Nasional JELANG MUKTAMAR KE-33 NU

PBNU Sepakat Pemakzulan Pemimpin Korupsi

Senin, 18 Mei 2015 | 16:01 WIB

Jakarta, NU Online
Rais Syuriyah PBNU KH Masdar F Masudi menilai keniscayaan pemakzulan kepala negara, kepala daerah, atau pejabat publik lainnya yang terbukti secara hukum terlibat dalam permasalahan kemanusiaan. Dengan berbasis hukum, negara melalui regulasinya membuat mekanisme pemakzulan pejabat publik yang bermasalah itu.
<>
“Saya kira di negeri ini, sistem hukum kita memberikan peluang untuk pemakzulan. Hukum positif kita mengatur mana pejabat yang terbukti melakukan kejahatan untuk segera dicopot,” kata Kiai Masdar di Jakarta, Jumat (15/5) sore.

Pemakzulan dimungkinkan bagi pejabat yang terbukti di pengadilan melakukan kejahatan kemanusiaan seperti korupsi. Tentu saja pemakzulan tidak bisa dilakukan hanya karena perbedaan keyakinan, suku, atau golongan. Itu tidak bisa.

Lain soal kalau pejabat tersebut mengundurkan diri setelah tertuduh.

Rais Syuriyah PBNU ini menganggap sekarang ini pemakzulan dimungkinkan karena pendekatan logika hukum. Mekanismenya bersandar pada hukum, bukan seperti logika kekuasaan seperti pada zaman penguasa-penguasa terdahulu.

“Mereka dulu itu belum ada konstitusi. Pendekatannya kekuatan, kekuasaan. Hukum itu, ya raja itu sendiri. Kalau negara hukum seperti ini, ya tentu ada mekanismenya,” ujar Kiai Masdar.

PBNU sepakat dengan amar Pasal 7 UUD 1945 yang menjadi payung hukum untuk mengusulkan pemakzulan kepala negara dan wakilnya yang melakukan tindakan pidana tertentu. Masyarakat bisa mengajukan pejabat publik yang kedapatan melakukan korupsi, suap, makar, tindak pidana berat, atau perbuatan tercela untuk diproses secara hukum.

“Korupsi itu kejahatan kemanusiaan. Itu kan sudah muttafaq alaih. Kalau terbukti secara hukum, seorang pejabat yang melakukan kejahatan korupsi, mesti dicopot dari jabatannya. Putusan hukumnya itu pun harus bersifat incracht, tidak bisa hanya duga-duga saja,” kata Kiai Masdar.

Isu pemakzulan pejabat publik seperti presiden, gubernur, bupati, walikota, kepala dinas, maupun dirjen di kementerian tertentu, sejatinya akan dibahas pada Muktamar Ke-33 NU di Jombang pada Agustus mendatang. Isu ini berangkat dari keprihatinan para kiai melihat maraknya gubernur dan bupati yang terbukti di pengadilan melakukan kejahatan korupsi. (Alhafiz K)