Bandung, NU Online
Katib ‘Aam PBNU KH Yahya C. Staquf menjelaskan, kiai-kiai NU mewarisi tradisi riayah (memimpin dalam arti ngemong, red.). Dengan tradisi riayah itu, kiai-kiai, sejak berabad-abad yang lalu, mengemong kepada umat.
Menurut Katib ‘Aam ulama yang datang ke Nusantara berdakwah dengan visi membangun peradaban baru.
“Kenapa? Karena elemen-elemen yang fundamental di dalam peradaban yang tumbuh di Timur Tengah dan di tempat-tempat lain sudah dianggap tidak punya energi cukup besar untuk itu,” katanya.
Ia menceritakan tentang riwayatnya Kiai As’ad yang menceritakan Raden Rahmatullah. Kiai As’ad mengatakan, Raden Rahmatullah ketika bermukim di Mekkah, didatangi Kanjeng Nabi.
“Kanjeng Nabi mengatakan, kamu bawalah Islam ke Jawa sana. Tanah Arab ini sudah tidak kuat menyangganya. Kiai As’ad Syamsul Arifin yang mengatakan. Perintahnya Rasululllah kepada Raden Rahmatullah, bawa Islam ini bawa ke Tanah Jawa karena Tanah Arab ini tidak kuat menyangganya. Raden Rahmatullah dan lain-lain datang ke sini ingin membangun peradaban,” ceritanya.
Membangun peradaban itu apa? tanyanya. Ia lalu menjawabnya sendiri, yaitu bergulat dengan realitas, bukan cuma berpikir berdasarkan teks, manthiqnya, metodologinya, tidak begitu, tapi dilihat juga realitasnya bagaimana.
“Sampai saat ini tidak ada kiai NU yang meminta hukuman potong tangan. Mereka melihat realitas. Padahal di dalam ktab isinya potong tangan kabeh (semua). Bergulat dengan realitas. Karena bergulat dengan realitas, akan tumbuh peradaban,” jelasnya.
Ia menambahkan, peradaban Nusantara memiliki sisi yang kompatibel (serasi) dengan ruh Islam. Karena itulah Islam yang disebarkan dengan gaya mendialogkan teks dan realitas, berkembang dengan cepat.
“Masak dalam 40 tahun Islam semua sak Nusantara. Padahal Islam sudah datang di sini sekian abad sebelumnya. Ada yang bilang, bahkan generasi pertama sahabat itu sudah ada yang sampai ke Nusantara, tapi tidak terjadi islamisasi,” pungkasnya. (Abdullah Alawi)