Nasional

PBNU Dorong DPR Rancang Perubahan UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah

Rabu, 19 Februari 2025 | 17:00 WIB

PBNU Dorong DPR Rancang Perubahan UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah

Ketua PBNU Ishfah Abidal Aziz di DPR, Rabu (19/2/2025). (Foto: tangkapan layar TVR Parlemen)

Jakarta, NU Online

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ishfah Abidal Aziz mengusulkan untuk DPR RI merancang perubahan terhadap UU Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Ia menilai, UU tersebut sudah tidak lagi relevan karena cepatnya tranformasi penyelenggaraan haji di Arab Saudi.


Hal itu disampaikan Ishfah dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Haji dan Umrah DPR RI bersama Ketua Majelis Umat Islam dan Para Ketua Umum Ormas Islam di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Rabu (19/2/2025).


Ishfah mengusulkan beberapa poin. Pertama, tentang kuota jamaah haji yang saat ini terbagi menjadi dua yaitu reguler dan khusus. Menurutnya, hal itu akan berdampak pada keterbatasan kemampuan negara memberikan pelayanan pada jamaah.


Sebab, kata Ishfah, terdapat jumlah jamaah haji reguler sebesar 92 persen dengan keterbatasan tempat dan fasilitas, sehingga membuat petugas haji mempersiapkan itu dengan waktu terbatas.


"Oleh karena itu pada suatu saat jika visi Saudi di 2030 itu di angka 6 juta jamaah maka jika pada suatu saat Indonesia memperoleh tambahan kuota yang signifikan maka saya pastikan kita tidak bisa mengelola," ucap Ishfah, sebagaimana dikutip NU Online melalui Kanal Youtube TVR Parlemen.


"Kami mengusulkan kuota jamaah haji Indonesia itu berbasis layanan. Jadi tidak lagi berbasis reguler dengan haji khusus, tapi berbasis layanan sebagaimana Saudi mentransformasikan haji itu basisnya adalah layanan itu," tambahnya.


Kemudian, Ishfah menyarankan agar ada pembagian kuota haji yang saat ini berdasarkan proporsi jumlah penduduk Muslim atau proporsi jumlah daftar tunggu antarprovinsi.


"Kami mengusulkan ada kombinasi jadi alternatif yaitu kombinasi antara jumlah penduduk Muslim dan dan jumlah daftar tunggu antarprovinsi dengan pertimbangan kemaslahatan itu terkait dengan pembagian kuota nasional yang dibagikan ke provinsi," jelasnya.


Selanjutnya, Ishfah memberikan usul kepada DPR RI untuk memperluas norma penyelenggaraan haji yang tertuang dalam pasal 10 ayat 3 bahwa pelaksanaan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilakukan melalui satuan kerja yang bersifat tetap dan struktur di tingkat daerah pusat dan Arab Saudi.


"Kami mengandaikan bahwa jamaah yang ada kuota, dalam hal ini jamaah reguler, kita usulkan adalah berbasis kuota jamaah Indonesia," tuturnya.


Menurut Ishfah, perlu ada revisi dalam undang-undang yang turut melindungi jamaah haji yang berangkat dengan visa mujamalah atau haji furoda.


"Pada Pasal 18 itu pengakuan terhadap visa mujamalah, tapi kemudian jamaah yang kita akui visanya ini tidak termasuk dalam norma yang diatur dalam Pasal 41 dalam aspek perlindungan," katanya.


"Jamaah furoda tidak termasuk dalam perlindungan sama sekali dari pemerintah, dari negara," tambahnya.


Ia mengungkapkan bahwa perlu ada undang-undang yang mengatur hal ini karena terus meningkatnya target kunjungan visitas Saudi.


"Terhadap visa mujamalah atau jamaah nonkuota, bagaimana UU nanti mengatur tentang visa nonkuota ini karena kemungkinan jumlahnya terus meningkat karena target kunjungan, visitasi Saudi itu ekspektasinya cukup besar," pungkasnya.