Jakarta, NU Online
Santri tidak hanya berperan dalam bidang keagamaan semata. Akan tetapi, santri juga memberikan sumbangsih penting dalam dunia pendidikan Indonesia dengan meletakkan dasarnya. Ki Hajar Dewantara adalah sosok santri tersebut.
Pahlawan bernama asli Suwardi Suryaningrat tersebut merupakan santri dari Kiai Sulaiman Zainuddin Kalasan, Prambanan. Ki Hajar sempat mondok dan belajar Al-Qur’an kepadanya. Pengalaman di pesantren tersebut yang menginspirasi Ki Hajar merumuskan pokok pendidikan Indonesia.
"Pengalaman baik di pesantren inilah yang menjadi inspirasi Ki Hajar Dewantara untuk merumuskan pokok-pokok pikirannya tentang pendidikan," ujar KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), saat menyampaikan Pidato Kebudayaan pada Hari Santri 2019 di Gedung Kesenian Jakarta, Selasa (22/10) malam.
Ki Hajar berpikiran bahwa pendidikan harus mengedepankan akhlak, bukan sekadar melahirkan orang pintar. "Bahwa tujuan pendidikan bukan semata-mata menciptakan orang-orang yang pintar, melainkan juga harus memiliki budi pekerti yang baik," katanya.
Lebih lanjut, Kiai Said juga menjelaskan bahwa bagi Ki Hajar, sekolah harus menjadi ‘rumah’ guru sehingga siswa yang datang kepada gurunya, bukan guru yang mendatangi siswanya.
"Dari dekat dan jauh datanglah murid kepadanya, bukan dia yang pergi ke murid. Kita berkata: ia bukan sumur lumaku tinimba, sumber bejalan, tempat umum mengambil air. Seluruh suasana paguron itu diliputi semangat pribadinya," ujarnya mengutip pernyataan Ki Hajar Dewantara.
Hal tersebut menunjukkan bahwa santri memberikan peran yang sangat penting dalam perkembangan Negeri Zamrud Khatulistiwa ini. "Betapa perjuangan dan kontribusi para santri kepada bangsa dan negara sangat besar," katanya.
Selain menceritakan Ki Hajar, Kiai Said juga menyebut peran penting KH Abbas Abdul Jamil dari Buntet Pesantren Cirebon dalam Perang 10 November 1945. Sosoknya dikenal sebagai ‘Singa’ dari Jawa Barat yang dinanti kedatangannya oleh Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari.
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Tsaqafah, Ciganjur, Jakarta Selatan itu juga menceritakan Pangeran Diponegoro, sosok putra Kerajaan Mataram yang berguru kepada Kiai Hasan Besari Ponorogo, Kiai Taftazani Kertosono, dan Kiai Muhammad Ngadiwongso Magelang. Panglima pertempuran 1825-1830 itu juga meninggalkan sebuah kitab Fathul Qarib, sebuah kitab fiqih, yang ditulisnya sendiri.
Tak ketinggalan, Kiai Said pun menceritakan seorang habib yang nasionalis, yakni Habib Husein Muthahar. Keturunan Rasulullah saw. yang berasal dari Semarang itu menciptakan lagu-lagu nasional seperti Syukur. Bahkan, Habib Husein juga dikenal sebagai Bapak Paskibraka mengingat idenya agar pengibaran bendera Merah Putih dilakukan oleh para pemuda yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan