Nasional

PBNU: Ungkapan Meiliana Tak Menistakan Agama

Kamis, 23 Agustus 2018 | 06:56 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua PBNU Bidang Hukum, HAM dan Perundang-Undangan Robikin Emhas menilai bahwa perkataan Meiliana yang mengatakan “suara azan terlalu keras” tidak termasuk penistaan agama. 

“Mengatakan ‘suara azan terlalu keras’ menurut pendapat saya bukan penistaan agama. Tanpa bermaksud menilai putusan pengadilan, saya tidak melihat ungkapan tersebut sebagai ekspresi kebencian atau sikap permusuhan terhadap golongan atau agama tertentu,” ujar Robikin Emhas kepada NU Online di Jakarta, Kamis (23/8). 

Menurut Robikin, tidak ada delik hukum dalam pasal dalam Pasal 156 KUHP dan Pasal 156a KUHP yang dilanggar Meiliana. Pasal 156 KUHP berbunyi:  Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp4.500.

Sedangkan Pasal 156a KUHP berbunyi: Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Dari definisi kedua pasal tersebut, Robikin tidak melihat adanya unsur pelanggaran yang dilakukan Meiliana. Di samping itu, lahirnya pasal penodaan agama memiliki semangat menjaga keharmonisan sosial, bukan sebaliknya, menjadi alat pemberangusan kebebasan.

 “Seperti dimaklumi, lahirnya pasal penodaan agama antara lain untuk menjaga harmoni sosial yang disebabkan karena perbedaan golongan atau perbedaan agama/keyakinan yang dianut. Saya berharap penegak hukum tidak menjadikan delik penodaan agama sebagai instrumen untuk memberangus hak menyatakan pendapat,” lanjut ketua PBNU yang juga merupakan seorang advokat konstitusi ini. 

Ia mengimbau pada umat islam agar tidak berlebihan menanggapi perbedaan, terlebih mengingat kemajemukan masyarakat Indonesia.  

“Pendapat seperti (Meiliana) itu sewajarnya kita tempatkan sebagai kritik konstruktif dalam kehidupan masyarakat yang plural. Selain itu, semua pihak diharapkan dapat menjaga harmoni sosial dengan memperkokoh toleransi, termasuk toleransi sesama dan antar umat beragama,” tutup Robikin yang juga memimpin sebuah sebuah lembaga bantuan hukum di Jakarta. (Ahmad Rozali)