Bandarlampung, NU Online
Rais Syuriyah PBNU KH Ahmad Ishomuddin mengungkapkan bahwa untuk mampu memahami ajaran agama dengan benar dan mantap membutuhkan banyak hal seperti kecerdasan, kesabaran, kegigihan, tempat bertanya, teman diskusi yang tepat, dan butuh waktu yang relatif lama. Sedang untuk mengamalkannya amat sangat diperlukan keteladanan dan bimbingan yang terus menerus dari para ahlinya.
Di era membanjirnya informasi saat ini sudah seharusnya masyarakat tidak mudah percaya kepada setiap orang yang ucapannya banyak keliru, argumentasinya tidak kokoh. Terlebih apabila perkataannya berisi cercaan kepada orang-orang berilmu (ulama) atau siapa saja, dan perilakunya tidak layak diteladani.
"Banyak orang telah 'mabuk agama' karena porsi keberagamaan yang mereka telan telah over dosis, menelan apa saja informasi tentang apa saja yang dianggapnya berbau agama tanpa kadar yang pas, tanpa seleksi dan tanpa petunjuk dari orang yang memiliki spesialisasi dan punya otoritas dalam bidang agama," ungkapnya melalui akun Facebooknya, Kamis (26/12)
Saat ini lanjutnya, banyak sekali 'ustadz gadungan' yang melakukan mal praktik di bidang sosial keagamaan, sebagaimana mereka yang bukan dokter mengaku sebagai dokter yang berpraktik 'menipu' dengan mengobati para pasiennya.
Fenomena memprihatinkan lainnya saat ini adalah dunia keberagamaan umat Islam sudah surplus penceramah agama karena siapa saja boleh bicara apa saja tentang agama. Semua mau bicara, tidak ada lagi yang mau mendengarnya dengan seksama.
"Saat ini betapa mudah dijumpai beberapa 'ustadz gadungan' yang dengan seenaknya menjelaskan agama dengan mengutip sepenggal ayat al-Qur'an dengan cara baca yang salah, baik tajwid maupun makhraj-nya, dengan terjemah yang sangat keliru, dengan tafsiran berdasarkan hawa nafsu, dan bahkan dengan berani melakukan tahrif (perubahan) baik terhadap lafal, makna, bahkan terhadap redaksinya," ungkap Kiai Ishom.
Semua keburukan di bidang sosial keagamaan saat ini terjadi menurutnya disebabkan oknum ini dan para pengikutnya yang tidak disadari dan penyakit arogansi (kesombongan) yang tidak pernah diobati. Ia tersesat dan menyesatkan pemahaman agama umat, sehingga penampilan wajah keberagamaan kita menjadi sangar, menakutkan, jauh dari keselamatan, kasih sayang, dan keberkahan.
"Beragama dengan ilmu, cara, dan arahan dari "ustadz" yang keliru itu senyatanya bukan menyelesaikan masalah kemanusiaan, tetapi justru menjadi masalah bagi hubungan kemanusiaan," pungkasnya.
Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Syamsul Arifin