Nasional

Merancang Masa Depan (Warga) NU Menyongsong Muktamar 2021

Rabu, 10 November 2021 | 16:45 WIB

Merancang Masa Depan (Warga) NU Menyongsong Muktamar 2021

Tangkap layar acara Halaqah 'Masa Depan (Warga) NU Menyongsong Muktamar 2021' yang digelar Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Rabu (10/11/2021).

Jakarta, NU Online
 
Menjaga Nahdlatul Ulama (NU) agar senantiasa relevan terhadap perubahan dan tantangan zaman. Poin ini menjadi pembahasan dalam Halaqah Seri 1 bertema Masa Depan (Warga) NU Menyongsong Muktamar 2021 yang digelar Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Rabu (10/11/2021).

 

Untuk selalu relevan terhadap perubahan dan tantangan, NU menurut Dr Nur Rofiah harus terus menjalankan karakter washatiyah-nya. 

 

"Di situasi seperti sekarang yang menurut saya perlu sekali secara sadar NU terus menerus menjaga Islam Wasathiyah. Islam washatiyah tidak selalu diartikan titik tengah dua titik ekstrem," tutur pengampu Ngaji KGI (Keadilan Gender Islam) yang juga dosen Pascasarjana PTIQ Jakarta.

 

Islam washatiyah yang dimaksudkan adalah bagaimana NU dapat menjaga keseimbangan relasi kuasa, agar yang kuat menjaga dan mengayomi yang lemah. Mereka yang dalam bahasa agama dikenal sebagai kaum dhuafa dan mustadafin.


"Maka Islam yang moderat tidak soal di titik tengah, tapi bagaimana menjaga keseimbangan dan karenanya perhatian khusus diberikan kepada kaum dhuafa dan mustadafin," terangnya.

 

Rumadi Ahmad, Ketua Lakpesdam PBNU, dalam kesempatan yang sama menegaskan bahwa Muktamar NU menjadi momentum penting untuk merefleksikan kembali kiprah dan peran serta NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurutnya, kiprah NU penting dipikirkan, agar NU tetap relevan dengan tuntutan zaman.

 

Tiga hal penting

Sementara itu, Dekan Fakultas Islam Nusantara Unusia, Ahmad Suaedy melihat ada tiga hal penting yang harus dilakukan NU ke depan. "Pertama, membangun argumentasi historis kalau perlu sangat ke belakang. Kedua, membangkitkan kembali etika publik yang kita punya. Ketiga, membangun sistem politik di mana masyarakat bawahlah yang terangkut dalam civil society," jelas Suaedy.

 

Hal pertama perlu dilakukan untuk kembali melihat dan melestarikan karakter dasar Islam Nusantara di mana watak dasar masyarakat Islam di Indonesia terbentuk.

 

"Kajian tentang sejarah untuk membangun posisi terhadap sistem pengetahuan, politik, dan sosial politik itu sangat penting. Kami melakukan research tentang formasi Islam di abad 14-16. Bagaimana Islam masuk dari masa transisi dari Hindu-Budha ke Islam. Bagi saya ini adalah momen watak Indonesia yang suka damai dan suka dialog terbangun. Inilah watak yang dimiliki Islam-nya NU. Bagaimana dengan watak ini menghadapai masa depan," tegasnya.

 

Hal kedua, pentingnya membangun etika publik yang sesuai jati diri bangsa Indonesia. Proses sekularisasi di Nusantara yang dilakukan sejak zaman Belanda berimpliklasi pada lunturnya etika publik luhur bangsa yang saat ini terasa sebagai regresi demokrasi di Indonesia.

 

"Regresi demokrasi muncul karena sistem politik sekarang meninggalkan etika politik masa lalu pra sekularisasi yang dimulai Belanda. Menghilangkan etika publik yang bersifat Islam Nusantara. Tradisi keraton Jawa bahwa pemakaman seorang raja menggunakan dana pribadi, bukan dana kerajaan. Etika publik seperti ini ditinggalkan di era sekularisasi. Kita perlu membangun kembali etika ini," jelasnya.
 

Terakhir, bagaimana civil society di Indonesia didorong agar semakin kuat, kembali ke masyarakat bawah. "Kita perlu membangun sistem masyarakat bawah ini yang harus diangkut ke dalam definisi civil society. Saya sangat ngeri parpol dapat bantuan APBN," ungkap Suaedy.

​​​​​​​

Hal menarik lain disampaikan salah satu peserta yang merespons apa yang disampaikan narasumber dalam Halaqah ini yakni H Abdullah Syarwani, Dubes Libanon 2003-2007 yang juga karib KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Menurut Syarwani, apa yang didiskusikan P3M kali ini sudah sejak 1980an dipikirkan oleh almarhum Gus Dur. Bahkan lahirnya Lakpesdam dan P3M dilatarbelakangi oleh kebutuhan itu. 


"Tahun 1980-an Gus Dur sudah berfikir kayak apa NU. Muncul pikiran untuk mendirikan Lajnah Kajian Sumber daya Manusia, muncul untuk mengembangkan P3M," ungkapnya.

 

Jawaban relevansi NU di masa depan, sudah dijawab dengan tujuan menengah yaitu dengan berdirinya Lakpesdam dan P3M. NU ingin berbenah tidak hanya menampung pikiran dari luar, tetapi dituntut atas perubahan dari dalam.


Editor: Kendi Setiawan