Nasional

Memahami Perbedaan Hisab dan Rukyat dalam Penentuan Bulan Hijriah

Rabu, 22 Maret 2023 | 18:10 WIB

Memahami Perbedaan Hisab dan Rukyat dalam Penentuan Bulan Hijriah

Tim Lembaga Falakiyah PWNU Jakarta tengah melakukan rukyatul hilal di Masjid Raya KH Hasyim Asy'ari, Cengkareng, Jakarta, Rabu (22/3/2023). (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online 

Terdapat dua metode yang digunakan dalam menentukan awal bulan Qamariyah atau Hijriah, utamanya terhadap bulan yang berkaitan dengan ibadah, seperti Ramadhan, Syawwal, dan Zulhijjah. Kedua metode tersebut adalah rukyah dan hisab. 


Lantas bagaimana memahami rukyah dan hisab? 


Melansir keterangan “Informasi Hilal Awal Ramadhan 1444 H 29 Sya’ban 1444 H / 22 Maret 2023 di Indonesia” keluaran Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU), hisab menjadi salah satu dasar penentuan bulan baru dalam tahun Qamariyah. Hisab merupakan metode falak hitungan numerik-matematik yang digunakan untuk menetapkan awal bulan Hijriyah tanpa verifikasi faktual atau rukyah hilal. Metode falak ini bermakna sebagai hipotesis verifikatif yang belum konklusif.


Menurut Thomas Djamaluddin, Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, dalam tulisan yang terbit pada Rabu (8/3/2023) di laman pribadinya, bahwa dalam prakteknya, hisab yang dianggap akurat bergantung pada pilihan kriterianya. Titik temu yang ditawarkan secara astronomi adalah kriteria imkan rukyat (kemungkinan bisa dirukyat) atau visibilitas hilal (keterlihatan hilal). Kriteria imkan rukyat sesungguhnya adalah kriteria hisab berdasarkan data rukyat jangka panjang. Bagi pengamal hisab, kriteria itu menjadi dasar pembuatan kalender. Jadi, kedua pihak dirangkul dengan kriteria yang sama. 


Sementara itu, rukyatul hilal merupakan pengamatan atau observasi terhadap hilal. Hilal merupakan lengkungan bulan sabit paling tipis yang berkedudukan pada ketinggian rendah di atas ufuk barat pasca matahari terbenam (ghurub) dan bisa diamati.


Cara pengamatannya terbagi menjadi tiga, mulai mengandalkan mata telanjang, mata dibantu alat optik (umumnya teleskop) hingga yang termutakhir alat optik (umumnya teleskop) terhubung sensor/kamera. Dari ketiga cara tersebut maka keterlihatan hilal pun terbagi menjadi tiga pula, mulai dari kasatmata telanjang (bil fi’li), kasatmata teleskop, dan kasat–citra.


Nahdlatul Ulama memosisikan metode falak (hisab) sebagai alat bantu dalam pelaksanaan rukyatul hilal. Rukyatul hilal tidak akan bisa diselenggarakan tanpa metode falak (hisab) yang baik. Untuk itu, Nahdlatul Ulama memiliki sistem hisab jama’i (tahqiqy tadqiky ashri kontemporer), yang memperhitungkan segenap metode falak yang berkembang di tubuh Nahdlatul Ulama.


Penggunaan metode rukyatul hilal oleh NU didasarkan pada keputusan hasil Munas Alim Ulama NU tahun 1983 di Situbondo dan Munas Alim Ulama NU 1987 di Cilacap serta Muktamar NU ke–27 tahun 1983 di Situbondo, Muktamar NU ke–30 tahun 1999 di Kediri dan Muktamar NU ke–34 tahun 2021 di Bandar Lampung.


Pewarta: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Syakir NF