فأما Ų§Ł„Ł…ŁŠŲŖŲŖŲ§Ł†: ŁŁŽŲ§Ł„Ł’Ų¬ŁŽŲ±ŁŽŲ§ŲÆŁ ŁˆŲ§Ł„Ł’Ų­ŁŁˆŲŖŁŲŒ ŁˆŲ£Ł…Ų§ Ų§Ł„ŲÆŁ‘ŁŽŁ…ŁŽŲ§Ł†Ł: ŁŲ§Ł„ŁƒŲØŲÆ ŁˆŲ§Ł„Ų·Ų­Ų§Ł„

 

Artinya: ā€œDari Abdullah bin Umar radliyallahu ā€˜anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ā€˜alaihi wasallam Ā bersabda, dihalalkan untuk kalian dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai yaitu ikan dan belalang, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa."

 

Salah satu pengertian bangkai adalah binatang halal yang mati tanpa disembelih. Walaupun tidak disembelih, binatang bisa mati karena terkena bibit penyakit, kekurangan pakan, diterkam binatang buas, terhimpit atau tertindih saat transportasi, teknik penyembelihan yang salah, kecelakaan, dan lain-lain. Kematian dengan cara-cara tersebut bisa menjadikan hewan berstatus bangkai.

 

Bangkai juga haram diperjualbelikan berdasarkan hadits sahih berikut ini:

 

عن Ų¬Ų§ŲØŲ± بن Ų¹ŲØŲÆ الله رضي الله عنهما أنه سمع Ų±Ų³ŁˆŁ„ الله صلى الله Ų¹Ł„ŁŠŁ‡ ŁˆŲ³Ł„Ł… ŁŠŁ‚ŁˆŁ„ Ų¹Ų§Ł… الفتح ŁˆŁ‡Łˆ ŲØŁ…ŁƒŲ©: ؄ن الله ŁˆŲ±Ų³ŁˆŁ„Ł‡ حرم بيع الخمر ŁˆŲ§Ł„Ł…ŁŠŲŖŲ© ŁˆŲ§Ł„Ų®ŁŁ†Ų²ŁŠŲ± ŁˆŲ§Ł„Ų£ŲµŁ†Ų§Ł…ŲŒ ŁŁ‚ŁŠŁ„: يا Ų±Ų³ŁˆŁ„ الله أرأيت Ų“Ų­ŁˆŁ… Ų§Ł„Ł…ŁŠŲŖŲ©ŲŒ ف؄نه ŁŠŁŲ·Ł„Ł‰ بها Ų§Ł„Ų³ŁŁ†ŲŒ ŁˆŁŠŁŲÆŁ‡Ł† بها Ų§Ł„Ų¬Ł„ŁˆŲÆŲŒ ŁˆŁŠŁŽŲ³ŲŖŲµŲØŁŲ­ بها Ų§Ł„Ł†Ų§Ų³ŲŸ قال: Ł„Ų§ŲŒ Ł‡Łˆ Ų­Ų±Ų§Ł… ، Ų«Ł… قال Ų±Ų³ŁˆŁ„ الله صلى الله Ų¹Ł„ŁŠŁ‡ ŁˆŲ³Ł„Ł… عند Ų°Ł„Łƒ: قاتل الله Ų§Ł„ŁŠŁ‡ŁˆŲÆŲŒ ؄ن الله حرم Ų¹Ł„ŁŠŁ‡Ł… Ų§Ł„Ų“Ų­ŁˆŁ…ŲŒ ŁŲ£ŁŽŲ¬Ł’Ł…ŁŽŁ„ŁˆŁ‡ŲŒ Ų«Ł… ŲØŲ§Ų¹ŁˆŁ‡ŲŒ ŁŲ£ŁƒŁ„ŁˆŲ§ ثمنه 
[صحيح] - [متفق Ų¹Ł„ŁŠŁ‡]

 

Artinya: ā€œDari Jabir bin Abdullah radliyallahu ā€˜anhuma bahwasannya dia mendengar Rasulullah shallallahu ā€˜alaihi wasallam bersabda pada tahun penaklukan saat beliau di Makkah, sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi, dan patung-patung. Seseorang bertanya, wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu mengenai lemak bangkai yang digunakan untuk memoles perahu-perahu dan meminyaki kulit-kulit, serta dijadikan penerangan oleh manusia? Beliau menjawab; ā€˜Tidak, dia tetap haram’. Selanjutnya Rasulullah shallallahu ā€˜alaihi wasallam bersabda pada saat itu, semoga Allah membinasakan orang-orang Yahudi. Allah mengharamkan lemak bagi mereka lalu mereka mencairkannya lalu menjualnya dan memakan hasil penjualannya." (Muttafaq ā€˜alaih)

 

Apabila bangkai sudah jelas diharamkan, maka bagaimana dengan hewan yang sempat disembelih saat sakit parah sebelum mati? Setiap makanan yang jika dikonsumsi dapat mengakibatkan kematian, merusak badan atau merusak akal maka hukumnya haram untuk dikonsumsi. Baik makanan itu berupa daging atau yang lain. Sehingga makanan yang asal mulanya halal, manakala sudah mengandung racun maka hukumnya juga haram untuk dikonsumsi. (Khoir, 2006, Risalah Hayawan, Duta Karya Mandiri, Kediri: halaman 9)

 

Hikmah diharamkannya bangkai
Beberapa hikmah pengharaman bangkai adalah sebagai berikut:

 
  1. Darah yang tidak keluar akan menjadi makanan yang berlimpah bagi bakteri pembusuk dan aneka bakteri yang berbahaya. Bakteri-bakteri berbahaya tersebut dapat membahayakan manusia yang memakan bangkai,
  2. Bau busuk yang dikeluarkan daging bangkai berasal dari senyawa racun yang dihasilkan bakteri pembusuk. Senyawa-senyawa racun tersebut dapat saja berefek buruk pada manusia yang nekat memakan bangkai,
  3. Jika kematian hewan tersebut adalah karena penyakit (misalnya penyakit antraks yang disebabkan oleh Bacillus anthracis), maka dikhawatirkan bibit-bibit penyakit tersebut akan berkembang di tubuh manusia.
 

Data Kementerian Kesehatan RI menyebutkan bahwa selama 6 bulan terakhir di tahun 2023 ini, jumlah warga Gunungkidul yang terjangkit penyakit antraks mencapai 93 orang dengan 3 orang di antaranya akhirnya meninggal dunia. Selain itu, beberapa warga yang menyembelih hewan yang ditengarai sakit parah, yaitu antraks, juga ikut tertular penyakit tersebut.

 

Pengulangan tradisi ā€˜Mbrandu’ dari tahun ke tahun telah terbukti merugikan masyarakat. Banyak pihak bertanya-tanya tentang belum hilangnya tradisi ini dan risikonya yang seakan diabaikan. Bahkan, warga rela mengonsumsi daging bangkai dan memberikan ganti rugi kepada peternak yang sapi atau kambingnya mati agar tidak terlalu ā€œbuntung.ā€ Oleh karena itu, selayaknya para ulama bersama dengan pemerintah dan tokoh masyarakat mengedukasi masyarakat di daerah yang terdampak agar tradisi itu tidak terulang kembali. Wallahu a’lam bisshawab.

 

Yuhansyah Nurfauzi, pakar farmasi, pemerhati sejarah kedokteran dan sejarah peradaban Islam.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang