Nasional

Refleksi Harlah Ke-102, KH Anwar Iskandar Jelaskan 3 Esensi Latar Belakang Berdirinya NU

Jumat, 24 Januari 2025 | 21:30 WIB

Refleksi Harlah Ke-102, KH Anwar Iskandar Jelaskan 3 Esensi Latar Belakang Berdirinya NU

Wakil Rais Aam PBNU KH Anwar Iskandar saat menyampaikan taujihat dalam acara Rakerwil PWNU Jawa Timur sekaligus peringatan Harlah Ke-102 NU, di Ponpes Nurul Jadid, Paiton Probolinggo, Jatim, pada Jumat (23/1/2024). (Foto: tangkapan layar Youtube TV9 Nusantara)

Probolinggo, NU Online

Wakil Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Anwar Iskandar mengajak seluruh Nahdliyin untuk melakukan refleksi mendalam atas perjalanan 102 tahun Nahdlatul Ulama (NU).


Hal itu diungkap Kiai Anwar saat menyampaikan taujihat pada acara Rapat Kerja Wilayah (Rakerwil) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur sekaligus peringatan Harlah Ke-102 NU, di Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur, pada Jumat (23/1/2024). 


“Layaknya sebuah ulang tahun, sebuah harlah, maka perlu kita melakukan renungan. Kita perlu melakukan kontemplasi selama 102 tahun ini sudah berbuat apakah NU ini terhadap bangsa, terhadap agama, terhadap negara, terhadap umat,” ujar Kiai Anwar Iskandar.


Ia juga menekankan pentingnya mengenali tantangan dan capaian yang telah diraih NU selama lebih dari satu abad.


“Tantangan apa selama 102 tahun yang dihadapi oleh Nahdlatul Ulama dalam menjalankan mandat dan amanah? Keberhasilan apa yang mesti diteruskan oleh kapal besar yang namanya Nahdlatul Ulama itu dan seterusnya dan seterusnya,” imbuhnya.


Esensi lahirnya NU

Dalam refleksinya, KH Anwar Iskandar menjelaskan tiga esensi utama yang melatarbelakangi kelahiran NU.


Pertama, latar belakang NU berdiri adalah masalah agama. Kedua, tanggung jawab terhadap negara. Ketiga, NU lahir karena ingin menjadi pengayom umat.


"Jadi, di sini ada tiga hal pokok yang menjadi esensi kenapa NU ini lahir,” papar Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu.


Kiai Anwar juga menyoroti peran besar NU dalam membangun ekosistem keilmuan melalui pesantren-pesantren yang didirikan oleh para ulama.


Menurutnya, pesantren memiliki peran strategis dalam menjaga ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah sekaligus menjadi pemasok utama tokoh-tokoh agama.


“Di NU ini lahir para ulama yang kemudian mendirikan pesantren-pesantren yang selanjutnya melahirkan ulama-ulama berikutnya. Karena memang salah satu fungsi dasar pokok dari pesantren itu menyebarkan, menanamkan kepada anak-anak bangsa, generasi muda Islam agar paham Islam Ahlussunnah wal Jamaah itu," jelasnya.


"Dalam konteks hirasatuddin (memelihara agama) tidak mungkin tanpa ilmu dan itu hubungannya pesantren dengan hirasatuddin. Itulah hubungan antara NU dengan pesantren. NU sebagai pengguna dan pesantren sebagai supplier dari tokoh-tokoh yang memahami tentang agama,” imbuh Kiai Anwar.


Menghadapi era digital

Kiai Anwar juga mengingatkan pentingnya menjaga prinsip dasar NU di tengah perkembangan teknologi modern, termasuk artificial intelligence (AI) dan era digital.


“Ketika kita sudah berada di era digital, ada di era teknologi modern. Ketika kita sudah berada di sebuah era artificial intelligence sekarang ini, tentu kita tidak boleh melupakan modal pesantren ini yang dilahirkan jauh sebelum Indonesia ini lahir. Jauh sebelum NU ini lahir sudah ada pesantren-pesantren yang seperti itu yang melahirkan ulama-ulama besar," katanya.


Kiai Anwar berpesan kepada Nahdliyin untuk tidak silau dengan era digital. Menurutnya, jangan hanya karena silau dengan teknologi modern di era digital ini, lalu melupakan ajaran-ajaran ulama terdahulu.


Modal besar NU: ilmu pesantren

Kiai Anwar menegaskan bahwa ilmu-ilmu yang diajarkan di pesantren merupakan modal dasar dan modal besar bagi NU. Di era modern, pemahaman terhadap ilmu agama perlu dilengkapi dengan penguasaan ilmu pengetahuan modern.


“Oleh karena itu perlu dipahami, modal besar NU ini adalah ilmu-ilmu di pesantren itu. Di era modern, butuh bekal untuk memahami ilmu modern dalam bentuk knowledge, dalam bentuk ilmu-ilmu yang berkaitan dengan alam,” tegasnya.


Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa NU harus tetap berpegang pada prinsip memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.


“Orang lain mau begitu silakan, tapi NU tetap dalam prinsip al-muhafadzhatu ala qadimis shalih yaitu kitab-kitab salaf, kitab-kitab kuning, tapi juga wal akhdzu bil jadidil ashlah. Jadi itu prinsip yang kita pegang,” ujarnya.