Nasional MUNAS-KONBES NU 2012

Ahmad Baso: Santri Wajib Hargai Khazanah Nusantara

Sabtu, 15 September 2012 | 22:40 WIB

Cirebon, NU Online
Tokoh muda NU dan mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham), Ahmad Baso, menyerukan agar santri kembali menghargai nilai-nilai moral dalam khazanah Nusantara. <>

Pada acara bedah buku “Pesantren Studies” di aula Khalista, di kompleks Pesantren Kempek, Palimanan, Cirebon, Sabtu (15/9), Baso mengungkapkan agar santri zaman sekarang harus tampil percaya diri dengan menguasai ilmu-ilmu dasar dari pesantren.

“Kiai-kiai pesantren pada abad-abad sebelumnya, mereka sangat kuat tradisi menulisnya, hingga masih dapat dikenal hingga kini,” ungkapnya. Ahmad Baso mencontohkan kiprah Walisongo dalam menyebarkan Islam yang harmonis dan toleran di Indonesia. 

“Walisongo itu berjasa besar tidak hanya pada penyebaran Islam di Nusantara, namun juga memantapkan tradisi literer bagi bangsa ini,” tegas Baso. 

“Maka salah besar itu orang-orang yang mengatakan bahwa Walisongo adalah mitos. Bahkan, banyak akademisi yang sering mengatakan Walisongo tidak jelas bukti keberadaan dan kiprahnya di tanah Nusantara,” terang Baso. 

Ahmad Baso menambahkan, bahwa Walisongo yang berperan dalam melahirkan nilai dan tradisi Islam Nusantara. “Ini kan seperti mengingkari keislaman diri sendiri, Walisongo kan orang tua yang melahirkan khzanah Islam Indonesia. Dengan mengingkari Walisongo, berarti juga mengingkari Islam sendiri”. 

“Jika teman-teman tahu, konsep Pancasila itu awalnya disebut Soekarno sebagai panca azimat. Jadi, Pancasila itu diilhami dari tradisi dan nilai-nilai pesantren dan selama ini dipraktikkan kiai maupun santri,” tegas Baso. 

Dalam forum itu, Baso menambahkan, “Maka, santri wajib untuk menghargai tradisi-tradisi dan nilai-nilai pesantren. Kiai zaman dahulu itu tidak masalah dengan tantangan. Ketika datang penjajah Portugis dan Spanyol, ulama-ulama Makassar banyak yang menguasai bahasa-bahasa Eropa, jadi tidak bisa dibodohi,” terang Baso.


Redaktur    : Mukafi Niam
Kontributor: Munawir Aziz