Nasional

Partai Politik Makin Khianat: Bisu Sampaikan Amanat, Tuli Dengarkan Suara Rakyat

Kamis, 27 Maret 2025 | 08:00 WIB

Partai Politik Makin Khianat: Bisu Sampaikan Amanat, Tuli Dengarkan Suara Rakyat

Momen saat massa aksi yang terdiri dari mahasiswa dan elemen rakyat mencoba menjebol gerbang besi di Gedung DPR, Senayan, Jakarta dalam aksi menolak pengesahan revisi UU TNI, pada Kamis, 20 Maret 2025. (Foto: NU Online/Haekal)

Jakarta, NU Online

Partai politik di Indonesia kian jauh dari rakyat. Alih-alih menjadi jembatan aspirasi masyarakat, mereka justru membangun benteng kepentingan sendiri bersama oligarki. Pengesahan Revisi UU TNI yang berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi ABRI ala Orde Baru menjadi bukti terbaru dari pengkhianatan kolektif ini.  


Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati menjelaskan bahwa secara konseptual, partai politik seharusnya menjadi mediator antara negara dan rakyat. Namun, fungsi tersebut semakin terdistorsi oleh kepentingan internal partai.  

 

"Secara konseptual kan sebenarnya partai politik itu menjembatani aspirasi dari masyarakat dengan pemerintah. Artinya, partai ini menjadi semacam mediator kepentingan negara dan masyarakat yang kemudian diramu. Entah itu partai membawa aspirasi dari bawah atau membawa kepentingan dari pemerintah. Artinya di sini kan sebenarnya tugas partai itu adalah untuk menghubungkan kedua aktor ini secara konseptual," ujar Wasisto, kepada NU Online, pada Selasa (25/3/2025).  


Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Alih-alih menyuarakan kepentingan rakyat, anggota DPR justru lebih patuh pada garis kebijakan partai. Mereka memilih ikut arus daripada membersamai rakyat.


"Mereka dihadapkan antara aspirasi dari masyarakat yang lurus menjadi konstituen mereka, di samping pula mereka juga ada tekanan dari partainya masing-masing. Artinya, di sini yang membuat dilematis adalah para anggota DPR itu selalu berada dalam pilihan sulit: antara ikut arus atau melawan arus. Karena itulah yang kemudian menjadi alasan kenapa anggota DPR jarang kritis. Karena memang mereka akhirnya lebih ikut arus dari partainya masing-masing daripada gendang publik," lanjutnya.

 

Orientasi partai politik

Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Geger Riyanto mengatakan, orientasi partai politik lebih bersifat mempertahankan kekuasaan ketimbang membangun ideologi yang berpihak kepada rakyat.  


"Partai politik di Indonesia sering kali berorientasi pragmatis ketimbang ideologis. Hal itulah yang membuatnya tidak dekat dengan pemilihnya. Berada dalam lingkaran kekuasaan berarti mereka memiliki posisi dan perangkat untuk mereproduksi kekuasaannya lebih jauh," jelasnya.


"Di sisi lain, ada kemungkinan jauh dari lingkaran kekuasaan berarti mereka lebih rentan dengan kasus-kasus hukum. Dalam satu dekade terakhir, hukum semakin berkembang menjadi alat lingkaran kekuasaan," lanjut Geger.  


Dampak dari pragmatisme ini adalah hilangnya fungsi utama partai sebagai agen pendidikan politik bagi masyarakat. Partai lebih melihat rakyat sebagai sekadar pemilih, bukan sebagai subjek politik yang harus dicerdaskan.  


"Karena motif partai politik yang pragmatis dan ekosistemnya yang tidak memungkinkan mereka melampaui ini. Mereka merasa lebih membutuhkan warga sebagai suara, dan untuk mendapatkan suara, tidak dibutuhkan untuk mendidik warga," tegasnya.  


Lantas, apa yang bisa dilakukan rakyat dalam menghadapi partai politik yang terus-menerus mengkhianati amanat?  


Menurut Geger, satu-satunya jalan adalah terus berkonsolidasi dan menyuarakan aspirasi secara konstan.  


"Kita harus berkonsolidasi dan menyuarakan aspirasi kita secara konstan. Tidak bisa diam. Kebutuhan lebih jauh tentu saja adalah lebih mengorganisir suara ini," katanya.  


Ia mengatakan, rakyat perlu menghukum partai politik yang semakin tuli terhadap suara mereka. Geger membeberkan cara untuk menghukum partai politik yang sudah makin jauh dengan rakyat.


"Saat ini, semua perangkat dan jaringan sedang dipegang partai politik. Jalan untuk menghukumnya sangat sulit diretas. Akan menjadi hukuman yang besar untuk pemerintah bila warga bisa melakukan pembangkangan massal. Semua mogok, berhenti dari aktivitasnya, contoh lainnya juga: berhenti membayar pajak, menyebabkan syok yang harus diperhatikan oleh partai politik," pungkasnya.