Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menegaskan bahwa NU akan terus menjaga Islam Ahlussunnah wal Jamaah, Islam Moderat, dan Islam Toleran, terutama di Nusantara. Kiai Said menyatakan bahwa secara geografis, Nusantara diapit dua negara maju yang non-Muslim, yakni Republik Rakyat Cina (RRC) dan Australia.
"Kalau kita tidak moderat dan toleran, barangkali kita menjadi salah satu sasaran bagi mereka,” kata Kiai Said pada acara Rosi di Kompas TV, Kamis (30/1).
Selain itu, Kiai Said juga menyatakan bahwa model Islam Moderat menjadi prinsip sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur’an. Sebaliknya, tidak ada terminologi umat Islam, negara Islam, atau khilafah Islamiyah di dalam Al-Qur'an.
"(NU tetap mempertahankan Islam Moderat) Karena itu prinsip Islam," ucap pada program khusus Harlah ke-94 NU bertema Politik, Guyon, dan Sarung.
Menurutnya, menerapkan Islam Moderat tidak mudah karena harus menggabungkan antara teks, yakni Al-Qur'an dan Hadits dengan akal baik kolektif maupun individual.
Sementara kalau hanya teks saja akan menimbulkan sikap yang radikal. Adapun jika hanya mengandalkan akal akan menjadi liberal.
"Wasathiyah itu atau moderat itu gabungan antara teks yang kita anggap suci, yaitu Al-Qur'an dan hadits dan akal. Akalnya para ulama tapi, bukan akalnya kita-kitaan. Dengan gabungan itulah lahirlah sikap wasathiyah dan itulah madzhab Ahlussunnah wal Jamaah," jelas kiai yang juga Pengasuh Pesantren Luhur Al-Tsaqafah Ciganjur, Jakarta Selatan ini.
Lebih lanjut ia menyatakan, jika moderatisme ini ditinggalkan maka menimbulkan bahaya. Sebagai contoh sejumlah negara di Timur Tengah yang dilanda konflik. Menurutnya, konflik terjadi karena prinsip moderat ditinggalkan.
"Masalahnya di Timur Tengah tidak akan selesai selama belum ditemukan bagaimana jalan keluarnya agar cara berpikir masyarakat Timur Tengah moderat, menggabungkan antara agama dan budaya, antara agama yang bersifat teologi yang isinya agama itu teologi dan ritual ibadah, dan syariat, juga dengan budaya dan peradaban produk ijtihad manusia," terangnya.
Sementara di Indonesia, sambungnya, hubungan antara agama Islam dan nasionalisme tidak lagi menjadi persoalan. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari doktrin yang dikemukakan Pendiri NU Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari, yakni hubbul wathan minal iman (nasionalisme bagian dari iman).
"Mbah Hasyim Asy'ari satu-satunya ulama di dunia yang berhasil menggabungkan, mengharmoniskan hubungan agama dan politik, politik kebangsaan dengan jargon yang terkenal hubbul wathan minal iman," ucapnya.
Pewarta: Husni Sahal
Editor: Kendi Setiawan